Musim Semi telah berusia satu bulan. Pegunungan Liong-san, dari kaki sampai ke puncak, nampak hijau karena semua tumbuh-tumbuhan berdaun dan berbunga, mendatangkan suasana yang sejuk segar. Angin musim semi bertiup sepoi-sepoi menggerakkan padang rumput ilalang yang seolah menjadi lautan rumput yang bergoyang-goyang mengombak. Kalau orang berdiri di lereng tengah, melihat ke puncak Liong- san, akan nampak puncak itu muncul dari balik awan yang mengelilingi nya, seolah puncak itu ter gantung pada langit dan di puncak itu masih nampak sebagian berwarna putih karena masih ada sisa salju. Ka lau orang memandang ke bawah, akan nampak pemandangan yang teramat indahnya.
Kelompok-kelompok hutan diseling jurang yang curam, lalu di bawah sana nampak sawah ladang hijau menguning, dusun-dusun kecil dan padang-paaang rurnput. Segaris sungai berlenggak-lenggok seperti seekor naga menuruniy bukit, makin jauh semakin lebar.
Pagi itu udara amat cerahnya. Matahari pagi bersinar terang dan sejak pagi nampak kesibukan di sepanjang le- reng itu. Burung-burung beterbangan sambil berkicau saling sahutan, binatang-binatang kecil seperti tupai dan kelenci sudah keluar mencari makan.
Kekuasaan Tuhan nampak di mana-mana, memberi kehidupan dan kebahagiaan kepada apa dan siapa saja yang dapat menerimanya. Berkah Tuhan berIi mpahan, tak pernah kurang, kepada semua mahluk, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Selalu ada tersedia untuk menyambung kehid upan atau untuk me nikmati kehidupan.
Air, hawa udara, sinar matahari, tak pernah habis- habisnya menghidupi semua yang ada di permukaan bumi ini. Kekuasaan Tuhan berada di dalam mata kita yang membuat kita dapat melihat segala sesuatu yang nampak. Kekuasaan Tuhan terdapat di dalam pemandangan alam semesta yang amat indahnya. Kita tinggal membuka mata melihatnya untuk dapat menikmati semua itu.
Namun sungguh sayang. Kadangkala kita tidak melihat semua kei ndahan itu.'Butakah kita? Mata badan kita tidak buta, akan tetapi mata batin kita yang buta. Batin kita dipenuhi segala macam persoalan, disibukkan segala macam masalah yang dibuat oleh pikiran kita sendiri sehi ngga biarpun mata kita terbuka, kita tidak dapat melihat betapa Kekuasaan Tuhan bekerja dan hasilnya terbentang luas di depan mata kita.
Lihatlah awan yang berarak di seputar puncak itu. Betapa ajaibnya. Lihatlah ujung-ujung ranting penuh daun itu yang menari-nari ditiup angin. Betapa menakjubkan. Rasakanlah mengalirnya hawa sejuk segar itu ke dalam paru paru kita. Betapa nikmat dan segarnya.
Dengarlah kicau burung, dendang percik air sungai, bisikan rumput ilalang digerakkan angin. Betapa merdunya. Namun semua itu lenyap, lewat begitu saia di depan mata, di depan telinga, di depan panca indera kita yanq secang sibuk sendiri oleh hati akal pikiran yang menumpuk masalah. Berbahagialah orang yang dapat menikmati itu semua.
Hidup adalah berkah. hid up adalah nikmat, hid up adalah bahagia.
Hampir semua orang di dunia ini mengejar-ngejar atau mencari kebahagian dengan berbagai cara, bahkan ada cara menyiksa diri untuk mencari kebahagiaan! Pada hal, kalau kita simak, mengapa kita mencari kebahagiaan? Mengapa kita mendambakan, membutunkan kebahagiaan? Jawabannya hanya satu, Yakni bahwa kita mencari kebahagiaan karena kita MERASA tidak berbahagia Bukankah demikian halnya ? Kita mendambakan kebahagiaan karena kita merasa tidak berbahagia.
