Pendekar Pemabuk Chapter 60

NIC

“Kau adalah seorang laki-laki ceriwis! Tukang mengejar wanita!” Kata-kata ini disusul dengan sebuah serangan pula. Kini pedang di tangan kanan membabat leher dan pedang di tangan kiri menyerampang kaki. Menghadapi serangan luar biasa lihainya ini Gwat Kong tak dapat membuka mulut karena ia harus mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mengelak lagi dengan lompatan jauh ke belakang.

“Tidak nona. Aku tidak ceriwis! Aku hanya ingin kenal ...... aku tertarik dan kagum sekali

padamu ”

“Cih, tak tahu malu! Ucapanmu ini membuktikan bahwa kau adalah seorang laki-laki ceriwis, seorang pemuda hidung belang!” Kembali Cui Giok maju menyerang dengan hebat. Kini pedang di tangan kanan menusuk hulu hati dan pedang di tangan kiri membelek perut!

Serangan-serangan ini biarpun amat berbahaya dan lihai mendatangkan rasa girang dan gembira di hati Gwat Kong. Oleh karena ia benar-benar mengagumi gerakan-gerakan dua pedang yang mempunyai gaya dan kelihaian tersendiri itu.

Ia maklum akan bahayanya dua serangan itu, maka ia melempar tubuh ke belakang lagi, sambil berjungkir balik membuat salto ke belakang sampai dua kali. Ia melompat agak tinggi, sehingga dapat mencapai cabang pohon yang paling rendah dan ketika tubuhnya kembali menginjak tanah, di tangannya telah terdapat sepotong kayu yang dipatahkannya dari cabang tadi. Kini Gwat Kong mencabut-cabut daun dari ranting kayu itu dan berkata,

“Nona, kau salah sangka! Yang mengagumkan dan menarik hatiku adalah ilmu pedangmu yang luar biasa itu! Telah lama aku mendengar ilmu pedang Im-yang Siang-kiam-hoat, maka kini aku merasa kagum dan tertarik sekali menyaksikan bahwa ilmu pedang itu benar-benar indah dan luar biasa!”

Aneh sekali, mendengar ucapan ini, nona itu wajahnya menjadi merah dan agaknya ia marah sekali.

“Kau hanya mengagumi keindahan ilmu pedangku? Nah, rasakanlah siang-kiamku!” Tanpa banyak cakap lagi Cui Giok lalu menyerang dengan sepasang pedangnya dengan gerakan yang amat aneh dan cepat.

Gwat Kong menggerakkan kayu di tangannya itu dengan hati gembira. Tercapailah maksudnya untuk menguji ilmu pedang Im-yang Siang-kiam yang dipuji-puji oleh gurunya. Sungguhpun ia agak kecewa karena nampaknya ia telah mendatangkan kesan buruk di dalam hati gadis itu, yang seakan-akan marah dan membencinya. Apa boleh buat, pikirnya. Akupun hanya ingin mencoba kepandaiannya belaka.

Ia lalu kerahkan seluruh kepandaiannya dan mainkan ilmu tongkat Sin-hong Tung-hoat yang ia pelajari dari Bok Kwi Sianjin. Biarpun yang dipegangnya hanya sebatang kayu ranting biasa, akan tetapi karena digerakkan dengan tenaga lweekang yang tinggi dan mainkan ilmu silat yang luar biasa sekali, maka ranting di tangannya itu bergerak-gerak dan menyambar- nyambar dengan amat ganas dan lincahnya sehingga ia dapat mengimbangi permainan siang- kiam dari Cui Giok yang benar-benar hebat itu.

Gwat Kong dengan teliti sekali memperhatikan gerakan kedua pedang di tangan nona itu, dan beberapa kali ia sengaja mengadu tenaga dengan pedang di tangan kanan maupun yang di kiri. Setelah beberapa kali mengadu tenaga, tahulah ia bahwa tangan kanan gadis itu mempergunakan tenaga yang-kang (tenaga kasar/besar), sedangkan di tangan kiri menggunakan tenaga Im-jin (halus/mulus), maka kedua pedang itu dapat digerakkan dengan berlainan sekali. Kalau pedang di tangan kanan menyambar-nyambar dengan ganas luar biasa dengan kecepatan yang menyilaukan mata, adalah pedang di tangan kiri digerakkan dengan lambat. Akan tetapi, biarpun kelihatannya lambat, Gwat Kong maklum bahwa pedang di tangan kiri inilah yang paling berbahaya di antara kedua pedang itu, karena kelambatan dan kelemasan itu sebetulnya hanya nampaknya saja. Sebetulnya di dalam kelambatan itu mengandung kecepatan yang lebih hebat dari pada pedang di tangan kanan.

