Kata Ji Koan dengan nada gembira dan bangga bahwa dia satu-satunya orang yang berani mengantar pemuda perkasa itu ke Pulau Hantu. Semua ini dia lakukan karena rasa terima kasihnya. Berkat sepak terjang pemuda itu, kehidupan para nelayan di situ akan menjadi jauh lebih baik.Para nelayan yang lain membantu ketika Ji Koan membuat persiapan dan ketika perahu berangkat berlayar, semua orang memandang dan mengikuti perahu itu dengan sinar. mata penuh ketegangan, juga kekhawatiran. Akan tetapi Ji Koan adalah seorang nelayan yang tidak berkeluarga, hidup sebatang kara saja di dunia ini sehingga tidak ada anggota keluarga yang mengkhawatirkannya.
Semua penduduk perkampungan nelayan itu dicekam ketakutan kalau orang bicara tentang Pulau Hantu, demikian mereka menamakan pulau kosong itu. Rasa takut adalah suatu perasaan yang timbul apabila orang menghadapi sesuatu yang belum terjadi. Kalau orang membayangkan hal-hal yang hebat, malapetaka yang akan menimpanya di masa depan, maka orang itu akan dicekam perasaan takut. Takut dan khawatir hanya merupakan permainan dari pikiran kita sendiri yang membayangkan hal"hal yang belum tiba, memikirkan masa depan dan mengkhayalkan kejadian-kejadian mengerikan yang mungkin menimpa diri kita. Kalau kejadian itu sudah datang menimpa kita, maka rasa takut itu pun tidak akan ada lagi, yang ada rasa takut membayangkan hal lain yang mungkin datang menimpa kita, yang lebih hebat lagi.
Kalau ada wabah mengamuk, kita yang belum terkena penyakit tentu menjadi ketakutan kalau membayangkan bahwa kita akan terkena penyakit itu. Akan tetapi kalau penyakit benar-benar sudah menimpa kita, kita tidak lagi takut menghadapi penyakit yang sudah diderita, yang kita takuti mungkin kematian yang belum tiba. Pendeknya, segala hal yang belum datang dan mungkin menimpa diri kita di masa depan, memikirkan atau membayangkan hal itulah yang menimbulkan perasaan takut dan ngeri. Seperti orang takut akan hantu, setan, iblis dan sebagainya. Karena kita belum pernah melihatnya, belum pernah bertemu, kita lalu membayangkan hal-hal yang mengerikan kalau. bertemu benar-benar. Andaikata kita sudah bertemu dengan Iblis seperti kita melihat mahluk-mahluk lainnya, pasti tidak ada lagi rasa takut itu. Kalau kita tidak membayangkan hal-hal yang belum datang, tidak membayangkan masa depan,
Maka kita hanya akan menghadapi saat, ini, peristiwa yang kita hadapi sekarang ini dan kita bebas daripada rasa takut akan masa depan. Orang yang begini adalah seorang yang waspada dan pasti akan mampu menghadapi segala hal yang dialaminya, dan orang yang bebas dari rasa takut adalah seorang yang berbahagia. Lebih baik kita menyerahkan segala hal yang belum datang itu kepada Tuhan, karena Tuhan yang mengatur segala apa yang ter jadi di dunia ini! Dengan penyerahan dan kepasrahan yang total kita melangkah dalam kehidupan ini dan tidak takut akan tertimpa apa pun juga. Apa pun yang terjadi, kalau kita menerimanya sebagai kehendak Tuhan kita akan terbebas dari segala penyesalan dan duka. Bukan berarti kita lalu mandeg dan menjadi malas, menyerahkan segalanya kepada Tuhan tanpa berusaha. Tidak!
Kita berikhtiar sekuat kemampuan kita untuk mendapatkan yang terbaik, akan tetapi dengan landasan penyerahan seutuhnya sehingga apa pun yang kita hasilkan, itulah anugerah dari Tuhan. Bahkan ke"gagalan dalam usaha kita pun merupakan anugerah terselubung dan kesalahannya harus kita cari dalam sepak terjang kita sendiri!Pagi itu udara amat cerah, matahari pagi hangat dan cerah, langit bersih hanya terdapat sedikit awan putih yang berarak dengan indahnya. Air laut juga tenang dan angin berhembus lembut, membuat perahu yang ditumpangi Keng Han meluncur dengan sempurna. Keng Han merasa gembira sekali. Dia teringat akan cerita ibunya ketika bertamasya dengan ayahnya, juga naik perahu berlayar di sepanjang lautan ini. Ah, seperti apa macam pria yang menjadi ayahnya? Menurut ibunya, ayahnya seorang pangeran yang berwajah tampan dan gagah.
