Pendekar Pemabuk Chapter 56

NIC

Tak terasa pula Cong Si Kwi menggunakan tangan meraba telinga kirinya dan hatinya merasa lega ketika merasa betapa telinganya masih utuh. Hanya ketika ia menurunkan tangannya ternyata tangan itu penuh dengan darah. Sungguhpun daun telinganya belum putus, akan tetapi kulit daun telinga itu telah terluka oleh angin pedang dan mengeluarkan banyak darah. Ia bergidik mengingat akan kelihaian ilmu pedang nona itu. Pada saat itu, dari pintu depan itu keluarlah dua orang dengan langkah lebar. Yang seorang adalah seorang tinggi besar, bercambang bauk dan mukanya hampir serupa dengan Cong Si Kwi hanya tubuhnya lebih pendek sedikit. Inilah Tai-sai-cu Cong Si Ban, kakak dari Cong Si Kwi yang telah diberitahu oleh seorang pelayan bahwa adiknya sedang bertempur dengan seorang gadis lihai di luar gedung.

Orang kedua yang ikut keluar adalah seorang tosu yang tinggi kurus dengan rambut dan kumis jenggot hitam serta muka berkulit kemerah-merahan. Gwat Kong segera kenali tosu ini yang bukan lain adalah Sin Seng Cu, tokoh Hoa-san-pai yang dulu pernah bertempur melawan dia sebelum dia diberi palajaran silat oleh Bok Kwi Sianjin!

Melihat tosu yang pernah mengalahkannya dengan mudah itu, diam-diam Gwat Kong merasa berdebar jantungnya. Bukan karena takut, akan tetapi karena ingin sekali ia bertempur lagi melawan tosu itu dan berusaha menebus kekalahannya dulu. Karena Gwat Kong berdiri di antara para petani yang banyak jumlahnya itu, maka Sin Seng Cu tidak melihatnya dan hanya memandang kepada Sie Cui Giok dengan tajam.

“Eh eh, apakah yang telah terjadi di sini?” tanya Cong Si Ban kepada adiknya, akan tetapi sebelum Cong Si Kwi menjawab, Cui Giok tanpa memperdulikan munculnya Si Ban dan tosu itu, mendesak kepada Si Kwi.

“Hayo, kau lekas keluarkan gandum dan padi itu. Perut para petani dan keluarga mereka sudah terlalu lapar untuk menanti lebih lama lagi!”

Cong Si Ban yang melihat sikap gadis itu dan melihat adiknya yang berwajah pucat, maklum bahwa adiknya tentu telah dikalahkan oleh gadis ini, maka ia lalu menjura kepada gadis itu. Ia mengangkat kedua tangannya ke arah dada dengan gerakan cepat. Dan Gwat Kong terkejut sekali karena ia maklum bahwa tentulah gerakan itulah gerakan serangan gelap dengan tenaga khikang yang disebut gerak tipu Dewi Sakti Mempersembahkan Buah.

Biarpun nampaknya seperti orang memberi hormat akan tetapi dari sepasang kepalan tangan yang dirangkapkan itu menyambar angin pukulan khikang yang cukup kuat untuk merobohkan lawan. Akan tetapi kekagetan hati Gwat Kong terganti oleh kekaguman ketika ia melihat betapa dengan gerakan tenang dan indah, Cui Giok sambil tersenyum membongkokkan tubuhnya pula dan mengangkat kedua tangan ke dada dengan telapak tangan terbuka. Inilah gerakan Dewi Kwan Im Memberi Berkah dan diam-diam ia mengerahkan tenaga untuk menerima serangan gelap itu.

Dengan penuh perhatian Gwat Kong memandang dan melihat betapa kedua orang yang diam- diam mengadu tenaga itu melangkah mundur setindak, yang membuktikan bahwa tenaga khikang mereka seimbang. Hampir saja Gwat Kong mengeluarkan seruan kagum terhadap dara baju kuning itu.

Sementara itu Sin Seng Cu yang melihat pula adu tenaga ini agaknya tidak menyetujui sikap Cong Si Ban, karena sambil menggerak-gerakan ujung lengan bajunya yang panjang, ia berkata, “Apakah artinya semua pertunjukan ini? Kalau ada urusan, lebih baik diselesaikan dengan baik-baik. Nona muda yang gagah, siapakah kau dan mengapa agaknya kau membuat kegaduhan di pekarangan orang lain?” Ucapan ini menunjukkan betapa tosu itu mempunyai watak yang tinggi dan memandang rendah orang lain, terutama terhadap gadis muda ini, ia menganggapnya sebagai seorang ahli silat tingkat rendah.

“Siapa yang membuat gaduh? Orang she Cong ini telah berjanji kepadaku untuk membagi- bagikan gandum dan padi kepada para petani itu dan akan membuka sumber air untuk umum dan kupercaya ia cukup laki-laki untuk memegang janjinya.”

Cong Si Ban memandang adiknya. “Si Kwi, apakah yang telah terjadi?”

“Petani-petani itu hendak merampok dan ketika aku berusaha menghalau mereka, nona ini datang mencampuri urusan ini dan aku telah kalah olehnya. Terpaksa aku berjanji hendak

memberikan yang diminta oleh para perampok itu, twako!” Si Kwi mengadu.

