Puluhan jurus telah berlalu, pancaran sinar biru semakin berkembang dan menyolok, demikian juga hawa dingin semakin membekukan, hawa beracun jaga semakin tebal dengan baunya yang memualkan itu.
Keadaan Giok-liong semakin keriputan berloncatan kian kemari sehingga mencak-mencak seperti joget kera.
Kalau keadaan Giok-liong semakin payah, keadaan Tam-kiong-sianci Hoan-Ji-hoa juga tidak lebih baik, karena setiap melancarkan serangannya harus menguras tenaga terlalu besar, lama kelamaan jidatnya mandi keringat napas juga tersengal memburu.
Setengah jam telah berlalu, pancaran sinar biru semakin guram, demikian juga mega putihpun semakin pudar, Ketika belah pihak sudah bertempur mati matian sampai kehabisan tenaga, Rambut Tam kiong sian-ci Hoa Ji-hoa riap-riapan, air mukanya pucat, napasnya memburu mesti gerak langkah sudah sempoyongan namun pedang beracun ditangannya masih bekerja dengan ganas.
Jurus jurus pelajaran ilmu potlot mas Giok liong sudah dilancarkan berulang kali, Tapi karena tidak berani menangkis atau bersentuhan dengan senjata lawan, jadi hakikatnya selama ini ia hanya main kelit dan bela diri saja, sebetulnya banyak kesempatan dapat merobohkan musuh dengan sekali gebrak saja, sayang hatinya penuh keraguan sehingga sia-sia saja kesempatan baik itu.
Mendadak bergerak hatinya "Kenapa aku tidak gunakan seruling samber nyawa untuk memecahkan ilmunya !"
Bahwasanya seruling samber nyawa adalah senjata pusaka peninggalan tokoh-tokoh persilatan yang kosen, merupakan senjata sakti dan ampuh berkasiat dapat melawan hawa beracun adanya kesaktian yang madraguna ini mungkin tak perlu takut lagi akan pedang beracun."
Tanpa banyak pikir lagi segera ia merogoh keluar seruling samber nyawa, Alunan lima irama seruling dengan lagu yang merdu segera kumandang ditengah udara, dimana sinar putih melayang dari batang seruling terhembus hawa dingin yang menyegarkan seketika terbagun semangat Giok-liong.
Betul juga begitu seruling ditangannya bergerak hawa beracun yang berbau amis memualkan itu lantas sirna tanpa bekas seperti tersapu bersih oleh hujan badai.
Keruan bukan kepalang girang Giok liong, batinnya.
"Sungguh goblok aku, kenapa sejak mula aku tidak teringat akan hal ini!"
Segera ia putar seruling ditangannya lebih kencang, mulutnya berseru.
"Bibi, lekas simpan kembali senjata beracun itu, kalau tidak..."
Belum habis kata-katanya mendadak ia rasakan seruling ditangannya seperti ular hidup dapat bergerak sendiri seperti tumbuh daya sedot tergerak mengikuti ayunan padang beracun kemana saja melayang, yang lebih hebat lagi saban-saban menangkis dan menutuk kebatang pedang dengan tanpa terkendali lagi.
Giok-liong menjadi heran mendadak terasa tangan kanan tergetar keras, tak kuasa lagi seruling itu lantas bersuit nyaring terlepas dari tangannya, seperti kuda pingitan lepas dari kandangnya melesat terbang kedepan dengan kencang.
"Celaka !" - "Trang !" - "Aduh !"
Perubahan yang terjadi ini betul-betul dlluar dugaan, Tahu-tahu Pek-tok-lan-king hoathiat- kiam sudah terpental terbang ketengah udara setinggi puluhan tombak meluncur kelereng gunung sana.
Irama seruling juga lantas berhenti, daya sedot dan pancaran sinarnya yang cemerlang tadi juga semakin guram, Giok-liong berdiri terlongong aitempatnya seperti patung.
Dilain pihak, tampak Tam-kiong-sian-ei Hoan Ji-hoa terjurai sempoyongan, wajahnya pucat pias tanpa darah, sebaliknya telapak tangannya pecah mengucurkan banyak darah.
Perubahan ini betul betul tak terduga sebelumnya.
Beruntun Hoan Ji hoa terhuyung beberapa langkah, akhirnya tangannya menyikap dahan pohon.
sekuat tenaga ia meronta berdiri, desisnya geram.
