"Engkong ini sungguh kuat sekali minum arak!" Berkata Giok Ciu yang ikut-ikutan menyebut engkong atau kakek kepada Kang-lam Ciuhiap, meniru Sin Wan.
Mendengar dirinya disebut kakek, Bun Gwat Kong girang sekali.
"Bagus Giok Ciu, memang kau selayaknya menyebut engkong padaku." Lalu ia tertawa bergelak-gelak hingga semua orang ikut tertawa, sedangkan Sin Wan diam-diam agak heran karena tidak pernah ia melihat kakeknya segembira itu.
"Giok ciu, kau tidak tahu, kakek ini adalah Kang-lam Ciuhiap si Pendekar Arak dari Kang-lam.
Ia tidak hanya kuat minum, tapi arak di dalam mulutnya dapat dipakai membunuh seekor kerbau besar!" "Hebat sekali!" kata Giok ciu ambil leletkan lidahnya, "kong-kong, perlihatkan ilmu kepandaianmu menyembur dengan arak itu!" Melihat kegembiraan Giok Ciu, maka empek itu menengok kesana-sini mencari sasaran, kemudian sambil tersenyum dan elus-elus jenggotnya ia berkata kepada Kwie Cu Ek, "Kwie enghiong, bolehkah aku bereskan tiang di atas itu?" Tuan rumah mengangguk dengan tersenyum juga.
Kang-lam Ciuhiap lalu tuang sedikit arak yang masih tertinggal di dalam mangkok, dan setelah mengejapkan sebelah matanya kepada Giok Ciu dengan cara yang lucu hingga anak perempuan itu tertawa geli, si empek lalu semburkan arak dari mulutnya, Giok Ciu melihat sinar keputih-putihan tersembur keluar dari mulut orang tua itu bagaikan seekor ular meluncur ke atas dan menyambar tian melintang yang agak kelebihan menumpang di tiang besar dan agaknya dulu lupa dipotong oleh Kwie Cu Ek ketika ia membangun pondok itu.
Sinar putih itu melanggar ujung kayu sebesar lengan itu dan "Krak!" ujung itu patah dan jatuh ke bawah! Kwie Cu Ek memuji, "Bagus sekali, lo-ciuhiap! Kau benar-benar patut di sebut ciuhiap, bahkan bagiku kau pantas disebut ciusian karena kau benar-benar dewa arak!" Juga Sin Wan dan Giok Ciu bertepuk tangan memuji.
"Kong-kong!" kata Giok Ciu lagi, sedangkan matanya yang bagus memandang kakek itu seperti seorang anak yang meminta sesuatu.
"Apa lagi?" kakek itu bertanya.
"Itu....
suling yang kau selipkan di pinggang itu! Tadi kudengar kau tiup sulingmu ketika kau bertempur melawan ayah, tapi lagunya buruk sekali hingga telingaku tak sedap mendengarnya! Apakah kau bisa mainkan lagu yang enak didengar? Aku suka sekali mendengar suling!" Giok Ciu menunjuk ke arah pinggang kakek itu dimana tampak ujung suling tersembul keluar.
"Giok Ciu, jangan kau main-main dengan tiupan kakekmu! Kalau aku tadi tidak kerahkan seluruh tenaga dan barengi keluarkan siulan untuk menahan pengaruh tiupan suling, aku sudah dirobohkan oleh daya tiupan suling itu! Jangan kau pandang rendah tiupan tadi karena itu adalah sesuatu ilmu yang mujijat dan dapat mematahkan lawan dan melemahkan semangat serta membuat lawan bingung hingga gerakgeriknya menjadi kacau!" Giok Ciu leletkan lidah, satu kebiasaan darinya untuk menyatakan kekaguman atau keheranan.
"Kalau begitu, jangan kau mainkan lagi lagu yang buruk tadi, kong-kong! Coba mainkan saja lagu merdu yang dapat menghibur kita!" Kang-lam Ciuhipa sedang gembira, maka mendengar permintaan Giok Ciu ini, ia cabut sulingnya dan pandang Kwie Cu Ek dengan tak berdaya.
Ia angkat pundaknya dan berkata,"Anakmu memang benar, Kwie enghiong, aku hanya dapat tiup lagu-lagu buruk yang tak sedap didengar.
