Uy Cin saksikan Beng Tat membagi beras dengan rapi, walaupun itu dilakukan dengan sangat terpaksa, karena ini, tidak lagi ia menggoda jago tua itu, ia tidak mau mengejek.
Begitu lekas empat ratus pikul beras telah terbagi habis, tanpa ajal lagi, Sin Cie totok Beng Gie dan urut-urut padanya, hingga jago she Un yang kedua ini lantas saja sadar, cuma sebab ia telah ditotok sejak tadi malam dan diantapkan telalu lama, ia masih lemah, hingga ia cuma dapat menungkuli saja kemendongkolannya.
Pembagian beras dilakukan terus, sampai magrib, sampai habis semuanya seribu enam ratus pikul, selama mana, setiap empat ratus pikul, dengan menetapi janji, Sin Cie totok sadar tiap jago she Un itu hingga akhirnya, sadarlah semuanya empat jago. Diakhirnya anak muda ini menjura kepada Ngo Cou dari Cio Liang Pay itu. "Harap dimaafkan, aku yang muda telah berbuat banyak kesalahan," katanya.
Uy Cin tertawa, dia kata kepada kelima tuan rumahnya: "Walaupun kamu telah hamburkan seribu enam ratus pikul beras, hal mana tentunya membikin sedikit sakit hatimu, akan tetapi karena itu namamu telah dapat diperbaiki tidak sedikit. Inilah satu perbuatan amal yang untuk kamu ada banyak kebaikannya. Maka janganlah kamu tidak menginsyafinya!"
Habis itu, Uy Cin hendak ajak kawan-kawannya berlalu dari rumah keluarga Un itu tetapi justru waktu itu, dari dalam bertindak keluar sambil berlari-lari dua orang perempuan, yang didepan Un Gie, yang dibelakang gadisnya, Ceng Ceng.
"Wan Siangkong, apa kau hendak pergi sekarang?" Un Gie tanya.
Anak muda itu manggut.
"Benar pehbo, siautit hendak berangkat sekarang," jawabnya seraya terus minta pamit.
Tubuhnya Un Gie gemetar dengan tiba-tiba.
"Dimana sebenarnya kuburan dia?" nyonya ini tanya. "Wan siangkong, tolong kau ajak aku pergi melihat kuburannya itu..."
Sin Cie belum sempat menjawab atau ia dengar suara angin menyambar, hingga ia terperanjat. Segera ia menoleh dan berlompat, dan dilain saat dengan beruntun ia dapat sanggapi empat potong huitoo, golok terbang. Akan tetapi menyusul itu, Un Gie menjerit keras,lalu tubuhnya terhuyung rubuh. Dibelakangnya kelihatan tertancap sebatang golok terbang, nancapnya dalam sekali, karena hampir gagang golok turut terpendam! Nyonya yang naas itu rubuh tanpa berkutik pula.
Ceng Ceng menjerit, ia tubruk ibunya itu, tangannya diulur, untuk cabut golok itu.
"Jangan cabut!" Uy Cin mencegah. "Jika dicabut, dia akan menutup mata!"
Sin Cie segera ketahui, siapa yang sudah lakukan pembokongan itu, maka tanpa bilang suatu apa, ia menimpuk dengan empat huitoo ditangannya terhadap Un Beng Sie.
Su-yaya itu telah umbar napsu amarahnya, ia mendongkol yang Sin Cie tidak rubuh karena bokongannya tetapi ia puas dengan rubuhnya Un Gie. Habis menyerang, ia berdiri mengawasi dengan senyuman iblisnya, maka itu, ia bisa lihat si anak muda serang ia. Untuk luputkan diri dari huitoo, yang bisa makan tuan, ia berkelit sambil gulingkan tubuhnya. Ia berhasil. Habis diserang, dia lompat bangun.Akan tetapi berbareng dengan itu, ia rasai bebokongnya, juga paha kanannya, menjadi baal dengan tiba-tiba, menyusul mana ia rubuh sendirinya.
Sin Cie tahu, jago Cio Liang Pay ini ahli golok terbang, sudah sewajarnya saja dia akan pandai menyelamatkan diri dari golok-goloknya yang liehay itu, maka itu, ia sudah lantas bertindak. Begitu lekas ia menimpuk dengan empat ia susul serangannya dengan dua butir biji caturnya. Malah karena ia gusar untuk ketelengasannya jago tua itu, ia menimpuk secara hebat. Beng Sie tidak dapat tolong dirinya, ia rubuh seketika, napasnya berhenti....
Kapan si anak muda memandang Ceng Ceng, ia tampak si nona numprah ditanah sambil peluki tubuh ibunya, saking sedih, nona ini menangis tanpa mengeluarkan suara. Ia lantas menghampirkannya, hingga ia lihat tegas sipatnya golok terbang itu, yang masih nancap dibelakang si nyonya.
