Rajawali Lembah Huai Chapter 71

NIC

“Aku mengerti, toako. Akan tetapi kebetulan sekali dia sedang keluar dari benteng. Dia akan meninggalkan benteng pagi ini untuk kembali ke Wu-han. Ini kesempatan kita, toako. Kita hadang dia di tengah perjalanan dan kita dapat membalas dendam tanpa mengacaukan kota. Menurut penyelidikanku, panglima Khabuli hanya dikawal dua belas orang prajurit pengawal. Semua sudah kuatur, toako. Sudah kupilih dua puluh orang pembantu kita yang akan menandingi dua belas orang pengawal itu, sedangkan Khabuli sendiri kuserahkan kepadamu! Nah, bukankah ini kesempatan baik sekali?”

“Tapi... kalau diketahui bahwa Hwa I Kaipang yang...” “Ah, sudah kupersiapkan kedok hitam untuk kita semua, toako!”

Goan Ciang kagum. Gadis ini memang cekatan dan cerdik bukan main. Dengan girang diapun pergi bersama Yen Yen dan dua puluh orang anak buah dan mereka semua mengenakan pakaian dan kedok hitam!

Panglima Khabuli menunggang seekor kuda hitam, dikawal oleh dua belas orang prajurit yang semuanya berkuda. Panglima yang congkak dan merasa kuat ini mengira bahwa dengan selosin pengawal pilihan itu saja sudah cukup baginya untuk melakukan perjalanan jauh tanpa takut diganggu orang, walaupun dia tahun bahwa para pemberontak tentu akan mengganggu kalau melihat dia melakukan perjalanan. Sudah terlalu banyak pemberontak yang dia basmi, dia siksa dan di bunuh. Siapa yang akan berani mengganggunya, seorang panglima, komandan kota Wu-han?

Hari itu terik sekali dan biarpun mereka melakukan perjalanan menyusuri sungai Yang-ce, tetap saja panas matahari siang itu amat menyengat. Oleh karena itu, ketika melihat sebuah tenda di tepi sungai di mana orang menjual minuman, Khabuli memberi isyarat kepada anak buahnya untuk berhenti mengaso sambil minum-minum di kedai minuman sederhana yang agaknya sengaja dibuka orang di tempat sunyi itu untuk menjual minuman dan makanan kecil kepada mereka yang kebetulan lewat di situ dan kehausan.

Penjual minuman arak dan air teh itu hanya dua orang laki-laki setengah tua. Mereka terbongkok-bongkok menyambut tamu-tamu itu dan tentu saja kedua orang itu menjadi repot bukan main harus melayani tiga belas orang kasar yang memesan minuman sambil membentak-bentak itu.

Baru saja tiga belas orang itu minum-minum, tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebatan dan tahu-tahu kedai itu telah dikepung oleh dua puluh orang lebih yang membuat Khabuli dan para pengawalnya terkejut setengah mati. Dua puluh lebih pengepung itu semua berpakaian dan berkedok hitam!

Khabuli dan selosin orang pengawalnya tentu saja sudah mendengar akan peristiwa yang terjadi di perbentengan Nan-king itu, ketika seorang berkedok hitam telah membunuh banyak penjaga dan membebaskan dua orang tawanan dan kemudian betapa orang-orang berkedok hitam mengacau di kota Nan-king. Maka kini melihat dua puluh orang lebih yang berpakaian dan berkedok hitam, mereka terkejut dan segera berloncatan sambil mencabut senjata masing- masing.

“Serbu! Bunuh para pemberontak!” teriak Khabuli tanpa banyak tanya lagi, dan dia sendiri sudah mencabut pedangnya.

Segera terjadi pertempuran yang seru dan mati-matian, Khabuli sendiri diserang oleh seorang berkedok hitam yang bertubuh tinggi tegap dan yang bersenjatakan sebatang tongkat. Karena tidak mungkin mengharapkan bantuan selosin orang pengawalnya yang harus menghadapi serbuan dua puluh orang, Khabuli tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang si kedok hitam yang sengaja menghadangnya itu.