Kebahagiaan adalah suatu keadaa n hati perasaan. Kalau dalam keadaan tidak berbahagia kita mencari ke bahagiaan, mungki nkah kita akan dapat nenemukannya? Tidakkah yang lebih penting kita menyelidiki, apa yang menyebabka n kita tidak berbahagia itu ? Kalau sebab yang membuat kita tidak berbahagia itu tidak ada lagi, Perlukah kita mencari kebahagiaan? Tentu saja tidak perlu lagi, kita tidak butuh bahagia lagi karena kita SUDAH berbahagia!
Sama halnya dengan kesehatan. Dalam keadaan sakit mengejar-ngejar kesehatan jelas tidak mungkin .
Kesehatan adalah suatu keadaa n badan. Kalau sebab yang membuat kita sakit atau tidak sehat itu sudah hilang, kita tidak membutuhkan kesehatan lagi karena kita sudah sehat! Akan tetapi seperti juaa kesehatan, kebahagiaan tidak dirasakan oleh kita, Kalau kita sehat, apakah kita merasa sehat ? Kita baru merasa membutuhkan kesehatan begitu kita sakit .
Demikian pula dengan kebahagiaan. Kita tidak merasakan betapa Tuhan menciptakan kita dengan sempurna, betapa kebahagiaan sudah ada pada diri kita, namun kita baru merasakan kalau ada sesuatu yang mengganggu sehingga kita merasa tidak berbahagia. Terpujilah Tuhan Maha Kasih. BerkahNya sudah berlimpahan. Tinggal kita mampu untuk menerimanya atau tidak! . Di puncak Liong-san (Gunung Naga) yang dingin itu, yang dari lereng nampak dikelilingi awan dan sunyi senyap itu, pada pagi hari itu tidaklah sunyi. Di puncak yang datar dan penuh batu besar itu nampak empat orang sedang duduk bersila saling berhadapan, dan mereka itu nampaknya sedang berbantahan.
"Sian-cai !"
Seorang di antara mereka, seorang tosu (pendeta agama To) berseru.
"Kami dari Hoasan-pai selalu mempertanggung- jawabkan perbuatan kami. Kalau kami yang mengambil golok mestika itu, pasti akan kamu akui! akan tetapi pinto (aku) berani memastikan bahwa perbuatan itu tidak dilakukan oleh seorang di antara kami!" Tosu ini adalah Thian Seng Cu, seorang tokoh dari partai Hoa-sanpai, seorang tosu yang terkenal lihai berusia sekitar limapuluh tahun, bertubuh tinggi kurus.
"Kalau ada seorang di antara para pe ngawal itu tewas karena pukulan Tiat ciang (Tangan Besi), Itu pasti ada orang lai n yang mencuri ilmu perkumpulan kami dan menggunakannya. Kami tidak akan pernah mempergunakan Tiat-cia ng untuk membunuh orang dan mencuri golok mestika!"
"0mitohud....!" Seru seorang hwesio yang gemuk, berusia sekitar lima puluh tahun Juga. "Apa yang diucapkan Thia n Seng Cu Tosu adalah suara hati pinceng Juga! Seorang pengawal telah tewas dengan pukulan Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah), akan tetapi pinceng berani tanggung bahwa pukulan itu tidak dilakukan oleh seorang murid Siauw lim-pai. Murid Siauw-lim-pai tidak akan mencuri golok mestika dari gudang pusaka istana!" Hwe-slo Itu bernama Tek Hwat Hwe-slo, seorang tokoh Siauw lim-pai tingkat tiga.
" O-ho.......!" Seorang di antara mereka, yang barpakaian seperti seorang sasterawan, berseru nyaring. "Kalau Hoa-sanpai dan Siauw-lim-pai tidak mengambil golok mestika itu, apakah ada yang menyangka bahwa Butong-pai mengambilnya? Kami juga bukan golongan pencuri yang suka mencuri golok mestika. Biarpun di antara para pengawal ada yang tewas karena senjata rahasia Touw-kut-teng, namun aku berani tanggung bahwa itu bukanlah perbuatan murid Butong-pai!" Orang berpakaian sasterawan ini adalah Kiang C un, seorang tokoh Butong-pai yang lihai pula. Usia nya empatpuluh tahun lebih dan tubuhnya sedang saja, hanya sepasang matanya yang menarik perhatian karena tajamnya seperti mata elang.