403 Ia insyaf nyonya itu sukar dapat ditolong pula. Maka tidak ayal lagi, ia menotok dua kali, setiap kalinya didekat iga, untuk menutup jalan darah, secara demikian, nyonya yang malang nasibnya itu jadi tak usah menderita lebih lama lagi.
Karena totokan itu, Un Gie bisa buka kedua matanya. Ia lagi menanggung sakit, ia meringis karena mencoba melawan itu, akan tetapi ia bisa pandang gadisnya sambil bersenyum.
"Jangan bersusah hati, Ceng," katanya kepada anak daranya itu. "Sekarang aku dapat susul ayahmu, untuk menemuinya, dengan berada didamping ayahmu itu, tidak akan ada lagi orang yang berani menghina aku. "
Ceng Ceng menangis tersedu-sedu, ia manggut tetapi tak dapat ia mengucapkan kata-kata.
Un Gie memandang Sin Cie, ia berkata pula : "Wan Siangkong, ada satu hal tentang mana mesti kau beritahu aku dengan sebenar-benarnya, tak dapat kau menyembunyikannya sedikit juga. "
"Apakah itu, pehbo?" tanya si anak muda. Ia ini mengucurkan air mata saking terharu.
"Dia meninggalkan surat wasiat atau tidak?" Un Gie tanya. "Dia pernah menyebut-nyebut aku atau tidak?"
"Hee Locianpwee telah meninggalkan seperangkat peta ilmu silat," Sin Cie jawab. "Ketika kemarin aku pecahkan Ngo-heng-tin, aku telah gunakan ilmu silat yang didapatinya dari peta itu. Dengan begitu bisalah dianggap aku telah balaskan dia punya sakit hati, hingga dendamannya terlampias sudah."
"Apakah dia tidak meninggalkan surat untukku?" Un Gie tanya pula. Sin Cie menggelengkan kepala. "Tidak," sahutnya dengan pelahan. Nyonya itu nampaknya putus asa.
"Setelah dia minum itu racun, habislah tenaganya," berkata nyonya ini dengan lemah.
"Diatas langit, rohnya locianpwee tentu ketahui itu," Sin Cie menghibur," tentu ia tidak akan sesalkan pehbo."
"Tentu dia telah menutup mata karena sakit dan berduka," Un Gie kata pula. "Pada mulanya, tentu sekali dia menyangka akulah yang racuni dia. Maka sekarang, walau duduknya perkara sudah jadi terang, toh sudah kasep..."
Sin Cie sangat berduka, apapula kapan ia lihat kedua tangannya si nyonya telah dilonjorkan dan wajahnya berubah. Tiba-tiba ia ingat pesannya Kim Coa Long-kun yang termuat didalam peta dalam Kim Coa Pit Kip. Didalam kitab itu toh ada disebut namanya Un Gie. Maka lekas-lekas ia rogoh sakunya.
"Pehbo, lihat ini!" berkata ia seraya perlihatkan tulisannya Kim Coa Long-kun.
Un Gie sudah mulai rapatkan kedua matanya ketika ia lantas membukanya pula. Sesaat itu, mendadak saja ia jadi segar pula.
"Ya, inilah tulisan dia, tulisan dia!" katanya separuh berseru. "Aku kenali tulisan dia!"
Bukan main terharunya Sin Cie akan tampak kegirangan si nyonya mirip dengan kegirangan satu bocah.
Un Gie baca tulisan dipinggir peta itu : "Siapa dapati mestika, dia mesti pergi ke Cio-liang di Kie-ciu, Ciatkang, untuk cari Un Gie. Kepadanya harus diserahkan uang emas sejumlah sepuluh laksa tail. "
"Itulah dimaksudkan aku!" berseru pula si nyonya. Tiba- tiba saja ia tertawa, air mukanya jadi terang dan ramai. Ia sambar tangannya si anak muda, untuk dicekal dengan keras. "Nyata dia tidak sesalkan aku!....Aku tak mau menerima uangnya itu.... Asal aku ketahui dia masih ingat aku, dia masih pikiri aku. Sekarang aku hendak pergi, aku
hendak pergi menemui dia. "
Sin Cie tahu tenaga si nyonya sudah hampir habis, maka ia ingin menghiburi Ceng Ceng.
Un Gie sudah tutup kedua matanya, atau tiba-tiba ia buka pula.
"Wan Siangkong, lagi dua hal aku hendak minta dari kau," katanya. "Dan aku ingin kau menerimanya dengan baik."
"Silahkan sebutkan itu, pehbo," Sin Cie lantas berikan jawabannya. "Segala apa yang aku sanggup, pasti aku akan menyanggupinya."
"Yang pertama-tama aku ingin kau nanti kubur aku didampingnya," berkata nyonya yang bernasib buruk itu. "Dan kedua....kedua. "
Sekonyong-konyong ia berhenti.