Sebenarnya tadi aku hanya tiup suling untuk menghibur-hibur hatiku yang bingung tak karuan karena serangan-seranganmu yang hebat!" Lalu sambil ulur tangan dan elus-elus rambut di kepala Giok Ciu, kakek itu berkata, "Kau ingin mendengar lagu merdu? Nah, kau mintalah Sin Wan untuk meniup suling ini.
Selain dia tidak ada yang bisa meniup lagu merdu!" Sin Wan mendengar pujian ini, mukanya berubah merah karena jengah di puji kakeknya di depan Giok Ciu dan ayahnya.
Sebaliknya, Giok Ciu menjadi girang sekali.
Ia ambil suling itu dari tangan Bun Gwat Kong dan geser duduknya mendekati Sin sambil angsurkan suling kecil itu.
"Sin Wan, kau mainlah barang satu dua lagu untuk kami!" Berkata demikian, gadis itu pandang wajah Sin Wan dengan senyum menarik.
Sin Wan tak dapat menolak lagi, karena Kwie Cu Ek juga berkata bahwa iapun ingin sekali mendengar tiupan suling anak itu.
Dengan tenang ia ambil suling itu lalu atur jari-jari tangannya diatas lubang-lubang kecil di batang suling, tempelkan peniup di bibirnya dan dengan mata setengah terkatup meniup suling itu.
Mula-mula terdengar bunyi lengking yang rendah dan bening serta disertai getaran halus merdu, kemudian lengking rendah itu makin meninggi dengan perlahan dan mulailah terdengar nyanyian suara suling yang merdu, indah dan menggetarkan kalbu.
Giok Ciu dan Kwie Cu Ek tadinya hanya kagum karena pandainya Sin Wan meniup suara yang meninggi rendah, tapi tak lama kemudian kedua ayah dan anak itu duduk bengong dengan bibir se tengah terbuka dan mata tak pernah berkejab menatap wajah Sin Wan.
Mereka merasa sekan-akan dibawa melayang naik oleh gelombang ombak yang mengalun tinggi diangkasa dan dibawa ke alam mimpi yang halus dan menakjubkan.
Mula-mula suara suling terdengar gagah dan riang membuat Giok Ciu merasa dadanya berdebar dan wajahnya panas, tapi ketika suara itu makin lama makin lambat dan rendah, ia merasa terharu sekali, ketika ia berpaling kepada ayahnya dengan perlahan, ia melihat betapa dari kedua mata ayahnya itu mengalir air mata! Nyata sekali bahwa suara suling itu telah mempesona dan menimbulkan keharuan hebat di sanubari Kwie Cu Ek hingga pendekar gagah ini teringat akan isterinya dan membuatnya tak dapat menahan kesedihannya.
Melihat keadaan ayahnya sedemikian itu, Giok Ciu berteriak kepada Sin Wan,"Sin Wan, cukup! Simpan sulingmu!" dan anak perempuan itu menubruk ayahnya dan menangis di atas pangkuan orang tua itu! Sin Wan tunda sulingnya dan buka kedua matanya yang tadi hampir tertutup samasekali, lalu memandang heran.
Kwie Cu Ek duduk bengong dengan wajah pucat dan pendekar ini menghela napas berulang-ulang.
"Bukan main! Suara sulingmu sungguh luar biasa, Sin Wan! Lebih hebat dan kuat daripada tiupan kakekmu, bukankah demikian.
Lo ciuhiap?" Kang-lam Ciuhiap yang tadipun duduk sambil tunduk karena terpengaruh tiupan suling cucunya, mengangguk-angguk membenarkan.
"Memang hebat lagu itu, entah bagaimana Sin Wan dapat menciptakan lagu sehebat itu." Mendengar ini tiba-tiba Giok Ciu menunda tangisnya dan dengan senyum girang ia berkata kepada Sin Wan, "Jadi kau sendirikah yang mencipta lagu tadi?" Kang-lam Ciuhiap dan Sin Wan kini merasa heran sekali melihat sifat Giok Ciu.
Baru saja manis menangis sesunggukan, tiba-tiba bisa tersenyum manis.
Alangkah ganjilnya! Sin Wan hanya mengangguk sebagai jawab atas pertanyaan Giok Ciu padanya itu.
