"Pedangmu bersinar merah dan dapat kau lilitkan seperti ikat pinggang, benar-benar luar biasa. Pedang apakah gerangan pusakamu itu, Suma lihiap?"
Eng Eng tersenyum puas dan girang mendengar orang memuji pedangnya.
"Pedangku ini oleh suhu diberi nama Ang-coa-kiam (Pedang Ular Merah). dan jarang sekali kupergunakan kalau tidak perlu."
Mendengar nama pedang ini, Ouw Tang Sin dan Ting Kwan Ek saling pandang dengan heran.
"Nona Suma Eng, pedang Ang-coa-kiam adalah pusaka milik Kim liong.pai di Liong san. Bagaimana bisa terjatuh di dalam tanganmu?" Ouw Tang Sin berseru. Tentu saja Eng Eng tidak tahu apakah yang disebut Kim-liong-pai (Partai Naga Emas) dan di mana letaknya bukit Liong san, maka ia hanya memandang sambil mengerutkan alis karena Ouw piauwsu menyatakan bahwa pedang itu milik orang lain.
Ting Kwan Ek yang lebih cerdik lalu memandang kepada suhengnya dengan sinar mata mencela, kemudian ia buru buru berkata kepada Eng Eng.
"Suma lihiap, tentu saja pedangmu itu bukan milik orang lain. Hanya saja memang betul bahwa Kim-liong-pai memiliki sebuah pedang pusaka yang namanya juga Ang-coa-kiam. Bolehkah kami melihat pedangmu itu sebentar saja? Kami pernah melihat Ang.coa kiam dari Kim-liong-pai maka dapat kami mengenal pedang itu."
Eng Eng mengeluarkan pedangnya dan memberikan senjata itu kepada Ting Kwan Ek. Dengan kagum kedua orang piauwsu itu bergantian memeriksa pedang yang luar biasa itu dan Ouw piauwsu segera berkata.
"Ah, bukan? Pedang ini bukan pedang pusaka dari Kim-liong pai! Pedang Angcoa-kiam yang menjadi pedang pusaka Kim-liong-pai berbentuk seekor ular merah yang runcing ekornya dan kepalanya menjadi gagang. Pedang ini sama sekali tidak berbentuk ular, hanya warnanya yang agak sama dengan Ang- coa kiam dari Kim.liong-pai!"
Ting Kwan Ek mengangguk-angguk dan mengembalikan pedang itu kepada Eng Eng.
"Memang bukan, akan tetapi kurasa belum tentu Kalah ampuhnya dengan Ang-coa-kiam dan Kim-Liong-pai."
"Jangan bilang demikian, sute. Ang-coa- kiam dari Kim- Liong-pai luar biasa sekali dan telah terkenal di empat penjuru dunia. Apa lagi kalau dimainkan oleh anggota Kim liong-pai yang memiliki ilmu pedang Ang coa-kiam-sut," kata Ouw-piauwsu.
Ting piauwsu tidak menjawab, hanya di dalam hatinya ia menyesal mengapa suhengnya sebodoh itu, karena ucapan ini sama artinya dengan merendahkan nilai pedang dara perkasa itu.
Akan tetapi, karena belum lama terjun dalam dunia ramai, Eng Eng tidak merasa demikian, hanya di dalam hati ia ingin sekali mencoba kelihaian perkumpulan Kim liong-pai dengan pedangnya yang bernama Ang coa-kiam itu.
Pada saat itu, dari luar mendatangi dua orang laki-laki yang seorang sudah tua akan tetapi bertubuh tinggi besar, bermuka penuh cambang bauk dan sikapnya kasar sekali, pakaiannya menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli silat, dan di pinggangnya tergantung sepasang golok yang lebar dan berat. Orang kedua masih muda, berusia paling banyak dua puluh lima tanun, juga bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam.
"Cihu, Kami datang?" seru orang muda itu sambil tertawa menyeringai dan matanya tajam mengerling ke arah Eng Eng,
"Ayah! Adik Houw!" Lo Kim Bwe yang masih duduk di situ segera melompat berdiri dan dengan wajah girang menyambut kedatangan kedua orang ini. Ouw Tang Sin juga cepat berdiri menyambut dengan muka berseri-seri, sedangkan Ting piauwsu juga berdiri dan memberi hormat kepada orang tua yang baru datang.
