Untuk beberapa lama gadis itu tidak menjawab, kemudian tiba-tiba ia berkata, “Kau putarlah tubuhmu dan harap duduk membelakangiku, jangan sekali-kali melihat aku!”
Tentu saja Gwat Kong menjadi bengong dan memandang dengan terheran-heran lalu bertanya, “Bagaimanakah ini? Jawabanmu sama sekali tidak sejalan dengan pertanyaanku. Dan mengapa aku harus duduk membelakangimu? Apakah mukaku begitu mengerikan dan menjijikan sehingga kau tidak kuat memandang lebih lama lagi? Kalau kau tidak tahan duduk lebih lama di dekatku, katakanlah saja, aku bersedia untuk pergi!”
“Bodoh!” gadis itu menjawab dengan muka merah. “Pakaianku telah kering, akan tetapi sepatu dan kaos kaki ini sukar sekali keringnya. Kalau dibiarkan basah amat tidak enak maka aku hendak membuka dan memanggangnya dekat api. Karena itu kau harus memutar tubuhmu!”
Merahlah muka Gwat Kong mendengar ini dan cepat-cepat ia memutar tubuhnya membelakangi gadis itu. Ia mendengar suara sepatu dan kaos kaki dilepas dan diam-diam ia tersenyum geli. Gadis ini berani, tabah dan lucu.
“Bagaimana kau begitu percaya kepadaku? Mengapa kau begitu yakin bahwa aku bukan seorang laki-laki kurang ajar yang akan menengok dan melihatmu pada saat ini?” tanya Gwat Kong tanpa menggerakkan kepalanya.
“Tak mungkin! Laki-laki seperti kau takkan berani berbuat sekurang ajar itu!”
Gwat Kong menggigit bibirnya. Benar-benar berani sekali gadis itu, lebih berani dari Tin Eng. Ia merasa heran mengapa malam ini ia bisa duduk-duduk di dekat api unggun bersama seorang gadis yang tadinya sama sekali tak pernah dikenalnya, bercakap-cakap bagaikan dua sahabat baik. Baru saja bertemu dan berkenalan belum beberapa lama, ia telah merasa dekat sekali dengan nona ini, sama sekali tidak merasa asing, seakan-akan gadis ini adalah adik perempuan sendiri.
Ia terkenang kepada Tin Eng, gadis yang telah merebut hatinya itu. Alangkah senangnya kalau saja ia bisa melakukan perjalanan bersama Tin Eng, duduk di pinggir sungai di dekat api unggun seperti sekarang ini.
“Gwat Kong, mengapa kau diam saja?”
Gwat Kong terkejut. Gadis ini tanpa banyak peraturan lagi telah memanggilnya berani. Hampir saja ia lupa menengok. Untung ia masih teringat dan menjawab, “Aku sedang memikirkan tentang tugasmu yang kedua yang dipesankan oleh kakekmu. Kau belum menceritakannya itu kepadaku.”
Terdengar gadis itu tertawa perlahan. “Kau benar-benar seorang pemuda yang ingin mengetahui segalanya seperti watak seorang perempuan saja. Baiklah, dari pada kita diam saja akan kuceritakan kepadamu. Pesan kakekku yang kedua ialah bahwa aku harus mencari Liok-te Pat-mo (Delapan Iblis Bumi) dan membalaskan sakit hati kakekku kepada mereka. Karena mencari mereka itulah maka aku sampai di tempat ini.”
“Siapakah delapan iblis bumi itu? Namanya amat mengerikan!”
“Ilmu kepandaian mereka lebih mengerikan lagi,” kata gadis itu. “Mereka adalah ahli-ahli ilmu golok Pat-kwa To-hoat.”
Gwat Kong terkejut sehingga ia menengok. Akan tetapi untung bahwa ia hanya memandang muka gadis itu dan segera membalikkan kepala kembali sebelum melihat kaki gadis itu yang telanjang. (Pada masa itu, kaki seorang wanita dianggap sebagai bagian tubuh yang tak boleh diperlihatkan kepada sembarangan orang, terutama kepada laki-laki, seperti halnya anggauta tubuh lain yang dirahasiakan dan ditutup).
“Aku pernah mendengar dari suhu bahwa Pat-kwa To-hoat adalah ilmu golok yang menjagoi di daerah utara, yang kedudukannya sama tingginya dengan Im-yang Siang-kiam-hoat!”
