Pelayaran itu dilanjutkan dengan penuh kegembiraan. Makin lama, hubungan antara kedua orang muda itu makin erat dan ternyata mereka saling cocok. Terutama sekali Cui Giok. Nona ini tidak saja merasa kagum melihat Gwat Kong akan tetapi juga api asmara telah membakar dan berkobar-kobar di dalam dadanya. Kalau dahulu dengan pedang ia sukar dirobohkan oleh Gwat Kong, sekarang ia roboh betul-betul dan merasa bahwa tanpa Gwat Kong di dekatnya, hidup akan sunyi tak berarti baginya.
Oleh karena itu semenjak gangguan bajak-bajak sungai, mereka tidak mendapat gangguan lain, maka pelayaran berjalan lancar dan cepat. Apabila malam tiba, mereka berhenti di pinggir sungai, membuat api unggun dan tidur di bawah pohon. Kadang-kadang Cui Giok tidur di dalam perahu.
NELAYAN tua itu membawa bekal beras dan dialah yang masak nasi dan memanggang ikan yang mereka dapat memancing di sungai. Kadang-kadang Gwat Kong atau Cui Giok pergi ke hutan dekat sungai untuk mencari binatang hutan seperti kijang, kelinci, ayam hutan dan lain- lain untuk dimakan dagingnya bersama nasi. Memang enak sekali makan di tempat-tempat terbuka, dekat api unggun itu!”
“Nah, untuk mencari kota Kiang-sui, dari sinilah yang paling dekat.” Ia menunjuk ke arah bukit di dekat pantai. “Dengan mengambil jalan mengitari bukit di depan itu, lalu membelok ke kanan, maka paling jauh enam atau tujuh li, kongcu akan tiba di Kiang-sui.”
Gwat Kong memandang kepada Cui Giok dan aneh sekali, kembali gadis itu nampak muram dan cemberut. “Cui Giok, apakah kau mau ikut ke Kiang-sui?” tanyanya manis.
Dara itu menggelengkan kepala. “Pergilah, biar aku menanti di sini saja!”
“Apakah kau tidak merasa kesal menanti seorang diri di sini? Tempat begini sunyi, jauh dari perkampungan,” kata Gwat Kong sambil memandang ke sekeliling. Memang di situ sunyi, yang nampak hanyalah pohon dan bukit-bukit.
Di dalam hatinya Cui Giok maklum bahwa ia tentu saja akan merasa kesal, akan tetapi mulutnya berkata, “Mengapa kesal? Di sini ada lopek dan aku bisa memancing ikan!”
Tetap saja Gwat Kong merasa tidak puas dan tidak enak hati untuk meninggalkan Cui Giok, maka ia membujuk lagi,
“Apakah tidak lebih baik kau ikut saja, Cui Giok? Kau bisa melihat-lihat keindahan kota, mungkin ada barang-barang yang kau sukai, kau dapat berbelanja dan ”
“Sudahlah,” Cui Giok memotong. “Kau pergilah sendiri karena kau mempunyai kepentingan di sana.
“Kau mempunyai sahabat-sahabat baik di sana. Aku tidak mempunyai kenalan, untuk apa aku harus pergi ke sana pula? Aku akan menunggu di sini saja!”
“Siocia berkata benar,” tiba-tiba nelayan tua itu ikut bicara. “Memang sudah menjadi kelaziman bahwa wanitalah yang selalu harus menanti dengan sabar.”
Gwat Kong dan Cui Giok memandang kepada kakek nelayan itu. “Eh, lopek apa maksudmu?” tanya Gwat Kong.
Karena sepasang anak muda itu memandangnya dengan mata tajam penuh pertanyaan, kakek ini menjadi gugup.
“Aku ..... aku teringat akan permainan anak wayang yang kutonton belum lama ini kata-
kata siocia yang hendak menunggu tadi mengingatkan aku akan nyanyian yang diucapkan oleh pelaku cerita sandiwara itu.” Kakek itu berhenti dan tertegun karena ia telah mengeluarkan kata-kata yang makin mempersulit kedudukannya.
Bagaimana nyanyiannya? Coba kau jelaskan lopek,” Cui Giok juga mendesak.
“Ah .... eh ” Ia ragu-ragu, akan tetapi kemudian berdehem untuk menetapkan hatinya, lalu
berkata, “Cerita itu adalah cerita tentang dua orang sahabat baik seperti kongcu dan siocia ini. Si teruna hendak pergi meninggalkan si dara dan nyanyian dara itu begini,
“Pergilah kanda, pergilah ke kota raja, Dinda akan menanti dengan setia, Pergilah dengan hati ringan, kanda!
Seribu tahun dinda akan menanti juga! “Ah, lopek! Gwat Kong mencela. “Aku tidak pergi ke kota raja, juga tidak pergi lama. Bagaimana kau bisa membandingkan kami dengan mereka?”
“Akupun takkan menanti sampai seribu tahun!” Cui Giok mencela.
Kakek itu hanya tertawa dan karena kata-kata nelayan itu membuat menjadi merah muka, maka Gwat Kong segera melompat ke darat dan setelah berkata, “Aku pergi takkan lama!” Ia lalu pergi dengan berlari menuju ke bukit itu.
Nelayan tua itu dan Cui Giok memandang sampai bayangan Gwat Kong lenyap di balik bukit. Nona itu masih berdiri termenung sehingga ia terkejut ketika nelayan itu berkata,
“Dia seorang pemuda yang baik, seorang calon suami yang sukar dicari bandingannya!”
Cui Giok memandang nelayan itu dengan mata tajam. “Lopek, jangan kau bicara sembrono. Gwat Kong hanya sahabatku belaka. Sahabat yang kebetulan melakukan perjalanan yang sama.”
Nelayan tua itu menarik napas panjang. “Aku sudah tua siocia. Mataku menjadi tajam karena pengalaman. Aku berani menyatakan bahwa siocia tertarik kepada pemuda itu. Tak usah membantah siocia. Aku pernah mempunyai anak perempuan yang juga jatuh hati kepada seorang pemuda. Akan tetapi oleh karena aku yang bodoh menghalanginya. Akhirnya ia jatuh sakit dan ... meninggal dunia ” Kakek itu menjadi berduka dan wajahnya muram.
Tadinya Cui Giok hendak marah, akan tetapi ketika kakek itu berkata tentang anaknya, gadis ini menjadi tak tega hati.
“Aku tidak begitu bodoh untuk menyinta seorang pemuda yang sudah mempunyai kekasih, lopek.”
Mendengar ini, kakek itu memandang dengan sinar mata yang demikian lembut dan penuh iba, sehingga tanpa disadarinya dua butir air mata menitik turun dari mata Cui Giok. Gadis ini buru-buru membalikkan tubuh, duduk di tepi perahu dan menatap air sungai dengan pikiran melayang jauh.
****