"Sian-cai.... ! Di antara kita memang tidak mungki n ada yang mencuri golok mestika itu. Kami dari Kun-lun- pai juga tidak pernah mencurigai perkumpulan sam-wi (anda bertiga), seperti juga kami tidak tahu menahu tentang lenyapnya golok mestika. Kematian seorang pengawal akibat pukulan Pek-lek-jia u (Tangan Geledek) bukan merupakan bukti bahwa murid kami yang melakukannya. Setiap ilmu yang sudah dipelajari oleh ratusan orang murid, bisa saja bocor keluar dan dipelajari oleh orang lain, lalu dipergunakan untuk melakukan fitnah kepada kami! Justeru kami mengundang sam-wi berkumpul di Liong-san ini untuk membicarakan urusan itu, bukan saling menuduh, Pencuri telah mempergunakan ilmu-ilmu dan senjata rahasia kita untuk membunuhi para pengawal. Berarti perkumpulan kita berempat yang difitnah. Sudah menjadl kewajiban kami untuk menyelidiki dan menangkap pencuri yang melempar fitnah kepada perkumpulan kami berempat itu!"
"Hemm, benar sekali apa yang dikatakan Ciong-tosu!"
Orang yang disebut Ciong-tosu itu adalah seorang tosu dari Kun-lun-pai, tubuhnya tinggi besar dan jenggotnya panjang sampai ke dada, nampaknya gagah sekali dalam usia nya yang 1imapuluh tahun.
"Karena itu, pinto harap agar kita semua pulang keperkumpulan masing-masi ng dan mengerahkan para anggauta untuk melakukan penyelidikan. Menyelidiki si pencuri memang tidak mudah, maka jalan satu-satunya adalah mencari golok mestika Itu. Dan satu-satunya cara untuk memanci ng si pencuri adalah mengabarkan bahwa golok mestika yang dicurinya itu adalah palsu!"
Tiga orang yang lai n mengangguk-angguk setuju. Pada saat itu terdengar suara orang tertawa bergelak dan sinar hitam halus menyambar ke arah mereka. Semua orang mengelak dari sambaran senjata rahasia ini, kecuali Kiang Gun, tokoh Butong-pai itu. Dia menggunakan dua jari tangannya menjepit dan menangkap senjata rahasia itu,
"Touw kut-teng (Paku Penembus Tu lang) !" Serunya kaget mengenal senjata rahasia dari perkumpulannya.
"Kurang ajar, slapa menggunakan Touw-kut-teng?"
Semua orang berloncatan dan membalikkan tubuh ke arah dari mana datangnya sambaran senjata rahasia itu. Mereka melihat seorang laki-laki berusia kurang lebih limapuluh tahun, bertubuh tinggi besar seperti raksasa dan bermuka hitam, telah berdiri tak jauh dari tempat mereka dan bertolak pi nggang sambil tertawa bergelak. Kiang Cun melangkah ke depan dan menegur dengan suara lantang, "Siapa engkau berani menggunakan senjata rahasia Touw-kut-teng kami?"
"Ha-ha-ha! Selain Touw-kut-teng, akupun pandai menggunakan Tiat-ciang dari Hoa-san-pai, Ang-see- ciang dari Siauw-lim-pai, dan Pek-lek-jiau dari Kun-lun- pai. Ha-ha-ha-ha!"
Siapa raksasa muka hitam itu congkak sekali. Wajahnya memang menyeramkan. Kepalanya botak, rambutnya yang jarang itu kaku seperti kawat, demikian pula jenggot dan kumisnya, kaku bercampur uban. Alisnya tebal, matanya besar dan terbelalak, hid ungnya besar dan mulutnya lebar. Segala anggauta tubuh orang ini nampaknya besar dan tebal, tubuhnya yang tinggi besar itu kokoh kekar seperti batu karang.