Muridnya belum memiliki sinkang yang kuat maka ilmu itu dapat mencelakakan muridnya itu. Ia tidak bernafsu lagi menonton dan mulailah ia mencari muridnya itu. Ketika ia tidak dapat melihat muridnya di antara para tokoh yang hadir, kakek ini lalu pergi ke pantai dan mengelilingi pulau untuk mencari. Kemana perginya bocah itu? Ketika tadi Bun Beng menyaksikan pertandingan dan melihat para suheng-nya kalah lalu gurunya maju menolong, dari tempat ia berdiri ia melihat rombongan koksu di kapal itu tertawa-tawa, seolah-olah menertawakan para suheng-nya yang kalah. Hatinya menjadi panas, apa lagi ketika melihat koksu itu bersama beberapa orang lain turun dari kapal dan memasuki sebuah perahu kecil yang didayung ke pulau. Ia tidak dapat menahan kemarahan hatinya. Ingin ia menantang koksu itu untuk melawan gurunya atau mengikuti pibu.
Dianggapnya amat tak tahu malu orang-orang pemerintah itu yang hanya menonton dan memblokir tempat itu seperti seekor serigala yang membiarkan anjing-anjing berebut tulang. Biar pun masih kecil, dari cerita kakek Siauw Lam, Bun Beng dapat menduga bahwa kehadiran pasukan pemerintah itu pasti mengandung maksud tidak baik terhadap para tokoh. Ingin ia melihat jago-jago kerajaan itu turun gelanggang mengadu kepandaian dengan orang gagah. Maka ia lalu menuruni tebing, lupa akan gurunya, kemudian berlari menuju ke arah pantai untuk memapaki koksu negara dan pembantu-pembantunya. Yang berada di perahu kecil itu adalah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun sendiri, koksu bersama lima orang pembantunya, yaitu Thian Tok Lama, Thai Li Lama, dan tiga orang jenderal pasukan pengawal. Perahu di dayung oleh Bhe Ti Kong, panglima tinggi besar yang bertenaga kuat itu sehingga sebengtar saja perahu telah mendarat.
Setelah menyaksikan sepak terjang dua orang utusan Pulau Es, Im-kan Seng-jin menjadi tertarik sekali dan sudah "gatal-gatal tangan"
Untuk mendekati dan kalau perlu ikut main-main dengan para orang gagah. Demikian pula dengan kedua orang hwesio Lama dari Tibet, ingin sekali mencoba kepandaian orang-orang sakti itu. Akan tetapi, baru saja mereka mendarat, seorang anak laki-laki telah menghadang mereka sambil bertolak pinggang dan memandang dengan mata melotot! Bocah ini bukan lain adalah Bun Beng! Enam orang itu heran melihat ada seorang anak kecil berada di tempat seperti itu. Sungguh tidak pernah mereka sangka! Tempat itu pada saat ini pantasnya hanya dikunjungi oleh orang-orang sakti yang berilmu tinggi, bukan tempat bermain anak kecil. Dan anak ini sengaja menghadang, berdiri menantang dan memandang dengan mata melotot marah!
"Eh, bocah kurang ajar! Mau apa kau ke sini? Hayo pergi!"
Bhe Ti Kong membentak. Akan tetapi Bun Beng tidak bergerak dari tempatnya, bahkan berkata nyaring.
"Siapa yang kurang ajar? Aku di sini tidak melakukan apa-apa, sebaliknya kalian yang sungguh tidak patut hanya menonton dan menertawakan orang! Kalau memang kalian ada kepandaian, mengapa tidak ikut pibu saja ke sana? Ataukah beraninya hanya menertawakan yang kalah?"
Sejenak enam orang itu terbelalak mendengar ucapan seperti itu keluar dari mulut seorang bocah yang usianya kurang lebih sepuluh tahun. Bhe Ti Kong menjadi marah sekali.
"Bocah setan!"
Bentaknya dan tangannya bergerak menangkap pundak Bun Beng dengan maksud untuk dilemparkan agar jangan menghadang dan mengganggu.
"Wuuuussss!"
Tangannya luput. Hal ini makin mengherankan mereka, terutama sekali Bhe Ti Kong. Seorang bocah masih begitu kecil sudah dapat mengelak dari tangkapannya. Hal ini benar-benar mengejutkan, karena seorang dewasa sekali pun belum tentu dapat mengelak secepat itu. Ia menjadi penasaran dan menubruk ke depan, cepat sekali. Bun Beng mengerti bahwa untuk mengelak ia kalah cepat, maka ia menyambut tubrukan panglima itu dengan pukulan tangannya ke arah perut Bhe Ti Kong.
"Aihhh!"
Bhe Ti Kong kaget, akan tetapi ia berhasil menangkap tangan kecil yang memukul, kemudian tubuh Bun Beng diangkat hendak dibanting.
"Bhe-goanswe, jangan!"
Tiba-tiba terdengar suara Im-kan Seng-jin.
"Lemparkan dia kepadaku!"
