Rajawali Lembah Huai Chapter 56

NIC

“Keparat, engkaulah yang akan mampus di tanganku!” Coa Kun membentak dan diapun sudah menerjang maju dengan marah. Orang she Coa ini adalah ketua Hek I Kaipang, bukan saja kepandaiannya tinggi, akan tetapi dia juga telah bersekutu dengan pasukan pemerintah, tentu saja dia menyadari akan kekuasaannya. Kini muncul seorang pemuda dusun berani mati mengancam hendak membunuhnya, maka tentu saja dia marah bukan main dan begitu menyerang, dia telah mengerahkan tenaganya dan dengan bertubi, tangan kananya mencengkeram ke arah kepala sedangkan tangan kirinya menyusul dengan tangan miring menghantam ke arah dada lawan.

Melihat gerakan lawan, tahulah Hung Wu bahwa nama besar ketua Hek I Kaipang ini bukan nama kosong belaka. Orang ini memiliki tenaga yang kuat, hal ini dapat dia ketahui dari sambaran angin pukulan yang menyerangnya. Diapun cepat mengelak dari cengkeraman tangan kanan ke belakang, lalu menyambut pukulan tangan lawan dengan tangkisan sambil mengerahkan tenaganya.

“Dukkk!!” Keduanya tergetar, akan tetapi kalau Hung Wu hanya tergetar lengannya yang menangkis, dengan kedudukan kaki masih tegak, adalah pangcu (ketua) itu yang selain tergetar hebat, juga kakinya melangkah ke belakang dua langkah. Ini saja sudah membuktikan bahwa dia kalah tenaga melawan Hung Wu. Bukan main kagetnya Coa Kun. Tak disangkanya pemuda dusun yang nampak bodoh ini bukan saja mampu mengelak dan menangkis serangannya, bahkan dapat membuat dia melangkah ke belakang. Dia kalah kuat dalam hal tenaga! Kemarahan dan rasa penasaran membuat Coa Kun meraih gagang goloknya dan segera nampak sinar berkilat ketika golok besar yang tergantung di pinggang itu telah dicabutnya. Golok itu besarm lebar dan berkilauan, tentu tajam bukan main.

Melihat ini, Hung Wu tidak berani memandang ringan. Ketua Hek I Kaipang ini berjuluk Twa-sin-to (Golok Besar Sakti), tentu dia ahli bermain silat golok. Oleh karena itu, Hung Wu juga mencabut pedang yang tadinya disembunyikan di balik bajunya.

Coa Kun sudah menerjang lagi, kini sambil menggerakkan goloknya dan nampak gulungan besar sinar yang menyambar-nyambar. Namun, Hung Wu juga sudah menggerakkan pedangnya dan karena dia maklum betapa lihainya lawan, dan dia sudah mengambil keputusan untuk membunuh ketua Hek I Kaipang ini, diapun segera menggerakkan pedangnya, menangkis dan balas menyerang dengan dasar ilmu silat Rajawali Sakti. Terjadi perkelahian yang seru, akan tetapi setelah lewat dua puluh jurus, perlahan-lahan ketua Hek I Kaipang mulai terdesak oleh gulungan sinar pedang di tangan Hung Wu. Ilmu silat Rajawali Sakti memang hebat, dan Coa Kun beberapa kali mengeluarkan seruan kaget. Kakek dan nenek yang tua renta itu tetap menonton, berdiri seperti patung bertopang pada tongkat mereka. Kusir kereta sudah dapat bangkit kembali dan kini menenangkan dua ekor kuda penarik kereta, sambil memandang dengan gelisak ke arah perkelahian, karena dia melihat betapa ketuanya mulai terdesak.

Selagi Hung Wu mendesak lawannya dan merasa gembira karena besar harapannya dia akan berhasil, terdengar derap kaki kuda. Wajah Hung Wu berseri karena tanpa melihatpun dia hampir yakin bahwa tentu itu rombongan bala bantuan yang didapatkan Siauw Yen dan kini mereka datang untuk membantunya. Dengan demikian hampir dapat dipastikan bahwa ketua Hek I Kaipang tentu akan dapat ditewaskan! Apa lagi ketika dia sempat melirik ke arah suara derap kaki kuda dia melihat bahwa penunggang kuda terdepan adalah seorang gadis! Siapa lagi kalau bukan Yen Yen!

Kini, rombongan orang yang jumlahnya belasan itu sudah tiba di situ dan terdengar bentakan suara wanita, “Ayah, biar aku yang melawannya!”

Nampak bayangan berkelebat dan sebatang pedang menyambar ganas ke arahnya. Dia terkejut dan menangkis. “Tranggg...!!” Nampak bunga api berpijar ketika dua batang pedang bertemu dan Hung Wu terkejut bukan main, cepat melompat ke belakang. Ketika dia memandang penuh perhatian, wajahnya berubah. Kiranya gadis itu bukan Yen Yen, melainkan seorang gadis yang lebih muda dari Yen Yen, cantik pula, dengan pedang di tangan. Dan belasan orang yang bersama gadis itu, lebih mengejutkan hatinya lagi. Terdapat seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, tinggi besar berkepala botak dengan jubah merah, dan yang lain adalah pasukan pemerintah, dapat dikenal dari pakaian seragam mereka! Celaka, dia belum berhasil membunuh ketua Hek I Kaipang, sekarang telah dikepung pasukan pemerintah, dan agaknya gadis berpakaian serba hijau yang tadi menyerangnya dengan pedang adalah puteri ketua Hek I Kaipang yang pernah dia dengar dari keterangan Yen Yen. Gadis yang membuat Yen Yen kewalahan dan katanya lebih lihai dibandingkan ketua Hek I Kaipang sendiri. Belum lagi kakek botak itu yang kini sudah turun dari kuda, dan berdiri memandang kepadanya dengan sinar mata mencorong, yang dia duga tentulah seorang yang lihai pula.