"Ah, pandai sekali kau! Bagaimana kau bisa mencipta lagu sehebat ini?" "Sederhana saja," kata Sin Wan merendah.
"Pada suatu hari ketika aku sedang menggembala kerbauku dan duduk di punggung kerbau yang sedang makan rumput di pinggir anak sungai di pagi hari, aku mendengar suara air sungai berpercikan memukul batu mengeluarkan suara seperti sedang berdendang.
Dan di atas pohon terdengar burung-burung berkicau girang, diseling bunyi kerbau-kerbauku menguak senang.
Tiba-tiba, entah mengapa, seekor monyet kecil yang tadinya bergetungan di dada induknya, terlepas jatuh ke tengah sungai riak menangis, mencicit-cicit menimbulkan suara mengharukan.
Nah, ketika itu aku telah keluarkan sulingku dan entah bagaimana, tiba-tiba dapat melagukan nyanyian itu yang kusesuaikan dengan pendengaranku akan keadaan di sekeliling pada saat itu.
Dan semenjak itu, aku suka sekali meniup lagu ini." "Memang indah!" Giok Ciu memuji kagum."Aku harus bersihkan mangkuk-mangkuk ini dan mencucinya di belakang," kaanya kemudian.
"Mari kubantu," kata Sin Wan yang lalu ikut mengangkat mangkukmangkuk yang telah kosong untuk dicuci di belakang rumah.
Sementara itu, dengan bangga dan suara berbisik, Kang-lam Ciuhiap berkata kepada tuan rumah.
"Bukankah mereka itu rukun sekali? Mereka sudah berjodoh!" Kwie Cu Ek mengangguk-angguk senang, lalu ia minta diri dari tamunya untuk masuk ke kamar sebentar.
Ketika keluar lagi, ia membawa sepasang sepatu kecil dan serahkan benda itu kepada Kang-lam Ciuhipa, "Kami orang-orang miskin tidak punya apa-apa untuk tanda pengikat perjodohan anakku.
Nah ini sepasang sepatu sulam adalah sepatu Giok Ciu ketika ia berusia setahun.
Sepatu ini tadinya kami simpan sebagai barang keramat karena ini adalah buah tangan ibunya!" Kang-lam Ciuhiap terima sepasang sepatu kecil itu dan masukkan benda itu kedalam saku bajunya yang lebar.
Kemudian ia ambil suling yang tadi ditiup Sin Wan dan berikan barang itu kepada Kwie Cu Ek sambil berkata,"Dan suling ini kubuat ketika Sin Wan masih kecil dan baru bisa merangkak.
Maksudku hanya untuk barang mainan, tapi ternyata sampai besar Sin Wan suka sekali bermain-main dengan suling ini.
Nah, biarlah barang ini menjadi tanda mata dan tanda pengikat perjodohannya dengan putrimu!" Kwie Cu Ek terima suling itu dengan girang dan cepat menyimpannya ke dalam kamar, lalu keluar lagi dan bercakap-cakap.
Sementara itu, Sin Wan dan Giok Ciu muncul dari belakang karena pekerjaan mereka telah selesai.
Bun Gwat Kong lalu berpamit kepada tuan rumah dan ajak Sin Wan pulang, karena ibu Sin Wan tentu mengharap-harap kembalinya yang telah dua hari pergi itu.
Setelah saling memberi hormat, kakek dan cucu itu gunakan ilmu lari cepat tinggalkan tempat itu dan beberapa kali Sin Wan menengok dan melambaikan tangan ke arah Giok Ciu sampai bayangan Sin Wan lenyap di satu tikungan jalan.
Alangkah terkejutnya hati Sin Wan dan Gwat Kong ketika mereka tiba di rumah, karena ibu Sin Wan ternyata jatuh sakit dan muntahkan darah! Sin Wan tubruk ibunya sambil menangis sedih Nyonya muda yang banyak menderita ternyata tak dapat menindas tekanan dan kekhawatiran hatinya ketika dua hari Sin Wan tidak pulang.
Ia cemas sekali hingga tidak dapat tidur, setiap saat memikirkan anaknya itu, hingga akhirnya ia jatuh pingsan.
Ketika melihat Sin Wan kembali dengan selamat, nyonya muda itu sembuh seketika! Tapi kesehatannya makin buruk.