Walet Besi Chapter 63 (Tamat)

NIC

Rupanya dia sedang memancing Wie Kie-hong untuk mengeluarkan sisa tenaga yang dimilikinya.

Sekarang Wie Kie-hong sudah kehabisan tenaga, Saat itulah dia mulai menyerang maju.

TRANG!!! TRANG!!! TRANG!!! TRANG!!! Semakin lama Wie Kie-hong semakin terdesak mundur.

Tidak sedikit serangan Pembunuh beralis putih yang melukai berbagai tempat pada tubuhnya.

Wie Kie-hong mulai merasa kewalahan.Dia tahu dia harus membalikkan situasi.

Dia berusaha memanfaatkan kesempatan yang ada untuk balas menyerang.

Matanya seolah olah dibutakan oleh sinar biru pedang milik ayahnya.

Ketika berpikir seperti ini, sekilas sinar biru melesat ke arahnya.

Wie Kie-hong segera melemparkan tubuhnya kepinggir menghindari serangan, setelah itu dia mengayunkan pedang sekuatnya ke arah Pembunuh beralis putih.

Tidak disangka, pembunuh beralis putih menghindari serangannya dengan mudah.

Sekarang Wie Kie-hong berada dalam posisi yang tidak menguntungkan.

Dia tidak sempat mengangkat pedang menutupi pertahanannya yang terbuka.

Pembunuh beralis putih segera mengambil kesempatan dan menebaskan pedang biru sekuatnya ke arahnya.

Wie Kie-hong tahu ini adalah akhir baginya.

Namun hal yang tidak disangka-sangka terjadi.

Saat itu Tu Liong berteriak padanya.

Akibat teriakan Tu Long konsentrasi Pembunuh beralis putih buyar.

Wie Kie-hong mendapat kesempatan untuk menghindari serangan maut.

Dia sempat melihat Pembunuh beralis putih memutarkan tubuh dan menebas tangan Tu Liong sampai putus.

Hatinya mendadak seperti ditusuk pedang yang tidak terlihat.

Hingga dia segera berteriak Emosi yang tadi sudah nyaris padam karena letih, mendadak meledak dengan kuat.

Ketika Pembunuh beralis putih yang sedang membelakanginya.

Tanpa berpikir, dia segera menusuk kan pedangnya pada kepala Pembunuh beralis putih, pedang itu langsung masuk dari belakang kepala dan tembus sampai ke depan.

Pembunuh beralis putih menjerit keras dengan suara yang sangat memilukan.

Sekarang semuanya sudah berakhir.

Dendam semua orang sudah terbalaskan, dia pun sudah tidak ada tenaga terus berdiri.

Dia langsung jatuh berlutut dan terbaring di lantai seiring dengan suara sang nikoh yang berkata-kata.

0-0-0

Langit pagi berwarna biru cerah.

Tidak sedikitpun awan yang terlihat, angin pagi berhembus sepoi sepoi membawa bau rumpu t yang menyegarkan.

Tidak terasa satu bulan sudah berlalu sejak kejadian yang mem ilukan di rumah Bu Tiat-cui.

Saat ini Wie Kie-hong sedang berlutut didepan pedang ayahnya yang tertancap di tanah.

Di belakangnya berdiri batu pusara yang bertuliskan "Kuburan Wie Ceng", di depannya menancap tiga batang dupa yang terbakar dan menyebarkan bau harum.

Disekelilingnya banyak buah-buahan yang sudah tertata rapi.

Suara kicau burung terdengar samar-samar disela-sela pembacaan mantra oleh dua orang ber-pakaian putih yang juga berlutut disebelah kiri dan kanannya.

Kedua orang ini adalah Boh Tan-ping dan nikoh anak kandung Tiat Liong-san.

Sekarang Boh Tan-ping tampak agak lucu karena dia telah kehilangan semua rambutnya.

Setelah terjadi pertarungan di kediaman Bu Tiat-cui, Boh Tan-ping menyadari kalau dia sudah mengabdi pada orang yang salah.

Itu yang sudah membuatnya risau pada pertarungan terakhir.

Untunglah Tu Liong tidak membunuhnya sewaktu mendapat kesempatan.

Dia menyesali semua perbuatan nya.

Setelah terkulai lemas, dia sempat ingin menggunakan pedang gigi gergajinya untuk mencabut nyawanya sendiri, untunglah nikoh itu datang dan berlutut disisinya, membujuknya dengan lembut untuk ikut dengannya pergi meninggalkan kehidupan duniawi.

Setelah beberapa lama, semua mantra pemberkatan kematian selesai dibacakan.

Wie Kie-hong segera berdiri.

Seseorang menepuk bahunya dari belakang.

Dia memalingkan kepala dan melihat Tu Liong.

Dia mengenakan baju sutra tangan panjang, lengan baju kirinya dibiarkan menggantung kosong.