"Ma Giok liong! Ma Giok - liong ! Kapan Hwi-hun sam-ceng berbuat salah terhadap kau !"
Perasaan Giok-liong sungguh sukar dilukiskan dengan katakata, hatinya seperti ditusuk tusuk sembilu, ia berdiri kesima memandangi seruling dan potlot mas ditangannya.
Akibat yang dialami ini betul-betul diluar dugaannya.
Tak tahu dia bahwa seruling pusaka ini begitu sakti mandraguna, begitu kebentur dengan senjata berbisa yang jahat, tanpa komando lantas memperlihatkan perbawanya, begitu hebat perbawa kesaktiannya sampai tenaga manusia juga tidak mampu mengendalikan.
Lama ia berdiri bagai kesetanan.
akhirnya tersadar dari lamunannya.
Membaru berapa langkah sambil menyimpan seruling dan Potlot masnya, katanya tergagap.
"Bibi siautit..."
"Stop!"
Tam-kong-sian-ci Hoan -Ji-hoa membentak bengis.
"Selangkah lagi kau maju, aku bersumpah takkan hidup bersama kau didunia ini. Ketahuiah bahwa warga Hwi-hunsanceng boleh dibunuh tak boleh dihina. Berani maju alangkah lagi, kumaki kau habis-habisan."
Terpaksa Giok-Iiong menghentikan langkah, jauh-jauh ia berdiri serunya dengan nada memohon."
Bibi dengarlah penjelasanku!"
Sekonyong-konyong setitik sinar terang melengking nyaring menembus udara meluncur datang dari kejauhan sana langsung menerjang kemata kanan Giok liong, Betapa cepat daya luncuran titik sinar terang ini serta ketepatan sasaran yang diarah betul-betul mengejutkan.
Sambil berkelit minggir Giok-liong menggerakkan tangan meraih benda yang meluncur datang itu dan tepat kena ditangkapnya, Waktu ia menunduk melihat, kiranya benda di telapak tangannya itu bukan lain adalah sebentuk batu giok yang berbentuk jantung hati warna merah darah pemberian ibunya sebelum berpisah dulu.
seketika ia berjingkrak kegirangan, teriaknya keras.
"Adik Sia! Ki-sia"
"Siapa adik Sia-mu, manusia tidak kenal budi, mata keranjang tak kenal cinta suci!"
Betul juga Coh Ki sia sudah melayang tiba dihadapan Giok liong, Tapi bukan menghampiri kearah Giok liong, segera ia memburu lari kepelukan Tam-kiong-sian-ci Hoan Ji-hoa, katanya sambil sesenggukan "Bu, kenapa kau Bu..."
Wajah Hoan Ji hoa berkerut kerut bergetar sekuatnya ia menahan sakit sebelah tangannya mengelus-ngelus rambut putri kesayangannya, air matanya mengalir deras, ujar gemetar. Anak Sia! Nak, kemanakah kau selama ini, membuat ibumu menderita mencarimu!"
Sambil mengembeng air mata Coh Ki sia menunjuk Giokliong, katanya.
"Dia pergi sekian lama tanpa memberi kabar berita, Maka tanpa pamit aku melarikan diri dari penjagaan nenek, Tak nyana selama kelana di Kangouw ini baru aku tahu bahwa dia bukan lain seekor serigala cabul yang suka ngapusi kaum perempuan."
Mendengar ini, segera Giok liong menyelak bicara.
"Adik Sia, mana boleh kau bicara sembarangan!"
Tanpa menanti Giok-liong bicara habis, Coh Ki-sia sudah menyemprotnya.
"Kau sangka aku menuduhmu semenamena? Li Hong, Kiong Ling-ling, Tan Soat-kiau, Ling Soat yan serta Sia Bik-yau dari Ui - hoa kiam itu ... masih ada lagi, oh., Bu, begitu kejam ia menyiksa anak"
"Dari mana asal mula perkataanmu ini, memang dikalangan kangouw tersiar kabar demikiaa, tapi kenapa kau begitu percaya obrolan orang !"
Tam kiong-sian ci Hoan Ji-hoa mendelik gusar berapi-api, gerangnya marah.
"Apakah kau melukai kita suami istri juga pura-pura !"
"Hah ! Dimana ayah ? Ayah ..."
"Ayahmu terkena pukulan Sam-ji cui-hun-chiu, setelah terluka parah . , . anak Sia coba kau tilik dia, mungkin dia ...