Memang agaknya tak masuk diakal dan aneh, akan tetapi hal ini memang sebetulnya. Kecepatan di tangan kanan adalah kecepatan tenaga gadis itu sendiri yang dikerahkan dengan maksud menyerang dan membacok lawan dan pengerahan tenaga tangan untuk menggerakkan pedang inilah maka disebut bahwa tenaga tangan kanan itu adalah kasar/keras. Kecepatan hanya terletak pada sambaran senjata dan tergantung sepenuhnya dari besarnya dorongan tenaga nona itu.

Akan tetapi, pedang di tangan kiri itu tidak mengandalkan tenaga sendiri, akan tetapi mengandalkan tenaga lawan. Pedang yang nampaknya lambat apabila menyerang itu jangan sekali-kali dipandang rendah karena kalau ditangkis oleh senjata lawan, pedang ini mengambil atau mencuri tenaga lawan yang menangkis itu dan dengan dorongan tenaga yang dipinjam itu ia melakukan serangan lanjutan yang luar biasa cepatnya dan tidak diduga sama sekali oleh lawan.

Juga, setiap kali pedang di tangan kiri ini digunakan untuk menangkis serangan lawan, pedang ini tidak menggunakan tenaga kekerasan, akan tetapi menguasai atau menangkap tenaga lawan sedemikian rupa sehingga tenaga lawan yang besar itu akan lenyap sendiri. Bahkan dapat digunakan sebagai batu loncatan untuk melakukan serangan balasan pada saat menangkis itu juga.

Memang agak sukar untuk mengerti bagi mereka yang tidak tahu akan ilmu silat tinggi. Akan tetapi memang tenaga “im” atau tenaga dalam yang lemas ini benar-benar luar biasa. Sebagai contoh untuk memudahkan penjelasan tentang perbedaan tenaga kasar dan tenaga lemas adalah seperti berikut.

Kalau kita melemparkan sebuah benda yang berat ke atas udara dan kemudian benda itu kembali menimpa ke arah tangan kita, maka ada dua jalan bagi kita untuk menerima kembali jatuhnya benda itu dengan tenaga kasar dan tenaga lemas. Dengan tenaga kasar, yakni berarti bahwa kita menggunakan kekuatan kita untuk menerima benda itu begitu saja dengan mengandalkan kekuatan urat-urat di lengan kita sehingga akibatnya kalau tenaga kita lebih besar dari pada luncuran benda yang jatuh itu, maka benda tersebut akan dapat kita terima dengan mudah dan enak. Akan tetapi sebaliknya apabila tenaga luncuran benda yang jatuh itu lebih besar dari pada tenaga tangan kita banyak bahayanya tangan kita akan tertimpa sampai patah tulangnya atau keseleo dan benda itu akan terlepas dari tangan kita.

Adapun penggunaan tenaga lemas ialah apabila kita menerima benda yang meluncur dari atas itu dengan ringan tanpa menggunakan tenaga besar atau kasar. Akan tetapi dengan tenaga lemas dan lemah kita menyambutnya dan menuruti luncurannya dari atas itu ke bawah kemudian dengan hanya sedikit tenaga saja kita mendorong benda itu ke samping untuk mematahkan tenaga luncurannya yang menimpa itu kemudian dengan gaya yang baik, yakni seakan-akan merupakan kemudi bagi tenaga luncur yang seperti raksasa itu. Kita bisa mendorong benda itu ke samping terus kembali ke atas, seakan-akan benda itu jatuh melalui sebuah pipa yang di bagian bawah dibengkokkan dan membelok ke atas lagi.