“Pemberontak rendah, mampus kau!” bentaknya dengan suara yang mengandung kemarahan. Raksasa berkulit hitam yang tubuhnya kokoh kuat ini sudah mengayun pedangnya dan nampak sinar pedang berkelebat, terdengar bunyi mengaung saking kuatnya pedang itu diayunkan.

“Singgg...!” Ketika si kedok hitam yang bukan lain adalah Cu Goan Ciang mengelak, pedang itu berkelebat dan membuat gerakan memutar dengan cepat sekali, sudah menyerang secara membalik ke arah leher si kedok hitam.

Goan Ciang menggerakkan tongkat menangkis. “Tranggg...!” Bukan main kagetnya hati Khabuli. Pedangnya terpental dan ini membuktikan bahwa lawan memiliki tenaga yang amat kuat. Pada hal, jarang ada orang yang akan kuat menangkis dan menahan serangannya tadi.

“Siapa kau?” bentaknya marah. Sejak tadi, begitu melihat Khabuli, Goan Ciang sudah merasa marah sekali, teringata akan kekasihnya yang terpaksa membunuh diri karena telah dinodai oleh raksasa hitam ini. Akan tetapi, dengan kekuatan batinnya, dia menenangkan kembali hatinya karena maklum bahwa kemarahan akan membuat dia kehilangan kepekaan, padahal dia tahu betapa lihainya lawan ini. Kini mendengar bentakan yang nadanya bertanya itu, dia menggumam, lirih akan tetapi cukup jelas bagi lawannya.

“Arwah Kim Lee Siang menyuruh aku membunuhmu!” Dan kini tanpa menanti jawaban, Goan Ciang sudah menggerakkan tongkatnya menyerang dengan totokan kilat. Totokan kilat bertubi sebanyak tiga kali berturut-turut.

“Wuut-wuut-tranggg...!” Khabuli mengelak dua kali dan totokan terakhir tak dapat dielakkannya lagi maka diapun menangkis dengan pedangnya dan kembali keduanya terdorong ke belakang oleh kekuatan benturan kedua senjata. Kini wajah hitam Khabuli menjadi agak pucat karena jantungnya berdebar keras dan mulailah dia merasa gentar. Tentu saja dia tahu siapa Kim Lee Siang dan mengapa arwah gadis itu menyuruh orang membunuhnya. Teringat dia akan peristiwa di sarang Jang-kiang-pang itu, ketika dia menghadiri pesta pernikahan ketua Jang-kiang-pang dengan seorang pemuda yang namanya dia lupa lagi. Dalam pesta pernikahan ketua yang pernah menjadi kekasihnya, yaitu sumoi dari kekasihnya yang bernama Kim Lee Siang, seorang gadis yang cantik dan yang dalam keadaan terbius sehingga dengan mudah dia mampu menggaulinya dengan paksa. Kemudian dia mendengar bahwa gadis yang telah diperkosanya itu membunuh diri, dan mendengar pula bahwa ketua Jang-kiang-pang dibuntungi oleh suaminya sendiri yang kemudian dia dengar adalah seorang pemberontak yang menjadi buronan pemerintah! Dan kini, si kedok hitam ini mengaku disuruh arwah Kim Lee Siang untuk membunuhnya.

“Kau akan kukirim ke neraka menyusulnya!” bentaknya marah setelah dia menengok dan melihat betapa selosin pengawalnya sudah terdesak hebat oleh para penyerbu yang memakai kedok hitam. Dia menjadi nekat. Melarikan diri tidak mungkin. Minta bantuanpun tidak mungkin karena di tempat sunyi itu, siapa yang akan dapat membantunya? Andai kata rakyat melihatnyapun, mereka tidak akan mau membantu sepasukan tentara pemerintah yang sedang berkelahi. Dua orang pemilik kedai minuman tadipun sudah bersembunyi di balik meja mereka dengan tubuh menggigil, Khabuli menjadi nekat dan melawan mati-matian.

Posting Komentar