Orang tua tinggi besar yang bersikap gagah dan galak seperti Thio Hui tokoh perkasa di jaman Sam-kok ini bukan lain adalah ayah dari nyonya Ouw Tang Sin yang bernama Lo Beng Tat. Adapun pemuda yang tinggi besar bermuka hitam itu adalah adik dari Lo Kim Bwe dan bernama Lo Houw, Kedua orang ini sengaja datang atas undangan Lo Kim Bwe guna membantu dan memperkuat kedudukan Ouw Tang Sin yang mengkhawatirkan datangnya gangguan dari Thian-te Sam-kui.
Ketika mereka berdua ini diperkenalkan kepada Eng Eng, Lo Houw memandang dengan sepasang mata yang lebar. Pandangan ini mengandung kekaguman dan juga kurang ajar sekali sehingga Eng Eng menjadi merah mukanya. Perasaan wanitanya membuatnya merasa malu dan jengah, ia tidak berani menentang pandangan mata orang yang kurang ajar ini.
"Nona Suma Eng, sungguh aku merasa beruntung dan girang sekali mendapat kesempatan bertemu dan berkenalan dengan kau." kata Lo Houw yang pemberani dan sudah biasa menghadapi wanita ini, kemudian ia berpaling kepada Ouw Tang Sin dan bertanya,
"Cihu (kakak ipar). mengapa kau tidak dulu- dulu memberi kabar bahwa ada nona Suma Eng di rumahmu? Kau harus menceritakan padaku bagaimana nona itu bisa berada di sini. Siapakah ia dan darimana datangnya dan untuk berapa lama ia tinggal di sini?"
Ting Kwan Ek mengerutkan keningnya dan hatinya mendongkol sekali. Diam-diam ia takut kalau Eng Eng menjadi marah, akan tetapi ketika ia mengerling ke arah nona itu, ia melihat Eng Eng menahan senyum dan gadis ini tanpa berkata sesuatu apapun lalu pergi dari situ, kembali ke kamar yang berada dekat kamar Ting hujin.
Eng Eng merasa mendongkol sekali, akan tetapi melihat muka kedua orang piauwsu yang menjadi tuan rumah, ia dapat menekan kemarahannya. Kalau tidak melihat muka kedua orang tuan rumah, tentu ia sudah memberi hajaran kepada laki-laki kasar dan kurang ajar itu. Setelah mendengar keterangan dan pelajaran tentang sopan santun, Eng Eng dapat merasa bahwa orang tinggi besar bermuka hitam memang kurang ajar dan tidak sopan.
Melihat muka Eng Eng yang menjadi merah dan matanya menyinarkan kemarahan, Ting hujin lalu bertanya,
"Eh, adik Eng, kau kenapakah? Tidak seperti biasa, kegembiraan yang biasa lenyap sama sekali dari wajahmu, terganti oleh cahaya kemarahan. Ada terjadi apakah gerangan?"
Di antara serumah itu hanya nyonya Ting yang ramah tamah dan manis budi, ini saja yang membuat Eng Eng merasa suka tinggal di rumah itu. Ia telah menganggap nyonya muda ini seperti kakaknya sendiri, dan tidak pernah merahasiakan perasaannya Nyonya Ting juga merasa amat sayang dan kasihan kepada nona yang bernasib malang yang sama sekali masih hijau dan gelap akan keadaan kehidupan dunia ramai.
"Cici, kalau kau tidak berada lagi di dalam rumah ini, aku sebetulnya sudah tidak suka lagi tinggal di sini. Hanya kau seorang yang kupercaya dan kusayangi, dan hanya Ting twako yang kuhormati karena iapun menghormati kepadaku. Akan tetapi yang lain-lain....... dan terutama sekali dua orang yang baru datang itu! Yang muda sungguh mempunyai mata kurang ajar sekali."