“Memang suhumu berkata benar,” jawab Cui Giok perlahan. “Di empat penjuru, Sin-eng Kiam-hoat dari barat, Sin-hong Tung-hoat dari timur, Im-yang Siang-kiam-hoat dari selatan dan Pat-kwa To-hoat dari utara telah amat terkenal. Kurasa Pat-kwa To-hoat tidak kalah hebatnya dari ilmu pedangmu Sin-eng Kiam-hoat atau ilmu tongkatmu Sin-hong Tung-hoat.”
“Akan tetapi, mengapa pula kakekmu bermusuhan dengan mereka?”
Untuk beberapa lama Cui Giok tidak menjawab dan Gwat Kong mendengar betapa gadis itu mengenakan kembali kaos kaki dan sepatunya pada kakinya.
“Sekarang kau boleh memutar tubuhmu.”
Gwat Kong memutar duduknya dan menghadapi gadis itu yang menarik napas panjang dan kelihatan senang dan puas.
“Aaah katanya senang. “Sekarang enaklah rasanya kedua kakiku. Hangat sekali!”
Gwat Kong merasa betapa sepatunya yang basah memang mendatangkan rasa dingin pada telapak kakinya yang menjalar naik ke perut dan dada, maka iapun lalu melepaskan kedua sepatunya dan mendekatkannya pada api.
“Kau pandai memancing cerita orang,” kata Cui Giok. “Karena untuk menjawab pertanyaanmu terpaksa aku harus menuturkan pula riwayat Liok-te Pat-mo itu dan mengapa mereka sampai dibenci oleh kakekku.”
Gwat Kong merasa betapa ia memang keterlaluan semenjak tadi hanya menjadi pendengar saja dan ia belum menuturkan riwayatnya sendiri. “Biarlah kau menuturkan ceritamu dulu, Cui Giok, nanti baru tiba giliranku untuk bercerita. Aku berjanji akan menceritakan keadaanku seluruhnya. Tentang riwayatku mempelajari ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat dan lain-lain!”
“Nah, itu baru adil namanya!” Cui Giok berseru girang. Nah, sekarang dengarlah. Ilmu golok Pat-kwa To-hoat diciptakan oleh mendiang Lok Kong Hosiang yang tinggal di propinsi Ce- kiang. Sebagaimana sering kali terjadi pada ahli-ahli silat yang pandai, Lok Kong Hosiang ternyata telah salah menerima murid. Murid tunggalnya ini bernama Ang Sun Tek, seorang yang amat pandai membawa diri sehingga setiap orang akan menganggapnya sebagai seorang pemuda yang amat berbudi. Oleh karena inilah maka Lok Kong Hosiang sampai tertipu olehnya dan telah mewariskan seluruh kepandaiannya kepada pemuda she Ang itu. Ang Sun Tek mempelajari Pat-kwa To-hoat sampai sempurna betul dan tidak ada satupun gerakan yang belum ia pelajari dari Lok Kong Hosiang. Kemudian, suhunya anggap ia telah tamat belajar dan menyuruhnya mencari pengalaman di dunia kang-ouw. Akan tetapi, begitu ia turun gunung, ia membuka kedoknya dan nampaklah wajah serigala kejam di balik kedok domba itu. Ang Sun Tek berubah menjadi seorang penjahat yang kejam, yang melakukan segala macam perbuatan hina. Merampok, membunuh, mengganggu anak bini orang, ah ....
pendeknya segala macam perbuatan jahat tidak ada yang tak dilakukan oleh penjahat itu!” “Benar-benar manusia rendah budi dan bejat akhlak!” seru Gwat Kong.