Nah, demikianlah sekedar penjelasan singkat tentang perbedaan tenaga kasar dan tenaga lemas. Permainan pedang di kedua tangan Sie Cui Giok adalah berdasarkan tenaga kasar dan lemas maka ilmu pedang ini disebut Im-yang Siang-kiam-hoat atau ilmu pedang pasangan Im dan Yang. Gwat Kong benar-benar merasa kagum karena setelah ia mengerahkan seluruh kepandaiannya berdasarkan permainan tongkat Sin-hong Tung-hoat yang baru-baru ini dipelajarinya dari Bok Kwi Sianjin, ia tetap saja terdesak oleh sepasang pedang itu sehingga ia harus menambah ekstra kegesitan tubuhnya agar jangan sampai terbabat atau tertusuk pedang nona itu.

“Ha ha! Tak tahunya Sin-hong Tung-hoat yang ternama itu hanya begini saja!” tiba-tiba nona itu menyindir dan memutar kedua pedangnya lebih hebat dan lebih cepat lagi mendesak Gwat Kong dengan serangan-serangan berbahaya dan yang paling lihai dari ilmu pedangnya.

Selain sibuk menghadapi desakan serangan ini, juga hati Gwat Kong merasa amat mendongkol mendengar sindiran yang memandang rendah ilmu tongkatnya ini. Kalau saja ia sudah melatih cukup masak, belum tentu ia akan kalah, pikirnya dengan mendongkol. Ia tahu bahwa kekalahannya yang membuat ia amat terdesak ini tak lain hanya karena kalah latihan.

Ia dapat menduga bahwa melihat kemahiran nona ini mainkan ilmu pedangnya, tentu ia telah melatih ilmu pedang ini bertahun-tahun lamanya. Maka ia segera berseru marah dan tiba-tiba ia melempar rantingnya ke atas tanah dan tahu-tahu pedang Sin-eng-kiam pemberian Bu-eng- sian Leng Po In dulu telah berada di tangannya, berkilau-kilau mendatangkan sinar putih yang panjang.

“Bagus! Hendak kulihat sampai di mana kehebatan Sin-eng Kiam-hoat!” seru nona baju kuning itu. “Benar-benar hebat ataukah hanya namanya saja yang hebat seperti Sin-hong Tung-hoat yang kau mainkan tadi!”

Saking mendongkolnya, Gwat Kong tak dapat menjawab sindiran ini dan segera menyerang dengan pedangnya sambil membentak, “Awas pedang!”

Kini pertempuran menjadi lebih hebat lagi, karena sungguhpun Sin-hong Tung-hoat yang baru tadi dimainkan oleh Gwat Kong tak kalah hebatnya, akan tetapi ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat telah dilatihnya lama juga dan ia lebih biasa menggerakkan pedang dari pada menggerakkan ranting tadi. Ketika memutar pedang tunggalnya, maka lenyaplah tubuhnya tertutup oleh sinar pedangnya itu karena Cui Giok juga tidak mau kalah dan mainkan sepasang pedangnya dengan cepat, maka yang nampak sekarang adalah tiga sinar pedang yang saling menggulung, seakan-akan seekor naga jantan yang gagah perkasa dikeroyok oleh sepasang naga betina yang memiliki gerakan indah.

Pertempuran ini benar-benar ramai dan hebat, jauh lebih ramai dari pada pertempuran yang pernah dihadapi oleh Cui Giok maupun Gwat Kong. Keadaan mereka benar-benar berimbang. Dalam hal gerakan ilmu pedang, Gwat Kong masih kalah mahir, dan hal ini adalah karena ia memang kalah latihan. Cui Giok semenjak kecil digembleng oleh engkongnya (kakeknya) dan telah belasan tahun ia mempelajari ilmu pedang Im-yang Siang-kiam-hoat ini, maka setiap gerakannya amat sempurna. Akan tetapi sebaliknya, gadis ini masih kalah dalam hal lweekang karena Gwat Kong telah mendapat latihan dari dua macam ilmu silat tinggi. Ginkang mereka setingkat, mereka sama- sama maklum bahwa kalau pertempuran dilanjutkan, yang lebih dulu kehabisan napas dan tenaga, dialah yang akan kalah. Dan sebelum mereka kehabisan tenaga dan napas, entah beberapa ratus jurus mereka sanggup bertahan. Sementara itu, keadaan telah mulai menjadi remang-remang, tanda bahwa senjakala telah hampir terganti malam.