Kata ibunya, tubuhnya sedang, dahinya lebar, alisnya tebal dan matanya seperti mata burung Hong, hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersungging senyuman, pakaiannya indah! Ah, betapa akan bangga hatinya kalau dia bertemu dengan ayahnya. Dan ayah serta ibunya menyaksikan ketika pulau yang kini disebut Pulau Hantu oleh para nelayan itu "lahir"! Mendengar kelahiran sebuah pulau dari ibunya sudah timbul keinginan tahunya untuk berkunjung ke pulau aneh itu, apalagi sekarang pulau itu bahkan disebut Pulau Hantu oleh para nelayan. Cerita ini tidak membuatnya takut, bah"kan menambah keinginan tahunya. Benar"benarkah ada hantu di pulau itu? Atau bahkan, benar-benarkah ada hantu di dunia ini? Hantu seperti dalam dongeng, yang bentuknya aneh-aneh dan mengerikan? Setelah berlayar selama setengah hari dan matahari sudah naik tinggi, tiba-tiba Ji Koan berseru.
"Itulah dia.... Pulau Hantu....!"
Ketika menyebut pulau itu, suaranya berubah menjadi bisikan.
Keng Han yang sedang melamun menjadi kaget dan cepat memandang nelayan itu yang menudingkan telunjuknya ke kiri. Dia menengok dan melihat sebuah pulau, tak jauh lagi dari situ. Pulau itu tidak terlalu besar, memanjang dan berwarna hijau kehitaman. Agaknya pulau itu tidak gundul, melainkan ditumbuhi banyak pohon-pohonan. Padahal, ibunya pernah bercerita bahwa kabarnya pulau itu dahulunya disebut Pulau Es yang lenyap di telan air lautan puluhan tahun yang lalu dan lima belas tahun yang lalu lahir atau timbul kembali mun"cul dari dalam lautan. Dia tidak dapat mengira-ngirakan apa yang sesungguhnya telah terjadi di dasar lautan itu, mengapa ada pulau dapat lenyap ditelan air dan kini muncul kembali dalam bentuk lain. Kalau dulu menjadi Pulau Es, kini menjadi Pulau Hantu yang banyak pohon-pohonnya.
"Ah, kelihatan pulau biasa saja, meng"apa disebut Pulau Hantu? Paman Ji Koan, arahkan perahu mendekat."
"Tao-kongcu.... saya.... saya takut....!"
"Aih, apa yang ditakuti? Mari, biar aku yang mengemudikan perahu!"
Katanya dan Keng Han mengambil oper kemudi dari tangan Ji Koan. Tadi dia sudah belajar dari nelayan itu dan karena dia memang seorang pemuda yang cerdik maka sebentar saja dia sudah dapat menguasai kepandaian itu. Kini dia mengemudikan perahu mendekati pulau. Setelah dekat baru nampak bahwa pulau itu di bagian tengahnya gundul dan terdapat bagian menonjol seperti bukit, dan pohon"pohon yang tumbuh itu hanya tumbuh di bagian pinggirnya saja. Karena sudah dekat dengan daratan yang berbatu-batu, Ji Koan menggulung layarnya dan melanjutkan luncuran perahu dengan menggunakan dayung. Dibantu oleh Keng Han, dia mendayung perahunya ke daratan pulau dengan muka pucat ketakutan. Tiba-tiba dia menuding ke air.
"Kongcu, lihat....!"
Dia berseru dengan suara gemetar dan tangannya yang memegang dayung menggigil.
Keng Han melihat ke air dan dia pun bergidik. Terdapat banyak sekali ular berenang di dekat perahu. Ular-ular yang berwarna merah darah, yang kecil sebesar kelingking jari tangan, yang besar seperti ibu jari kaki panjangnya, paling panjang dua kaki. Ular-ular itu berenang dengan cepat dan lincah sekali. Tiba-tiba dua ekor ular sebesar jari telunjuk meloncat dari air menuju ke atas perahu. Ji Koan berteriak, akan tetapi Keng Han menggunakan dayungnya menghantam dan dua ekor ular Itu terjatuh lagi ke air, menggeliat-geliat sekarat. Lalu terjadi hal yang mengerikan. Dua ekor ular itu menjadi mangsa kawan-kawannya sendiri, tubuh mereka hancur lebur dibuat rebutan. Agaknya ular-ular laut yang merah ini ganas seperti ikan-ikan hiu yang akan menyerang kawan sendiri kalau kawan ini terluka dan mencium darah. Ji Koan gemetar seluruh tubuhnya.
"Kongcu.... mari kita kembali saja...."
Dia mengeluh ketakutan. Akan tetapi pengalaman itu bagi Keng Han menambah keinginan tahunya.
"Tidak, Paman. Kita terus ke pulau, mendarat!"
Katanya sambil menggerakkan dayunnya dengan penuh tenaga. Ji Koan tidak dapat membantah lagi dan terpaksa ikut pula mendayung, biarpun pandang matanya ditujukan ke arah air di mana ular-ular itu masih mengikuti perahu dan bahkan berenang di kanan kiri perahu. Hatinya diliputi rasa ngeri yang hebat sehingga mukanya pucat dan matanya terbelalak.
"Lihat itu, Paman!"
Tiba-tiba Keng Han menuding ke depan. Ji Koan memandang dan dia terkejut, juga heran melihat banyak perahu di pantai. Ada tujuh buah perahu kecil dan sebuah perahu besar.