Bhe Ti Kong menahan tangannya dan melontarkan bocah itu ke arah koksu, dan melayanglah tubuh Bun Beng. Im-kan Seng-jin menyambut tubuhnya dengan mudah dan kakek botak tinggi kurus ini meraba-raba dan mengukur-ukur kepala Bun Beng dengan jari-jari tangannya, dikilani dengan ibu jari dan telunjuk, diukur dari depan ke belakang, dari kanan ke kiri dan dari bawah ke atas, kemudian dipijit-pijit bagian-bagian kepala Bun Beng. Wajahnya menjadi girang sekali dan setelah selesai mengukur-ukur kepala anak itu, Im-kan Seng-jin lalu memeriksa mata Bun Beng dengan membuka kelopak matanya, kemudian menjepit rahang Bun Beng sehingga anak itu terpaksa membuka mulutnya, memeriksa dalam mulut, kemudian menaruh tangan kanan di dada dan jari-jari tangan kirinya memegang nadi tangan Bun Beng. Ia mengangguk-angguk dan tersenyum lebar, wajahnya berseri.
"Aaaahhhh, Ji-wi Lama, lihat, apa yang kutemukan ini! Tulangnya bersih darahnya murni, dan kepalanya....! Hebat....! Rongga otaknya luas, daya tangkapnya kuat, semangatnya besar jalan darahnya lancar, isi dadanya sempurna semua! Benar-benar seorang sin-tong (anak ajaib) yang sukar ditemukan keduanya! Wah, kalau dia sudah kuberi makan obat kuat secukupnya, dia akan dapat memenuhi syarat aku melaksanakan ilmu peninggalan guruku, I-jwe-hoan-hiat (Ganti Sumsum Tukar Darah)!"
Tiga orang panglima itu tidak mengerti apa artinya I-jwe-hoan-hiat, akan tetapi Thian Tok Lama dan Thai Li Lama menjadi pucat wajahnya. Thai Li Lama memandang Bun Beng dengan sinar mata kasihan lalu menundukkan muka, sedangkan Thian Tok Lama lalu berkata perlahan.
"Omitohud...., semoga Sang Buddha menunjukkan jalan terang bagi Koksu!"
"Heh-heh-heh! Ji-wi Lama, kalian orang-orang beragama hanya memikirkan tentang dosa saja! Bagi orang-orang seperti kami, dosa adalah soal ke dua, yang terpenting adalah memanfaatkan segala macam demi kepentingan dan kemajuan kita. Ha-ha-ha! Eh, Sin-tong, siapa namamu?"
"Aku bukan sin-tong, aku bernama Gak Bun Beng. Lepaskan, aku mau pergi!"
Bun Beng meronta dari pegangan kakek itu. Anak ini pun tidak mengerti apa artinya I-jwe-hoan-hiat. Kalau dia mengerti tentu akan merasa ngeri, betapa tabah pun hatinya, karena ilmu itu ada-lah ilmu hitam yang amat keji, yaitu Si Kakek ini hendak menyedot darah dan sumsum Bun Beng dalam keadaan hidup-hidup untuk menggantikan sumsum dan darahnya sendiri yang sudah lemah dan kotor!
"Engkau mau pergi? Nah, pergilah kalau dapat!"
Koksu itu melepaskan pegangannya. Bun Beng menggerakkan kaki hendak berlari pergi akan tetapi.... tubuhnya tak dapat bergerak maju, kedua ka-kinya tak dapat digerakkan seolah-olah tertahan oleh sesuatu yang tidak nampak!
"Ha-ha-ha! Engkau tidak bisa pergi, Bun Beng, karena semenjak saat ini engkau harus selalu ikut bersamaku, tidak boleh berpisah sedikitpun. Tidur pun harus di sampingku. Hayo, ikut dengan kami menonton pibu, heh-heh-heh!"
Tubuh Bun Beng didorong dan.... kedua kakinya dapat dipakai berjalan mengikuti rombongan itu. Akan tetapi setiap kali dia hendak melarikan diri, mendadak kedua kakinya tidak dapat digerakkan! Dia mulai merasa ngeri. Tentu kakek aneh ini menggunakan ilmu iblis, pikirnya.
"Bun Beng....!"
"Suhu....!"
Bun Beng berteriak girang sekali ketika ia melihat munculnya Kakek Siauw Lam di depan. Rombongan koksu itu pun berhenti ketika mendengar Bun Beng menyebut kakek itu sebagai gurunya.
"Bun Beng, ke sinilah engkau!"
Kakek Siauw Lam berkata kepada muridnya, hatinya gelisah melihat muridnya itu bersama rombongan koksu.
"Teecu.... teecu tidak bisa, Suhu....!"
Kata Bun Beng sambil berusaha menggerakkan kedua kakinya.
"Siapa bilang tidak bisa? Majulah engkau ke sini!"
Kakek Siauw Lam yang sudah melihat bahwa Bun Beng sebenarnya tertahan oleh hawa sin-kang yang keluar dari tangan koksu itu, menggerakkan kedua tangannya ke depan sambil mengerahkan sin-kangnya. Terdengar suara bercuitan dan.... tiba-tiba tubuh Bun Beng terdorong ke depan, ke arah gurunya.
