“Ampun, susiok ,” Sin Seng Cu hanya dapat berkata demikian.
“Awas, jangan kau membawa murid-murid lain untuk permusuhan dengan golongan lain. Pada permulaan musim Chun, kau dan pinto sendiri yang akan naik ke Thaysan untuk bertemu dengan tokoh-tokoh Gobi dan di sana kami harus minta maaf kepada mereka.
Mengerti?”
“Baik, susiok.” Sungguh menggelikan dan lucu bagi Gwat Kong ketika melihat seorang tua seperti Sin Seng Cu itu mendapat marah dan kini menundukkan kepala minta maaf seperti anak kecil.
“Nah, keluarlah!”
Sin Seng Cu meninggalkan ruang itu dengan kepala tertunduk.
Pek Tho Sianjin berkata kepada Gwat Kong, “Orang yang mempunyai watak keras seperti Sin Seng Cu itu, hanya mulutnya saja berkata baik, akan tetapi hatinya panas terbakar. Betapapun juga, ia jujur dan baik. Kau pulanglah, Gwat Kong dan sampaikan kepada suhumu bahwa pinto berterima kasih atas jasa-jasa baiknya mendamaikan urusan ini.”
Gwat Kong memberi hormat dan keluar dari ruangan itu, terus turun gunung. Akan tetapi, ketika ia tiba di lereng gunung Hoasan, Sin Seng Cu telah berdiri menghadang di jalan. Muka tosu ini kemerah-merahan, tanda bahwa ia marah sekali. “Tak kusangka sama sekali bahwa Kang-lam Ciu-hiap tak lain hanya seorang pemuda dengan mulut tajam bagaikan ular yang hanya pandai mengadukan orang lain. Sebetulnya, kau perduli apakah dengan urusan kami orang Hoa-san-pai, maka berani lancang mengadukan urusan kami kepada susiok?”
Gwat Kong maklum bahwa ia menghadapi seorang berwatak keras dan sukar diajak berunding, maka jawabnya sabar,
“Totiang, harap kau suka berlaku tenang dan sabar. Aku datang bukan untuk mengadu sebagaimana yang kau kira, akan tetapi aku membawa surat suhu kepada susiokmu. Suhu melihat bahwa apabila pertempuran yang hendak kau adakan di puncak Thaysan melawan orang-orang Go-bi-pai itu dilanjutkan, maka akan jatuh banyak korban dan hal ini tentu saja tidak baik bagi orang-orang dunia persilatan seperti kita.
SEBAB-sebabnya terlampau kecil untuk direntang panjang dan untuk dijadikan alasan pertempuran mengadu jiwa. Seharusnya kau berterima kasih kepada usaha suhu yang baik ini. Mengapa kau bahkan marah-marah?”
“Aku tak butuh pendamai seperti suhumu atau kau! Kau mengandalkan apakah maka berani berlancang mulut? Apakah kepandaianmu sudah cukup tinggi maka kau berani sesombong ini? Coba kau hadapi tongkatku kalau kau memang gagah! Sambil berkata demikian, Sin Seng Cu mengeluarkan senjatanya Liong-thow-koay-tung, yakni tongkat kepala naga yang hebat itu.
“Sabar, totiang. Janganlah menambah kesalahan dengan kekeliruan yang lain lagi!” Gwat Kong mencoba menyabarkan, akan tetapi ucapan ini bukan menambah kemarahan Sin Seng Cu reda.
“Anak sombong! Kau mencoba untuk memberi wejangan kepadaku?” Sambil berkata demikian, tongkatnya menyambar dan memukul ke arah kepala Gwat Kong yang segera mengelak dan mencabut pedang dan sulingnya sambil berkata,
“Totiang, menyesal sekali aku harus mengadakan perlawanan untuk membela diri!” “Jangan banyak cakap!” teriak Sin Seng Cu dan menyerang lagi dengan lebih ganas.
Gwat Kong menangkis dan melawan sambil mengeluarkan dua macam ilmu silatnya yang lihai, yakni tangan kanan memegang pedang mainkan Sin-eng Kiam-hoat, sedangkan suling di tangan kiri digerakkan menurut ilmu silat Sin-hong Tung-hoat.
Sin Seng Cu dalam kemarahannya merasa terkejut sekali melihat hebatnya suling dan pedang itu yang menyambar-nyambar bagaikan seekor garuda dan seekor burung Hong, mendatangkan angin dingin dan sinarnya menyilaukan mata. Karena gerakan suling dan pedang itu amat berlainan, maka sungguh sukarlah menjaga serangan kedua senjata itu.
