Rajawali Lembah Huai Chapter 66

NIC

Yauw-Ciangkun mengangguk-angguk dengan hati puas. Sementara itu, Goan Ciang dan Hui Yen ikut mengamuk, merobohkan banyak prajurit. Akan tetapi diam-diam mereka memberi isarat kepada anak buah meeka untuk mulai menyelinap dan melarikan diri, dan merekapun menggunakan kesempatan untuk meninggalkan baju kembang mereka pada tubuh mayat- mayat anak buah gerombolan. Ada di antara para anggota Hwa I Kaipang yang terluka, dan mereka ini diseret dan diangkut oleh kawan-kawan mereka untuk melarikan diri. Bahkan ada tiga orang yang tewas ditinggalkan begitu saja, berikut baju kembang mereka! Kematian mereka itu tidak sia-sia, selain mereka sudah berhasil membunuh banyak prajurit, juga mereka dapat menolong Shu Ta, menjadi bukti bahwa tempat itu benar-benar menjadi sarang pemberontak baju kembang!

Serbuan pasukan itu berhasil baik. Tidak kurang dari tiga puluh orang gerombolan “pemberontak” dibasmi, terluka parah atau tewas. Di antara yang tewas itu, lebih dari setengahnya mengenakan jubah kembang dan di antara mereka yang tewas terdapat pula kakak beradik Yang-ce Siang-houw. Kedua orang panglima Shu dan Yauw pulang dengan pasukan mereka, membawa kemenangan dan kembali Shu-Ciangkun dipuji-puji oleh pemerintah Mongol sebagai seorang panglima muda yang baru akan tetapi telah membuat jasa besar.

Akan tetapi, semua ini tidak membuat Shu Ta menjadi kehilangaan kewasppadaan. Di menerima pujian itu dengan rendah hati dan juga sama sekali tidak mendatangkan kelengahan sehingga dia tahu bahwa di dalam kemenangan siasatnya itu, masih terdapat bahaya besar yang datangnya dari para pimpinan Hek I Kaipang! Hal ini diketahuinya ketika beberapa hari kemudian, Yauw-Ciangkun menyatakan keheranannya dengan sikap dan suara yang mengandung kecurigaan.

“Sungguh aku tidak dapat mengerti sampai sekarang, Ciangkun. Ke mana perginya si kedok hitam itu? Siapakah dia? Bagaimana dia dapat memasuki benteng dan sekarang dia berada di mana? Menurut laporanmu, setelah diadakan penggeledahan, tidak ditemukan si kedok hitam atau bahkan jejaknya. Apakah dia dapat menghilang? Sungguh hal ini menimbulkan penasaran. Pendeknya kalau dia belum dapat ditemukan, hatiku selalu akan merasa gelisah memikirkan bahwa seorang di antara kita yang berada di dalam benteng adalah seorang mata- mata musuh yang lihai dan berbahaya.”

Diam-diam Shu Ta terkejut bukan main. “Akan tetapi, Yauw-Ciangkun, saya dan para pembantu saya sudah melakukan penyelidikan dan besar kemungkinan si kedok hitam yang dipergunakan kedua orang buronan itu. Agaknya mustahil kalau dia masih dapat bersembunyi di dalam benteng.”

“Hemm, siapa tahu dia adalah seotang di antara para prajurit atau perwira sendiri, atau mungkin... ha-ha, ini menurut pendapat para tokoh yang lihai dari Hek I Kaipang, mungkin juga bisa aku atau engkau sendiri!”

Shu Ta tertawa bergelak, “Aih, kalau benar ada yang berpendapat seperti itu, mungkin dia itu gila, Yauw-Ciangkun!”

“Gila atau tidak, mereka adalah orang-orang pandai yang kita harapkan dapat membantu kita untuk menaruh orang yang mau bekerja sama dengan kita menjadi Beng-cu yang akan dilakukan pemilihan beberapa bulan lagi.”

“Siapakah mereka itu, Yauw-Ciangkun? Setahu saya di Hek I Kaipang hanya ada Coa-pangcu (ketua Coa) dan puterinya yang cerdik dan lihai, yaitu nona Coa Leng Si. Apakah mereka yang mengatakan demikian?”