“Bagus-bagus!” nona itu tersenyum sindir. “Kau sendiri yang telah merampok dan memeras rakyat petani dan menumpuk hasil sawahnya di dalam gudangmu. Sekarang karena berada dalam keadaan kelaparan para petani minta pertolonganmu. Bukan kau tolong bahkan kau pukul mereka. Siapakah sebenarnya yang patut disebut perampok? Benar-benar orang busuk!”

Cong Si Ban maklum bahwa adiknya tentu telah berlaku kasar sehingga membuat gadis gagah ini menjadi marah, maka oleh karena ia tahu sedang berhadapan dengan seorang yang pandai, ia lalu tersenyum dan berkata, memperlihatkan sikap baik.

“Lihiap harap jangan marah dan maafkan adikku yang kasar. Tentang gandum dan air, tentu saja akan kubagikan karena sebelum kau datang, akupun sedang memikirkan untuk menolong mereka itu. Marilah duduk dan bercakap-cakap di dalam rumah.”

“Hmm, jadi kaukah kakak orang ini? Tentu kau yang disebut Cong Si Ban, yang menjadi raja kecil di daerah ini. Aku tidak menghendaki jamuanmu, hanya satu yang kukehendaki, yaitu sekarang juga harap kau keluarkan gandum dan padi secukupnya agar dapat dibawa oleh para petani.”

“Kau betul-betul bersikap kurang ajar!” bentak Sin Seng Cu dengan marah. “Tuan rumah berlaku mengalah dan peramah, akan tetapi kau memperlihatkan sikap seakan-akan menjadi kepala! Eh, anak kecil, kau mengandalkan apakah maka begini sombong?”

Sambil berkata demikian, Sin Seng Cu tosu yang berdarah panas ini sudah hendak melangkah maju. Akan tetapi Cong Si Ban yang amat cerdik dan hendak menggaruk keuntungan nama dalam keadaan yang buruk ini, segera mencegah dan berkata, “Baik .. baik! Si Kwi, kau keluarkan gandum dan bagi-bagikan seorang sekantong kepada para petani itu, dan mereka boleh mengambil air seorang sepikul!”

Cong Si Kwi tak dapat membantah, maka ia lalu mengepalai sejumlah pelayan, mengeluarkan bahan makanan mutlak itu, yang diterima oleh para petani dengan wajah girang dan air mata mengalir saking terharu dan gembiranya. Mereka memandang ke arah gadis itu dengan sinar mata penuh terima kasih. Akan tetapi karena khawatir kalau-kalau kedua saudara Cong itu berobah pikiran, mereka segera membawa pergi gandum itu dan pulang ke rumah masing- masing.

Cong Si Ban kembali menjura kepada nona baju kuning itu, “Nona, sekarang keadaan telah beres dan kami telah menuruti kehendakmu. Maka kuharapkan kau tidak menolak sedikit permintaanku.”

“Apakah itu?” tanya Cui Giok sambil memandang tajam.

“Karena kau telah mengalahkan adikku, maka aku merasa kagum sekali dan ingin melihat kelihaianmu. Sukakah kau memberi sedikit pelajaran padaku?”

Sie Cui Giok tersenyum menghina. “Sudah kuduga!” katanya. “Orang seperti kau dan adikmu mana dapat memberikan gandum itu dengan cuma-cuma? Kau tersenyum di mulut akan tetapi mengutuk di hati. Kau hendak menguji aku? Baik, keluarkan senjatamu!” Sambil berkata demikian, sekali kedua tangannya bergerak sepasang pedang itu telah berada di kedua tangannya.

Sementara itu, ketika melihat para petani telah pergi, Gwat Kong masih saja berada di situ dan kini ia duduk di bawah sebatang pohon, menonton pertandingan yang hendak dilangsungkan itu. Dan karena semua mata sedang diarahkan kepada nona baju kuning yang gagah itu, maka tak seorangpun memperhatikan pemuda yang berpakaian sederhana itu. Kalau sekiranya ada yang melihatnya, tentu Gwat Kong akan dianggap sebagai seorang pemuda dusun yang ingin menonton pertandingan silat.

Sementara itu, melihat gerakan Cui Giok yang mencabut pedangnya. Cong Si Ban lalu menerima toyanya dari seorang pembantunya dan setelah berkata, “Mohon pengajaran!” ia lalu menggerakkan toyanya dan memasang kuda-kuda yang kuat sekali nampaknya. Nona baju kuning itu tidak mau membuang banyak waktu lagi dan segera mulai dengan penyerangannya.

Pedangnya di tangan kanan bergerak menusuk ke arah dada lawan dan ketika Si Ban mengangkat toya untuk menangkis, nona itu menggunakan pedang kiri yang bergerak lambat untuk menahan tangkisan lawan dan pedang di tangan kanannya yang dapat bergerak amat cepatnya itu melanjutkan tusukannya.

Cong Si Ban merasa terkejut sekali dan cepat mundur untuk menghindarkan diri. Ia tak pernah menduga bahwa nona itu demikian lihainya. Pantas saja Si Kwi tak dapat melawannya, pikir Si Ban yang segera menggerakkan toyanya dengan cepat dan memutar- mutarnya bagaikan kitiran angin, langsung menyerang dan melakukan pukulan-pukulan bertubi-tubi dengan kedua ujung toyanya.

Posting Komentar