“Siapakah engkau dan mengapa engkau menyerang ayahku?” Gadis itu yang kini berdiri di depan Hung Wu, bertanya dengan suara nyaring.

“Tidak perlu tahu aku siapa, aku adalah orang yang akan membunuh semua orang yang menjadi pengkhianat bangsa dan menjadi antek penjajah Mongol!”

Mendengar ini, perwira yang agaknya memimpin pasukan itu mencabut goloknya dan berseru, “Kiranya seorang pemberontak! Tangkap! Bunuh dia!” Teriakan ini merupakan aba- aba dan disambut oleh anak buahnya dengan cabutan golok. Belasan orang prajurit itu segera mengepung dan mengeroyok, membantu gadis baju hijau yang juga sudah menerjang dengan pedangnya.

Begitu mereka saling serang, keduanya terkejut bukan main. Segera Hung Wu mengenal ilmu silat Sin-tiauw ciang-hoat (Ilmu Silat Rajawali Sakti) persis seperti ilmu silat yang dikuasainya! Ini tidak mungkin! Demikian dia berpikir dengan kaget. Ilmu silat ini adalah ciptaan gurunya, Lauw In Hwesio, dan merupakan ilmu simpanan yang hanya diajarkan kepadanya saja, tidak pernah diajarkan kepada murid lain. Akan tetapi gadis ini kini memainkannya, dan permainannya begitu baik, bahkan tidak kalah olehnya!

Gadis baju hijau itupun terkejut bukan main, akan tetapi dengan penasaran ia menyerang terus sehingga terjadilah perkelahian yang seru dan aneh karena mereka memiliki gerakan yang sama! Akan tetapi karena ternyata tingkat kepandaian antara mereka seimbang, dan masih ada belasan orang prajurit Mongol mengeroyoknya, sebentar saja Hung Wu terdesak dan terkepung ketat.

Tiba-tiba terdengar suara parau dari kakek botak yang sejak tadi memandang penuh perhatian, “Leng Si, mundurlah, dan suruh semua prajurit mundur. Aku sendiri yang akan menghadapi pemuda ini!”

Mendengar ucapan parau itu, gadis berbaju hijau melompat mundur dan memberi aba-aba kepada pasukan kecil itu untuk mundur pula. Kemudian, kakek botak tinggi besar itu sekali menggerakkan kakinya, sudah berdiri di depan Hung Wu yang masih melintangkan pedang di depan dadanya. Sejenak mereka saling pandang, kemudian pria botak itu berkata dengan suaranya yang parau.

“Orang muda, dari mana engkau mempelajari Sin-tiauw ciang-hoat? Apa hubunganmu dengan Lauw In Hwesio?”

Mendengar pernyataan ini, seketika Hung Wu tersadar. Gadis itu memiliki pula ilmu Sin- tiauw ciang-hoat, pada hal ilmu itu hanya dikuasai oleh dua orang yang merangkai ilmu itu, yaitu Lauw In Hwesio dan Bouw In Hwesio. Karena itu, mudah diduga dengan siapa dia berhadapan.

“Lauw In Hwesio adalah guruku,” kata Hung Wu, “dan agaknya lo-cian-pwe tentu supek (uwa guru) Bouw In Hwesio.” Kalimat terakhir ini diucapkan dengan nada agak meragu karena kakek di depannya itu tidak gundul sepenuhnya, melainkan botak dan memelihara rambut di bagian belakang dan kanan kirinya. Juga pakaiannya tidak seperti pakaian hwesio walaupun dia mengenakan jubah hwesio yang berwarna merah.

Kakek itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, kiranya murid sute Lauw In Hwesio!” katanya. “Sungguh heranm kenapa sute mengajarkan ilmu itu kepada seorang pemberontak?” Hung Wu mengerutkan alisnya, “Suhu tentu akan merasa heran pula kalau mengetahui bahwa supek mengajarkan ilmu itu kepada seorang antek Mongol!” katanya dengan berani sambil memandang kepada gadis baju hijau tadi.

“Hemm, bocah sombong, berani engkau berkata demikian kepadaku? Aku tahu bahwa para pemberontak adalah orang-orang jahat yang mempergunakan kedok perjuangan untuk menutupi kejahatan mereka. Mereka hanya perampok dan mencuri. Nah, ingin kulihat sampai di mana kehebatanmu dengan ilmu kami itu.” Setelah berkata demikian, Bouw In Hwesio yang kini tidak lagi menjadi hwesio itu sudah menggerakkan kedua lengannya dan dia maju menyerang. Begitu kedua tangan digerakkan, maka kedua lengan bajunya yang panjang, bagian dari jubah merahnya, menyambar dengan dahsyat ke arah Hung Wu.

Pemuda ini sudah siap. Biarpun supek sendiri, kalau dia menjadi antek Mongol berarti menjadi musuhnya! Maka, dia memutar pedangnya dan melawan mati-matian. Kini terjadi perkelahian yang ditonton banyak orang, perkelahian yang menarik, di mana pedang berkelebatan disambut sepasang lengan jubah merah. Namun, karena memang kalah matang dalam ilmu Sin-tiauw ciang-hoat dna kalah tenaga sakti, sebentar saja Hung Wu terdesak dan hanya mampu memutar pedang melindungi tubuh tanpa mampu membalas lagi.

Pada saat itu terdengar bentakan, “Toako, jangan khawatir aku datang membantumu!” dan muncullah Siauw Yen.

Posting Komentar