“Bukan, bukan mereka, melainkan tiga orang lain yang kini sudah berkumpul di sana dan siap membantu kita. Yang pertama adalah guru dari nona Coa Leng Si, dia seorang bekas hwesio yang amat lihai, namanya Bouw In Hwesio dan... eh, kenapa? Kenalkah engkau kepada Bouw In Hwesio?”

Shu Ta sudah dapat menenangkan hatinya kembali. Untung bahwa selama menjadi murid Lauw In Hwesio ketua kuil Siauw-lim-si di lembah Huai, dia belum pernah bertemu dengan supeknya yang bernama Bouw In Hwesio itu, hanya mendengar namanya saja dan keterangan dari suhunya, bahwa supeknya itu lebih lihai dari pada suhunya. Dan sekarang, supeknya itu telah menjadi guru dari Coa Leng Si, gadis lihai puteri ketua Hek I Kaipang!

“Nama Bouw In Hwesio dari Siauw-lim-pai telah banyak dikenal di dunia persilatan, Yauw- Ciangkun.

Siapa yang tidak pernah mendengarnya? Pantas saja nona Coa Leng Si disohorkan lihai sekali, tidak tahunya ia adalah murid hwesio yang sakti itu.”

“Sekarang bukan lagi menjadi hwesio, melainkan seorang biasa bernama Bouw In dan dia telah berkeluarga, menikah dengan seorang janda cantik adapun dua orang yang lain adalah suhu dan subo dari Hek I Kai-pangcu sendiri, dan engkau tahu siapa mereka? Mereka adalah Huang-ho Siang Lomo, sepasang kakek nenek suami isteri yang sudah lama mengundurkan diri dari dunia kang-ouw akan tetapi sekarang siap membantu murid mereka.”

“Ciangkun tadi mengatakan bahwa mereka itu yang bependapat bahwa si kedok hitam adalah seorang di antara penghuni benteng kita?” Shu Ta mendesak.

Atasannya mengangguk, “Mereka adalah orang-orang berpengalaman, Shu-Ciangkun, dan pendapat mereka itu berdasarkan pengalaman. Kurasa ada baiknya kita memperhatikan pandapat itu, siapa tahu benar-benar seorang di antara anak buah kita adalah seorang mata- mata musuh. Sungguh berbahaya sekali kalau benar begitu.”

“Jangan khawatir, Yauw-Ciangkun. Saya berjanji akan membongkar rahasia si kedok hitam itu. Saya akan mengerahkan seluruh pembantu untuk mencari dan menangkapnya hidup ataupun mati!” kata Shu Ta dengan sikap yang penuh semangat.

Gembira hati Panglima Yauw mendengar ini. “Bagus, Shu-Ciangkun. Baik dia orang dalam benteng, atau orang luar, dia harus ditangkap karena dia telah merugikan kita.”

“Saya berjanji, Ciangkun!” Dengan mengenakan pakaian biasa, Shu Ta berjalan-jalan di dalam kota. Kepada para pembantunya, dia mengatakan bahwa dia sendiri akan turun tangan ikut melakukan penyelidikan ke dalam kota agar dapat menangkap si kedok hitam. Dia tiba di dekap pasar di mana terdapat banyak pengemis yang minta sedekah. Di antara para pengemis itu, dia melihat ada beberapa orang anak buahnya yang menyamar, akan tetapi sebagian besar adalah pengemis asli. Ketika dia membagi-bagikan uang receh kepada mereka, dia melihat seorang pengemis yang kaki kirinya buntung. Dia segera mengenal pengemia ini, karena sudah lama pengemis ini menjadi penghubungnya kalau dia hendak menyampaikan pesan kepada para pemberontak. Pengemis ini adalah seorang anggota pejuang yang biarpun kakinya sudah buntung sebelah, namun masih bergelora semangatnya. Justeru karena kakinya buntung ketika dia ikut bertempur melawan pasukan pemerintah, maka dendamnya terhadap pemerintah Mongol makin menjadi. Dan karena dia buntung, diapun tidak dicurigai dan dia dapat menyamar sebagai pengemis tanpa ada yang mencurigainya. Melihat si kaki buntung yang dikenalnya dengan nama A Sam ini, Shu Ta yang masih membagi-bagi uang receh, juga memberikan sedekah kepada pengemis buntung yang bertopang pada tongkatnya itu.