"Yang kedua.....apakah itu, pehbo?" Sin Cie tegaskan. "Silahkan pehbo menyebutkannya "
"Yang kedua itu....Kamu....kamu...." ia lantas tunjuk Ceng Ceng. Tak dapat ia meneruskannya, lantas kedua matanya ditutup rapat, kepalanya teklok, dan ia tidak berkutik lagi. Sin Cie segera raba dada orang, napasnya si nyonya sudah berhenti jalan.
Ceng Ceng mendekam ditubuh ibunya, ia menangis meng-gerung-gerung. Tapi ia tak menangis lama, segera ia pingsan.
Sin Cie terkejut.
"Adik Ceng, adik Ceng!" ia memanggil, berulang-ulang. "Tidak apa-apa," Uy Cin bilang. "Itulah disebabkan
kedukaannya yang sangat. "
Suheng ini nyalakan api tekesan, ia sulut sepotong sumbu, dengan itu ia asapkan hidungnya si nona, maka tidak lama, setelah berbangkis, Ceng Ceng ingat akan dirinya. Ia buka kedua matanya dengan pelahan-lahan, nampaknya ia seperti hilang ingatannya.
"Bagaimana rasamu, adik Ceng?" Sin Cie tanya, dengan pelahan.
Nona itu tidak menjawab.
Uy Cin dan Siau Hui merasa aneh. Mereka tidak tahu hubungan diantara Sin Cie dan Un Gie dan gadisnya nyonya ini. Dimata mereka, ibu dan anak itu mesti ada anggauta keluarga Un akan tetapi kenapa mereka justeru dicelakakan Ngo Cou dari Cio Liang Pay?
"Adik Ceng, mari kau turut kami," kata Sin Cie dengan air mata bercucuran. "Tak dapat kau tinggal disini lebih lama pula. "
Ceng Ceng masih bungkam tetapi ia dapat manggut.
Tanpa bilang suatu apa, tanpa likat juga, Sin Cie pondong tubuhnya Un Gie, untuk terus dibawa bertindak keluar. Diwaktu begitu, ia tidak ambil mumet lagi kepada keluarga Un.
407 Ceng Ceng berbangkit, ia ikuti anak muda itu.
Uy Cin, bersama-sama Siau Hui dan Hie Bin, pun segera bertindak akan tinggalkan tuan rumah.
Beng Tat dan tiga saudaranya dan yang lainnya pula, berdiri melongo, hati mereka panas. Bukankah mereka telah dianggap sebagai bukan manusia lagi? Tidak satu diantara rombongannya si anak muda gubris mereka dan mereka mesti antapkan saja orang bawa pergi dua anggauta keluarganya itu - anak perempuan, keponakan dan cucu!
Mereka menginsyafi liehaynya si anak muda dan suhengnya dia ini, mereka jeri, hingga tak berani mereka maju untuk menghalangi.
Sekeluarnya dari pekarangan, Uy Cin berikan seratus tail perak pada Hie Bin, muridnya.
"Kau bawa uang ini kepada petani yang rumahnya kita tumpangi," kata dia. "Kau berikan uang ini kepada mereka, lalu kau minta mereka pindah malam ini juga!"
Hie Bin sambuti uang itu tetapi ia awasi gurunya, agaknya ia heran.
"Kenapa dia mesti pindah sekarang juga?" tanyanya. "Pihak Cio Liang Pay tidak dapat berbuat apa jua
terhadap kita, pasti sekali mereka akan tumpleki
kemendongkolannya terhadap lain orang," sang guru menerangkan. "Petani itu beri tempat menumpang kepada kita, pasti sekali diaorang bakal disatroni keluarga Un itu."
Baru sekarang sang murid mengerti.
"Suhu benar," ia memuji. Dan ia lantas lari kerumahnya si orang tani, untuk serahkan uang itu, buat minta mereka pindah lantas. Sin Cie tunggu sampai orang she Cui itu kembali, Baru mereka melanjuti perjalanan, akan tinggalkan desa Cio Liang itu. Mereka lakoni perjalanan terus selama tigapuluh lie lebih, Baru mereka singgah disebuah kuil tua dan rusak diatas satu bukit.
Tiga huruf "Leng Koan Bio" yang sudah hampir hapus adalah namanya kuil yang tak terawat itu.
"Disini kita beristirahat," Uy Cin bilang.
Mereka memasuki ruangan rusak dan kotor disana-sini, dengan gala-gasinya juga. Mereka duduk diruang tengah dimana tubuhnya Un Gie diletaki didamping mereka.
"Bagaimana hendak kita urus jenazah nyonya ini?" tanya Uy Cin. Itu adalah soal paling penting. "Apakah kita kubur disini saja atau kita pergi kekota untuk merawatnya dahulu dengan baik?"
Sin Cie tidak menjawab, ia kerutkan alisnya.