Gwat Kong merasa sudah cukup menguji ilmu kepandaian gadis itu, maka tiba-tiba ia berseru keras dan gerakan pedangnya berubah hebat. Cui Giok terkejut sekali dan hampir saja pundaknya terkena sambaran ujung pedang pemuda itu. Gwat Kong makin gembira melihat hasil perubahan ini dan menyerang makin hebat. Benar saja, Cui Giok menjadi terdesak dan gadis ini nampak sibuk sekali.

Ternyata bahwa Gwat Kong telah mencampur adukkan ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat dengan ilmu tongkat Sin-hong Tung-hoat. Ilmu pedang dan ilmu tongkat memang berbeda, akan tetapi banyak pula persamaannya, yakni dalam hal serangan menusuk dan membacok. Hanya berbeda, pedang menusuk untuk menembus kulit daging lawan sedangkan tongkat menusuk ke arah jalan darah lawan. Diserang dengan ilmu silat campuran yang memang luar biasa ini, Cui Giok benar-benar merasa bingung dan akhirnya ia merasa bahwa ia takkan kuat menghadapi pemuda yang luar biasa ini, Maka ia lalu melompat ke belakang dan melarikan diri.

Gwat Kong merasa tidak puas. Setelah bertempur sekian lamanya, ia harus dapat mengalahkan gadis itu, atau setidaknya nona itu harus mengakui bahwa Im-yang Kiam-hoat masih kalah oleh ilmu silatnya yang campuran ini. Maka melihat nona itu melarikan diri, ia juga berlari cepat mengejar.

Sie Cui Giok berlari menuju ke utara dan tiba-tiba di depannya terdapat sebatang anak sungai yang cukup lebar dan airnya jernih itu nampak kehijauan, tanda bahwa sungai itu cukup dalam. Pemandangan di situ amat indahnya karena pohon-pohon dan bunga tumbuh di kedua tepi sungai, dan di situ terdapat pula sebuah jembatan terbuat dari pada tiga batang bambu yang disambung-sambung.

Rupa-rupanya para pemburu binatang yang membuat jembatan darurat ini.

Tanpa pikir panjang lagi Cui Giok lalu melompat dan berlari melalui bambu itu. Bambu itu ketika diinjak dengan keras lalu bergerak-gerak dan bukan main sukarnya melintasi bambu- bambu yang kecil, licin dan bergerak-gerak ini. Akan tetapi gadis itu sudah tak dapat kembali lagi, karena ia melihat Gwat Kong sudah tiba di pinggir sungai pula dan agaknya hendak melintasi jembatan itu pula.

“Awas nona, kau nanti jatuh!” Gwat Kong berseru kaget melihat betapa tubuh nona itu bergerak-gerak di atas bambu yang bergoyang-goyang. Ia sendiri tidak berani melompat ke atas jembatan karena maklum bahwa kalau ia ikut melompat, bambu-bambu itu belum tentu kuat menahan beratnya dua tubuh orang.

Cui Giok agaknya akan dapat menyeberang dengan selamat, akan tetapi tiba-tiba gadis itu berteriak ketakutan. Di tengah-tengah jembatan itu terdapat seekor tikus hutan yang besar dan yang sedang menyeberangi jembatan itu pula. Dan Cui Giok termasuk seorang di antara para gadis yang jijik dan takut serta geli melihat tikus. Wajahnya pucat, dan ia menjadi begitu takut dan kaget sehingga ia tidak dapat mengatur imbangan tubuhnya lagi. Dengan teriakan ngeri, gadis itu terpeleset dari jembatan bambu dan tubuhnya melayang ke bawah.

“Jebur!!” Air memercik tinggi dan Gwat Kong menahan napas ketika melihat betapa tubuh gadis itu timbul dipermukaan air dengan kedua tangan diangkat tinggi-tinggi, tanda seorang yang tak dapat berenang. Gadis itu memandangnya seketika, kemudian tenggelam timbul dengan tangan terangkat. Keadaannya sungguh menyedihkan sekali.