"
Tak tertahan lagi Hoan Ji-hoa ikut menangis sesenggukan. Coh ki-sia berjingkrak berdiri, setindak demi setindak ia menghampiri kehadapan Giok-liong, desisnya berat .
"Baru sekarang aku dapat melihat muka aslimu ! Manusia berhati binatang !"
Cepat-cepat Giok liong membela diri.
"Aku toh tidak tahu kalau beliau adalah paman dan bibi."
"Tutup mulutmu! Meski ayahku bakas tokoh kenamaan di dunia persilatan tapi toh bukan tidak punya nama, apalagi ilmu Hwi-hun-chiu tiada aliran kedua di dunia ini !"
"Tapi, aku ... aku tidak tahu !"
"Tidak tahu ! Kau sengaja !"
Tam-kiong sian ci Hoa Ji hoa mendengus hidung, jengeknya.
"Hm, aku sudah memperkenalkan diri kau masih tidak tahu ?" "Bukankah aku segera memanggilmu bibi, serta minta kau orang tua segera berhenti ?"
"Lalu kenapa kau keluarkan Potlot mas dan seruling samber nyawa, Melancarkan Jan-hun-su-sek lagi secara mati-matian hendak adu jiwa dengan aku !"
"Ini kan , ..karena ..."
Kontan sambil marah Coh Ki sia me^langkah setindak, jarinya menuding hidung Giok liong, semburnya.
"Aku tidak akan mendengar obrolanmu Mana kembalikan !"
"Apa ?"
"Giok-pwe milikku itu !"
Pelan-pelan GioK-liong menarik keluar Giok-pwe tanda mata yang tergantung dilehernya itu, katanya lirih .
"Adik Sia, lihatlah ...
"
Tak diduga kemarahan Coh Ki sia sudah tak terbendung lagi, sekali raih ia terus rebut Giok-pwe itu dan ditariknya sekuatnya sambil membanting kaki.
Benang sutra yang mengikat putus, sampai Giok-Iiong sendiri ikut tertarik menjorok kedepan hampir jatuh tersungkur, wajahnya pucat dan sedih.
Kiranya amarah Coh Ki sia belum reda, lagi-iagi tangannya diulurkan katanya lagi .
"Masih ada, kembalikan sekalian !"
"Masih ada ? Apa ?"
"Sapu tangan !"
"Sapu tangan ?"
"Mengapa? kau sudah lupa ?"
"Tidak, bagaimana aku bisa lupa ?"
"Lha, kembalikan !" "ini ...
"
"Ini itu apa, lekas kembalikan. Sejak hari ini putus hubungan kita."
Hati Giok-liong seperti ditusuk-tusuk, katanya memohon .
"Adik Sia, sejak perpisahan di Hwi-hun-san-cheng, siang malam selalu kuteringat akan kau, masa kau .."
"Sudah jangan cerewet, kembalikan sapu tanganku itu ?"
Sementara itu, Hoan Ji hoa yang belum sempat istirahat mendengar percakapaa putrinya ini, rasa gusarnya memuncak lagi, akhirnya ia tak tahan berdiri lagi tangannya mengapegape dahan pohon berusaha berpegangan, saking lemasnya akhirnya ia menyemburkan darah lagi terus melorot jatuh terduduk.
Betapa erat ikatan batin antara ibu dan anak, bertambah mendelu dan pedih perasaan hati Coh Ki sia, desaknya sambil membanting kaki.
"Kau mau kembalikan tidak?"
Giok-lioig jadi nekad, katanya terus terang.
"Sapu tanganmu tak berada ditanganku."
"Lalu dimana ?"
"Diambil oleh Hiat-ing Kong cu ...
"
"Plak, plak !"
Dua tamparan keras dan nyaring seketika membuat kedua pipi Giok-liong bengap dan terasa panas, mata sampai berkunang-kunang.
Setelah menampar muka Giok liong, tak tertahan lagi Coh Ki-sia menjerit nangis gerung-gerung terus berlari ke hadapan ibunya, katanya sambit sesenggukan.
"Bu, akulah yang salah sehingga kau ikut menderita."
"Anak Sia, jemput kembali pedang ibu!"
"Tanpa mengerling ke arah Giok liong yang berdiri terlongong mematung, cepat Coh Ki-sia berlari ke arah sana menjemput Pek-tok-lan kiang
hoai-hiat kiam, pelan-pelan ia payang ibunya, lalu tanyanya .
"Dimanakah ayah !"