“Bukan itu saja,” Cui Giok melanjutkan penuturannya. “Bahkan ia lalu mengumpulkan kawan-kawan lamanya yang terdiri dari orang-orang jahat. Kemudian memilih empat pasang saudara yang berbakat, yakni dia dan adiknya sendiri yang bernama Ang Sun Gi dan tiga pasang saudara lain she Liem, Thio dan Tan. Empat pasang saudara ini merupakan delapan orang muda yang berbakat baik. Kemudian Ang Sun Tek melatih tujuh orang kawannya ini dengan ilmu Pat-kwa To-hoat itu. Memang ia memiliki kecerdikan yang luar biasa, sehingga ia dapat menciptakan Pat-kwa-tin (Barisan Pat-kwa atau segi delapan), dan pat-kwa-tin inilah
yang hebat luar biasa. Entah berapa banyak orang gagah tewas dalam menghadapi Pat-kwa-tin ini. Karena setelah membentuk delapan sekawan ini, Ang Sun Tek dan kawan-kawannya makin mengganas dan berlaku sewenang-wenang, maka mereka diberi julukan Liok-te Pat- mo atau Delapan Iblis Bumi dan banyak orang gagah datang untuk menumpasnya. Akan tetapi mereka semua dipukul hancur, ada yang terluka, ada pula yang tewas. Bahkan, ketika Lok Kong Hosiang mendengar hal ini dan datang pula untuk menghukum muridnya, ia disambut dengan keroyokan delapan orang itu. Ang Sun Tek telah menyerang dan mengeroyok gurunya sendiri mempergunakan Pat-kwa-tin!”
“Benar-benar manusia bong-im-pwe-gi (tak mengenal budi)!” seru Gwat Kong gemas.
Sebagai pencipta dari Pat-kwa To-hoat, tentu saja Lok Kong Hosiang dapat menghadapi dengan baik Pat-kwa-tin itu, yang diciptakan oleh muridnya berdasarkan Pat-kwa To-hoat pula. Akan tetapi, hwesio itu telah amat tua ketika meghadapi keroyokan mereka dan pula, ia tidak tega untuk membunuh delapan orang-orang muda itu, sehingga akhirnya dia sendirilah yang menderita luka-luka parah dan terpaksa melarikan diri.”
“Terkutuklah si jahanam Ang Sun Tek!” Gwat Kong memaki marah.
“Lok Kong Hosiang adalah sahabat baik dari kakekku dan ketika kakekku mendengar akan hal itu, ia segera mencari Lok Kong Hosiang di propinsi Ce-kiang. Akan tetapi, kakek terlambat karena ketika ia tiba di kelenteng tempat tinggal Lok Kong Hosiang, hwesio itu telah menghembuskan napas terakhir.”
“Hmmm, muridnya sendiri yang membunuhnya! Benar-benar manusia she Ang itu harus dibinasakan!” kata Gwat Kong sambil mengepal tinjunya.
“Kakek juga berpikir begitu, maka kakekku lalu pergi mencari mereka ke kota Sianuang di propinsi Ce-kiang.”
“Bagus!” kata Gwat Kong memuji.
“Sama sekali tidak bagus!” Cui Giok mencela. “Ternyata bahwa kakekku sendiri masih tak cukup kuat menghadapi Pat-kwa-tin mereka sehingga hampir saja kakek mendapat celaka. Untung kakek masih dapat menyelamatkan diri. Akan tetapi, kakek merasa amat terhina dan malu karena dikalahkan oleh mereka!”
“Sungguh lihai!” Gwat Kong memuji.
“Memang mereka lihai sekali. Akan tetapi aku tidak takut kepada mereka. Kakek telah menggemblengku dan menurut pendapat kakek, kepandaianku telah lebih kuat dari pada keadaan kakekku ketika menyerbu Pat-kwa-tin itu. Aku telah menyusul ke Ce-kiang. Akan tetapi ternyata bahwa sekarang Liok-te Pat-mo telah pindah dan mereka itu telah diangkat menjadi busu (perwira istana kaisar). Bahkan Ang Sun Tek dan kawan-kawannya merupakan pasukan perwira istana yang istimewa dan mereka tinggal di kota raja.”
“Jadi sekarang kau hendak menyusul ke kota raja?”
“Tentu saja! Jangankan ke kota raja, biarpun mereka itu pindah ke pulau api, aku tentu akan mengejar mereka!” kata Cui Giok dengan suara gagah.
“Akupun akan ke sana dan membantumu!” Cui Giok memandangnya dan merengut.
“Apa kau kira aku takut kepada mereka dan memerlukan bantuanmu?”
“Bukan begitu. Akupun ingin sekali mencoba kepandaian mereka yang sombong dan jahat hati itu. Suhu pernah bercerita tentang adanya Pat-kwa To-hoat. Agaknya suhu belum tahu tentang kejahatan anak murid Pat-kwa To-hoat ini. Kalau suhu tahu tentu aku diperintahkan pula untuk menghancurkan mereka!”