SUNGGUHPUN ia sendiri tak amat pandai berenang, akan tetapi kalau hanya berenang dan menolong orang tenggelam saja Gwat Kong masih sanggup, maka tanpa banyak pikir lagi ia lalu melompat dan terjun ke bawah.

“Jebur!!” Air memercik lagi tinggi-tinggi dan Gwat Kong menggunakan kakinya untuk mengangkat tubuh ke permukaan air. Kepalanya telah tersembul ke atas. Ia memandang ke kanan kiri. Akan tetapi ia tidak melihat tubuh gadis yang sedang hanyut tadi!

“Nona ..... nona !” Ia berteriak-teriak dengan panik menyangka bahwa nona itu tentu

tenggelam. Ia berenang ke sana ke mari sampai kaki dan tangannya terasa lemas karena selain ia tidak biasa berenang, juga rasa lelah cepat membuatnya lemas.

Tiba-tiba Gwat Kong melihat ke pinggir sungai dan nampak nona baju kuning itu sedang duduk dalam keadaan basah kuyup, dan sedang memandang ke arahnya sambil tersenyum. Gwat Kong merasa seakan-akan hidungnya dipukul dari depan. Dengan gemas ia dapat menduga bahwa tadi gadis ini hanya berpura-pura belaka. Dengan susah payah, Gwat Kong lalu berenang ke pinggir sambil diam-diam menyumpahi ketololannya sendiri.

Ia merayap ke atas melalui tanah lumpur sehingga ketika ia telah berhasil duduk di dekat nona itu dengan napas terengah-engah, seluruh pakaiannya kotor terkena lumpur dan seluruh tubuhnya basah kuyup. Dalam keadaan basah dan hawa senja amat dinginnya itu, Gwat Kong merasa amat tidak enak. Akan tetapi, tidak hanya tubuhnya terasa tidak enak, malah hatinya terasa lebih-lebih tak enak lagi. Ia merasa mendongkol sekali, apalagi ketika melihat betapa gadis itu memandangnya seperti seorang kakak memandang adiknya yang tolol.

“Nona, kau benar-benar keterlaluan!” katanya.

Cui Giok bangun berdiri, mencari-cari, lalu membungkuk dan mengumpulkan daun-daun dan ranting kering. “Sebelum mengobrol, lebih baik membuat api unggun untuk mengusir dingin dan mengeringkan pakaian,” katanya.

Gwat Kong menyetujui usul ini dan juga berdiri lalu membantu pengumpulan kayu-kayu kering yang ditumpuk di dekat sungai itu. Lalu mereka membuat api dan tak lama kemudian mereka duduk di dekat api unggun yang bernyala besar dan hangat.

“Kau benar-benar keterlaluan!” kata Gwat Kong sambil membuka jubah luarnya dan memanggangnya di dekat api setelah diperasnya tadi.

“Mengapa keterlaluan?” Nona itu balas memandang sambil melonjorkan kakinya ke dekat api karena sepatu dengan kaos kaki yang masih basah itu terasa tidak enak sekali. “Kukira tadi kau betul-betul akan tenggelam sehingga aku melompat ke air. Kalau aku tahu kau pandai berenang, untuk apa aku bersusah payah sampai basah semua macam ini?”

Nona itu tertawa dan bukan main manisnya kalau ia tertawa. Dekik-dekik manis sekali menghias kanan kiri mulutnya. “Hmm, memang kau seorang muda yang usilan dan selalu mencampuri urusan orang lain. Siapakah yang minta kau menolongku? Apakah kau mendengar aku menjerit minta tolong?”

Terpaksa Gwat Kong harus mengakui bahwa gadis itu tadi memang tidak minta tolong. Akan tetapi mengapa kedua tangan gadis itu bergerak seakan-akan tak pandai berenang dan akan tenggelam? Diam-diam Gwat Kong dapat menduga bahwa gadis ini selain cerdik sekali, juga mempunyai kejenakaan. Sifatnya ini membuatnya teringat akan Tin Eng dan diam-diam ia memandang dengan penuh perhatian.

Posting Komentar