Terpaksa ia memutar tongkatnya sedemikian rupa untuk melindungi tubuhnya dan membalas dengan serangan dahsyat. Namun tetap saja ia terdesak hebat. Dari jurus pertama ia sudah tertindih dan terdesak oleh gerakan pedang dan suling itu sehingga diam-diam ia merasa kagum sekali. Tak disangkanya bahwa setelah mendapat latihan dari Bok Kwi Sianjin, pemuda ini menjadi demikian lihai.
BARU saja bertempur tiga puluh jurus lebih, Sin Seng Cu sudah tak dapat bertahan dan bersilat sambil mundur. Ketika suling Gwat Kong menusuk ke arah leher, ia menangkis dengan gagang tongkat yang berbentuk kepala naga, akan tetapi pedang Gwat Kong menyambar ke arah pinggang. Terpaksa ia membalikkan tongkatnya menangkis dan terdengar suara keras “Trang!” sehingga bunga api memancar keluar. Alangkah kagetnya Sin Seng Cu ketika melihat betapa ujung tongkatnya telah putus.
Namun tosu yang keras hati ini belum mau mengaku kalah dan hendak menyerang lagi, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,
“Sin Seng Cu, mundur kau!”
Sin Seng Cu terkejut karena bentakan ini adalah suara susioknya. Gwat Kong cepat menyimpan suling dan pedangnya, lalu menjura kepada Pek Tho Sianjin yang tahu-tahu telah berdiri di situ.
“Mohon maaf sebanyak-banyaknya, locianpwe. Teecu terpaksa berani bertempur dengan Sin Seng Cu totiang.”
Akan tetapi Pek Tho Sianjin berpaling kepada Sin Seng Cu dengan marah. “Tak malukah kau? Kau menyerang seorang muda dan akhirnya kau kalah. Orang seperti kau ini benar- benar membikin malu nama Hoa-san-pai. Hayo naik ke atas dan tutup dirimu di dalam kamar dan jangan keluar sebelum pinto datang!”
Bagaikan seekor anjing kena pukulan, Sin Seng Cu berlutut di depan susioknya dan berkata,
“Teecu bersedia dihukum, susiok. Akan tetapi, Gwat Kong ini terlalu berat sebelah. Dia hanya menegur dan memperingatkan teecu sedangkan terhadap Gobi dia menutup mulut.”
“Suhu pergi ke Gobisan untuk mendamaikan hal ini dengan Thay Yang Losu,” kata Gwat Kong.
“Hm, kau mau berkata apa lagi?” Pek Tho Sianjin menegur Sin Seng Cu.
“Ampun, susiok hendaknya diketahui bahwa penggerak Seng Le Hosiang untuk memusuhi teecu adalah seorang pembesar di Kiang-sui bernama Liok Ong Gun. Seng Le Hosiang bersekutu dengan Bong Bi Sianjin dari Kim-san-pai dan mendekati orang-orang besar di kerajaan untuk memusuhi Hoa-san-pai. Gwat Kong ini dahulunya adalah pelayan dari Liok Ong Gun dan ia tidak pernah menegur pembesar itu. Bahkan teecu meragukan apakah dia tidak membantu pembesar itu dengan diam-diam?”
Hal ini benar-benar tak diduga oleh Pek Tho Sianjin, maka ia lalu memandang kepada Gwat Kong dan bertanya,
“Benarkah ini?” “Locianpwe, tidak teecu sangkal bahwa dahulu teecu memang menjadi pelayan di gedung Liok-taijin. Akan tetapi bohonglah kalau dikatakan bahwa teecu membantu usaha Liok-taijin untuk mengadakan permusuhan dengan pihak Hoa-san-pai.”
“Susiok, Liok-taijin atau Liok Ong Gun itu adalah anak murid Go-bi-pai!” kembali Sin Seng Cu berkata untuk memanaskan hati susioknya.
“Hm, kalau benar demikian, keadaanmu sulit sekali, Gwat Kong,” kata tokoh besar Hoa-san- pai itu. “Anak muda, untuk menghilangkan tuduhan Sin Seng Cu sudah sepatutnya kalau kau menemui Liok Ong Gun itu untuk memberi peringatan dan nasehat agar ia jangan melanjutkan usahanya yang buruk itu. Beranikah kau?”
Kalau saja Pek Tho Sianjin bertanya, “Maukah kau?” Mungkin Gwat Kong akan menyatakan keberatannya. Akan tetapi karena tokoh besar Hoasan itu bertanya, “Beranikah kau?” terpaksa ia menjawab,
“Tentu saja teecu berani, locianpwe.”