"Saya takut mendarat, Kongcu."
"Kalau begitu, tinggallah saja di perahu ini, di dekat pantai biar aku sendiri yang mendarat. Akan tetapi tunggu, jangan pergi sebelum aku kembali."
"Baik, Kongcu."
Kata Ji Koan yang masih ketakutan. Keng Han lalu membawa buntalan pakaiannya yang diikatkan di punggungnya dan meloncat dari perahu itu ke atas sebuah batu besar, lalu dari batu melompat ke batu lain sampai akhirnya dia dapat mendarat. Tadinya, tepi pantai itu terhalang oleh batu-batu besar sehingga dia tidak dapat melihat apa yang terjadi di balik batu-batu itu. Akan tetapi sekarang dia dapat menyaksikan pemandangan yang amat mengerikan. Juga suara air memecah pada batu-batu karang membuat dia tidak dapat mendengar suara yang keluar dari tempat itu, dan baru sekarang dia dapat mendengarnya.
Di tempat itu terjadi pertempuran. Seorang kakek yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, yang semua rambutnya sudah putih seperti kapas, sedang mengamuk dikeroyok oleh kurang lebih tiga puluh orang yang dia kenali dipimpin oleh si Harimau Hitam yang pernah dihajarnya di dusun para nelayan itu. Sungguh mengherankan bahwa mereka dapat demikian cepat tiba di tempat itu, agaknya mereka mendapatkan perahu-perahu entah dari. mana dan lebih dulu berlayar sampai ke pulau kosong itu, bertemu dengan raksasa rambut putih dan terjadi pertempuran di antara mereka. Akan tetapi Keng Han terbelalak melihat pertempuran itu. Kakek raksasa rambut putih itu sungguh ganas bukan main. Ke mana saja tangannya menyambar, tentu ada pengeroyok yang roboh dan orang yang roboh ini menggigil seperti kedinginan,
Lalu berkelojotan dan mati! Seluruh tubuh mereka putih membiru dan berkeriput seperti direndam air es saja. Tidak ada yang sampai dipukul dua kali. Sekali saja sudah cukup membuat mereka tewas. Itu pun bukan pukulan yang langsung mengenai badan, hanya hawa pukulannya saja yang menyambar! Tiga puluh orang perampok yang dipimpin oleh Hek Houw itu mengeroyok dengan nekat, akan tetapi satu demi satu roboh dan tewas. Melihat ini, Hek Houw dan tujuh orang sisa anak buahnya hendak melarikan diri karena gemetar menghadapi kakek raksasa yang amat ganas dan lihai itu, kan tetapi kakek itu tertawa bergelak dan sekali kedua tangannya didorongkan ke depan dengan kedua kaki ditekuk ke bawah, delapan orang itu roboh semua dan berkelojotan, menggigil dan tewas tak lama kemudian.
"Ha-ha-ha-ha-ha, segala macam cacing tanah berani melawanku. Aku Swat"hai Lo-kwi (Iblis Tua Lautan Salju), tidak ada yang mampu menandingi! Ha-ha-ha, mampuslah kalian semua, ha-ha-ha!"
Keng Han merasa penasaran sekali. Dia menganggap kakek itu terlalu sombong dan terlalu kejam, membunuhi tiga puluh orang begitu saja. Dia tidak dapat menahan kemarahan hatinya dan Keng Han melompat keluar dari balik batu besar sambil berseru,
"Kakek tua, sungguh engkau seorang manusia yang kejam seperti iblis!"
Kakek itu menoleh dan ketika melihat seorang pemuda remaja memakinya kejam seperti iblis, dia tidak menjadi marah bahkan tertawa bergelak.
"Bagus, aku memang kejam seperti iblis, dan memang aku ini iblis Tua Lautan Salju. Karena engkau telah memuJiku, maka aku meng"ampunimu dan tidak akan membunuhmu, ha-ha-ha!"
Akan tetapi Keng Han menjadi semakin marah.
"Kakek iblis, bukan engkau yang hendak membunuhmu, melainkan aku yang akan membunuhmu. Iblis seperti engkau ini harus dibasmi dari permukaan bumi agar tidak lagi membunuhi manusia!"
Keng Han meloncat ke depan menghampiri kakek raksasa berambut putuh itu. Dia seperti seekor burung yang baru saja dapat terbang, tidak takut apa-apa. Dia menganggap ilmu silatnyn sudah cukup tinggi untuk membela diri, tidak tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang manusia iblis yang selain kejam juga lihai bukan main. Dengan gerakan cepat, Keng Han sudah menyerang kakek itu dengan kepalan tangan kanannya. Akan tetapi kakek itu hanya tertawa dan sama sekali tidak mengelak atau menangkis.
"Bukkk....!"
Pukulan tangan Keng Han mengenai dada kakek itu, akan tetapi bukan kakek itu yang roboh melainkan Keng Han sendiri yang terlempar dan terjengkang ke atas tanah. Dia seperti memukul bukit baja yang mengeluarkan tenaga mendorong amat kuatnya.