"Heh-heh, boleh juga tua bangka ini."
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tertawa untuk menyembunyikan kagetnya, kemudian ia pun menggerakkan kedua tangan ke depan. Terjadilah tarik-menarik oleh dua kekuatan yang tidak tampak, dan Bun Beng merasa betapa tubuhnya ditarik ke depan dan ke belakang. Akan tetapi akhirnya.... ia tertarik ke belakang dan tangan koksu itu sudah menangkap pundaknya sambil tertawa-tawa. Bukan main kagetnya hati Kakek Siauw Lam. Tak disangkanya bahwa koksu itu ternyata memiliki kekuatan sin-kang yang luar biasa sekali! Maka ia cepat menjura dan berkata,
"Mohon Paduka suka melepaskan murid hamba yang tidak berdosa, dan maafkan hamba yang tidak tahu diri berani berlaku lancang."
"Heh-heh, engkau guru bocah ini?"
"Benar, Taijin."
"Siapa namamu?"
"Nama hamba Siauw Lam, seorang anggauta Siauw-lim-pai."
Kakek itu sengaja menggunakan nama Siauw-lim-pai untuk mencari pengaruh, karena pada waktu itu, pemerintah tidak mau bermusuhan dengan partai-partai persilatan besar, terutama Siauw-lim-pai yang kuat. Tiba-tiba Thian Tok Lama mengerutkan alis dan berkata,
"Seingat pinceng, yang bernama Siauw Lam adalah seorang hwesio terkenal di Siauw-lim-pai!"
Kakek Siauw Lam memandang kepada hwesio Lama itu dan memberi hormat sambil berkata,
"Saya yang berdosa dahulu adalah Siauw Lam Hwesio, akan tetapi sudah bertahun-tahun ini saya mengundurkan diri dan menjadi orang biasa, Kakek Siauw Lam pelayan Kuil Siauw-lim-pai."
Mendengar ini, pandang mata kedua orang Lama itu memandang rendah dan alis mereka berkerut. Tak senang hati mereka mendengar betapa seorang hwesio telah mengundurkan diri dari kependetaannya, hal ini mendatangkan kesan di hati mereka bahwa kakek itu adalah seorang durhaka dan berkhianat terhadap agama!
"Kakek Siauw Lam, kalau engkau guru dari Bun Beng ini, kebetulan sekali. Aku akan mengambil muridmu ini, aku sayang kepadanya!"
"Tidak, Suhu, dia tidak sayang kepada teecu! Dia hendak menggunakan teecu sebagai syarat ilmunya I-jwe-hoan-hiat!"
Im-kan Seng-jin hendak mencegah Bun Beng bicara, namun terlambat dan seketika wajah Kakek Siauw Lam menjadi pucat, matanya menyinarkan api kemarahan.
"Taijin, harap jangan menghina murid Siauw-lim-pai. Kembalikan muridku!"
Bentaknya. Im-kan Seng-jin pun berganti sikap, memandang marah.
"Apa? Engkau pelayan kuil berani menentang aku? Berani melawan koksu kerajaan?"
"Saya tidak melawan siapa-siapa, akan tetapi Bun Beng adalah muridku dan biar dewa sekalipun hanya bisa merampasnya melalui mayatku!"
Kakek itu sudah marah sekali karena ia tahu apa artinya nasib muridnya kalau hendak dijadikan syarat orang melaksanakan ilmu iblis itu.
"Ha-ha-ha, Ji-wi Lama, lenyapkan hwesio yang durhaka ini!"
Im-kan Seng-jin berkata. Kedua orang Lama itu memang sudah membenci Kakek Siauw Lam, maka kini keduanya lalu menerjang maju dari kanan-kiri, mengirim pukulan-pukulan dahsyat sekali. Dari kiri Thian Tok Lama memukul dengan Ilmu Hek-in-hui-hong-ciang sehingga angin keras menyambar disertai uap hitam, adapun dari kanan Thai Li Lama juga memukul dengan pukulan sakti Sin-kun-hoat-lek! Melihat datangnya pukulan yang me-ngandung hawa sakti amat dahsyatnya itu Kakek Siauw Lam terkejut dan maklum bahwa dia menghadapi dua orang lawan yang amat kuat dan harus dilawan mati-matian, terutama untuk menolong muridnya. Maka ia pun mengerahkan sin-kangnya, mengembangkan kedua lengannya ke kanan-kiri dengan jari tangan terbuka dan menerima pukulan kedua lawan itu dengan telapak tangannya.
"Plak! Plak!"
Telapak tangan mereka bertemu dan melekat. Tiga orang itu berdiri tak bergerak, saling beradu telapak tangan yang mengeluarkan hawa sakti dan terjadilah adu tenaga sakti yang amat dahsyat! Beberapa menit lamanya ketiga orang kakek ini berdiri tegak tak bergerak akan tetapi lambat-laun tubuh kedua orang Lama itu bergoyang-goyang, sedangkan tubuh Kakek Siauw Lam masih tegak, sama sekali tidak terguncang, hanya dari rambut kepalanya mengepul uap putih dan mukanya pucat.