Paman Tan Po-hai, pengurus Eng, dan banyak kerabat kenalan Wie Kie-hong ikut menghadiri upacara pemakanam ini.

mereka semua berdiri dengan rapi dibelakang.

Wie Kiehong melihat mereka semua dan tersenyum.

Setelah upacara selesai dilakukan, Tu Liong dan Wie Kiehong tampak berjalan berdua menyusuri tepian padang pemakaman.

"Tu toako, bagaimana luka bahumu?" "Sepertinya memang sudah takdirku kehi-langan bahu kananku.

Walau Boh Tan-ping tidak berhasil memutuskannya, ternyata Pembunuh beralis putih yang melakukannya.

Tapi tenang saja.

Walaupun masih belum terbiasa, namun luka ini sudah tidak begitu sakit." Mereka berdua terdiam beberapa lama sambil meneruskan perjalanan menuruni bukit.

"Bagaimana kabar Cu Taiya?" "Sepertinya dia sudah tidak bisa dipanggil Tuan besar lagi.

entah apa yang sudah dilakukan nikoh Thiat-yan, Cu Siauthian tampak kehilangan akal sehatnya.

Setelah dia mengetahui anak kandungnya menjadi cacat karena perbuatannya sendiri, dia menjadi gila.

Sampai sekarang nasibnya belum jelas, aku pernah menawarkan untuk merawatnya, namun dia berkeras pergi seorang diri.

katanya seseorang pernah melihat-nya tinggal dalam sebuah rumah penampungan di luar kota." Diam lagi.

Tidak lama Tu Liong melanjutkan ceritanya "Kau pingsan sangat lama.

Tidak aneh kau tidak mengetahui apa-apa.

setelah kejadian itu, rumah Bu Tiat-cui sempat disegel polisi.

Untunglah Boh Tan-ping menjelaskan pada mereka tentang duduk perkara yang sebenarnya.

Kalau tidak mungkin sekarang kita berdua sedang berada di sel tahanan." "Padahal aku belum sempat melaksanakan permintaan ayah angkatku untuk pergi kesana mencari informasi" "Tampaknya sekarang sudah tidak penting lagi." Mereka berdua terus berjalan menuruni bukit.

Semua tamu yang menghadiri upacara pemakaman sudah pulang kerumah masing masing.

Tu Long dan Wie Kie-hong menghabiskan sisa perjalanan mereka turun bukit dengan diam.

Di kaki bukit, kedua orang calon pendeta terlihat sedang berdiri menunggu mereka, pakaian mereka yang berwarna putih tampak berkibar menangkap angin sepoi yang bertiup.

Mereka tampak begitu suci ditengah keruhnya hidup di kalangan dunia persilatan.

Wajah mereka berdua tampak berseri dan bercahaya.

Sepertinya hidup biarawati sudah memberi-kan dampak yang positif bagi Boh Tan-ping.

Sebelumnya Tu Liong dan Wie Kie-hong tidak pernah melihatnya begitu tenang dan damai.

Setelah dekat, Boh Tan-ping segera membuka pembicaraan.

"Tu Siauya, Wie Siauya, aku mohon pamit sekali lagi.

mohon maaf atas semua masalah yang sudah pernah aku lakukan pada kalian." "Paman Boh, anda tidak usah sungkan.

Yang sudah lewat biarkanlah berlalu" kata Tu Liong dengan ramah.

"Yang penting adalah apa yang akan kita lakukan sekarang demi masa depan yang lebih baik" kata Wie Kie-hong sambil tersenyum.

Mereka meneruskan pembicaraan singkat.

Setelah beberapa lama, akhirnya ke empat orang ini berpisah.

Tu Liong dan Wie Kie-hong mengantar kepergian mereka sambil melambaikan tangan.

Setelah bayangan tubuh mereka berdua hilang ditelan bukit, Tu Liong dan Wie Kie-hong kembali berjalan pulang.

"Kie-hong, apa rencanamu sekarang?" "Sepertinya beberapa bulan kedepan aku akan sibuk mengurus persiapan pernikahanku." "Aku tidak akan mengucapkan selamat dulu, jangan lupa nanti memberikan undangan pernikah-anmu padaku" "Tentu saja Tu toako, aku tidak akan lupa" Tu Liong tersenyum "Ngomong-ngomong, bagaimana kabar pak tua yang menyuguhkan teh bagi kita" Rasanya kau masih berhutang banyak uang padanya" Tu Liong menepuk dahinya dengan tangan kanannya yang masih sehat.

Mereka berdua langsung tertawa.

Bersama-sama mereka berjalan menyusuri jalan setapak menjauh dari bukit pemakaman.

Langit berwarna biru cerah, matahari bersinar terang, ini adalah pemandangan yang bagus untuk memulai hidup yangbaru.

-TAMAT-

Posting Komentar