“Berikan kepada ketua Hwa I Kaipang,” bisik Shu Ta sambil memberi sedekah. A Sam menerima dan membungkuk menghaturkan terima kasih, lalu pergi bersama para pengemis lain. Tidak ada orang lain mendengar bisikan Shu Ta tadi, juga tidak ada yang melihat bahwa yang diberikan oleh panglima itu kepada A Sam, bukan uang receh seperti yang diberikannya kepada pengemis lain, melainkan sehelai kertas yang dilipat-lipat sekecil uang receh.

Setelah terpincang-pincang pergi dari pasar dan keluar dari pintu gerbang kota tanpa ada yang mencurigainya, dan tiba di tempat sunyi, A Sam mempercepat langkahnya dan biarpun kakinya tinggal yang kanan saja, namun dibantu tongkatnya, dia dapat berjalan cepat sekali.

Malam harinya, A Sam sudah berhadapan dengan Goan Ciang dan Hui Yen di tempat persembunyian para anggota Hwa I Kaipang dan A Sam menyerahkan surat itu kepada Goan Ciang yang telah dikenalnya dengan baik. Tentu saja Goan Ciang gembira seklai ketika A Sam mengatakan bahwa surat itu diterimanya langsung dari tangan Panglima Shu Ta pribadi. Para pejuang di sekitar daerah Nan-king sudah tahu akan rahasia Panglima Shu Ta yang diam- diam selalu membantu para pejuang sehingga tidak sampai tertangkap.

Begitu membaca surat itu, Goan Ciang dan Hui Yen segera berunding. Surat itu singkat saja bunyinya, tanpa menyebut nama, dan tulisannya juga dibuat-buat sehingga sehingga buruk seperti coretan kanak-kanak yang sedang belajar menulis.

“Saya harus menangkap Si Kedok Hitam, hidup atau mati, dapatkah membantu?”

Surat itu singkat saja dan andai kata ditemukan Yauw-Ciangkun sekalipun, tidak mungkin panglima itu akan mempercayai bahwa itu tulisan pembantu utamanya. Tanpa nama, dan juga tulisannya begitu buruk, tulisan seperti itu tentu saja tidak cukup kuat untuk menjadi bukti bahwa Shu-Ciangkun yang menulisnya. Biarpun surat itu singkat saja, namun Goan Ciang maklum bahwa tentu sutenya terancam bahaya maka sampai mengirim surat seperti itu kepadanya.

“Bagaimana menurut pendapatmu, Yen-moi?” tanya Goan Ciang kepada Hui Yen setelah mereka berdua membaca surat itu lalu berunding di ruangan dalam.

Hui Yen mengerutkan alisnya, menggigit-gigit bibir bawah, suatu kebiasaan dirinya kalau ia sedang berpikir keras. Gadis ini memang terkenal cerdik sekali. Itulah sebabnya maka kakeknya, Pek Mau Lokai Tang Ku It, mempercayainya dan menyerahkan tongkat pimpinan Hwa I Kaipang kepada cucu itu.

“Jelas bahwa Shu-Ciangkun amat membutuhkan bantuan kita, dan itu tandanya bahwa di sana dia menghadapi masalah yang amat gawat. Dia diharuskan menangkap si kedok hitam, kalimat ini dapat diartikan bahwa kalau dia tidak dapat menangkap si kedok hitam, hidup atau mati, maka tentu dia akan menghadapi kesulitan. Kesulitan apa kiranya? Ini yang harus kita selidiki.”

Goan Ciang mengangguk-angguk. “Peristiwa malam itu, ketika kita berdua berhasil meloloskan diri karena bantuan si kedok hitam, tentu menimbulkan kecurigaan dan mungkin saja Shu-Ciangkun dicurigai! Ini berbahaya sekali dan satu-satunya jalan untuk dapat menyelamatkannya dari kecurigaan itu hanyalah apa bila si kedok hitam dapat ditangkap, hidup ataupun mati.”

“Atau setidaknya, dia akan bebas dari kecurigaan kalau si kedok hitam muncul di kota Nan- king, di luar benteng. Akan tetapi, si kedok hitam adalah Shu-Ciangkun sendiri, bagaimana mungkin...”

Posting Komentar