"Hush, jangan keras-keras, adik Eng! Mereka itu adalah keluarga dari Kim Bwe! Mereka itu datang atas undangan nyonya Ouw untuk memperkuat kedudukan kita dan kepandaian mereka cukup tinggi. Yang tua adalah ayah dari Kim Bwe bernama Lo Beng Tat, sedangkan yang muda bernama Lo Houw adik dari Kim Bwe."
"Perduli apa!" Eng Eng mencela.
"Siapapun juga adanya orang itu, tidak patut ia memandangku seperti orang kelaparan!"
Nyonya Ting tersenyum geli.
"Salahmu sendiri adik Eng mengapa engkau mempunyai wajah demikian cantik jelita dan tubuhmu demikian molek dan ramping?"
Eng Eng memandang kepada nyonya Ting sambil cemberut.
"Cici, apakah engkau juga hendak menggodaku?"
Nyonya muda itu tertawa,"Sudahlah, adik Eng." Ia menghibur,
"bersikaplah sabar, Kalau dia tidak melakukan atau mengeluarkan ucapan yang menghina, perlu apa kau harus marah-marah? Anggap saja ia seperti patung, habis perkara! Mereka belum mendengar tentang kelihaianmu, maka mereka berani bersikap kurang ajar."
Akan tetapi, pada waktu itu, di luar terjadi pembicaraan yang amat menarik perhatian, Ting Kwan Ek dan Ouw Tang Sin menceritakan kepada kedua orang tamu itu bahwa Eng Eng adalah seorang dara perkasa yang berkepandaian tinggi dan yang mereka harapkan untuk dapat menghadapi Thian-te Sam kui.
"Ah, cihu, jangan kau main-main!" kata Lo Houw sambil tersenyum menyeringai.
"Thian te Sam-kui adalah tokoh-tokoh kang- ouw yang amat dahsyat dan menakutkan. Terus terang saja, ketika aku mendengar bahwa kau bermusuhan dengan Thian-te Sam-kui, aku merasa terkejut dan seram. Kalau saja musuh itu orang-orang lain, aku tidak takut menghadapinya. Akan tetapi Thian te Sam-kui.....? hm, sungguh harus kunyatakan bahwa Ting-piauwsu kurang hati-hati sehingga bisa bentrok, dengan mereka!"
Ting piauwsu merasa mendongkol sekali, akan tetapi Lo Beng Tat yang sudah tua dan berpengalaman, lalu mencela puteranya.
"Tak perlu hal ini dibicarakan lagi. Yang terpenting sekarang kita harus dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi mereka itu. Kalau nona tadi memang berkepandaian tinggi dan mau membantu, alangkah baiknya, karena makin banyak kawan makin baik. Kalau kiranya perlu dapat juga aku mencari kawan yang akan membantu kita."
"Kurasa dengan kita berdua dan dibantu oleh cihu dan Ting piauwsu, kita akan cukup menghadapi mereka!" kata Lo Houw yang selalu menyombongkan kepandaiannya sendiri.
"Adapun nona itu.. hm, dia memang cantik jelita seperti bidadari dan nampak gagah, akan tetapi kepandaiannya.? Aku masih meragukannya!"
"Houw te (adik Houw), jangan kau memandang rendah." kata Ouw piauwsu,
"aku sendiri sudah mencoba kepandaiannya dan ternyata golokku tidak berdaya terhadap dia!"
Kata-kata ini mencengangkan Lo Beng Tat dan Lo Houw karena mereka ini sudah tahu akan kepandaian Ouw Tang Sin. Agaknya mereka tidak dapat mempercayai ucapan ini. Akan tetapi belum ada orang membuka mulut, tiba- tiba Kim Bwe berkata dengan muka berseri,
"Aku sudah memikirkan hal ini berhari-hari dan sekarang setelah adik Houw datang, makin kuatlah kehendak hatiku ini. Ayah, bagaimana kalau adik Houw dijodohkan dengan nona Suma Eng? Selain ia cantik dan gagah sehingga cocok untuk menjadi isteri adik Houw, juga ikatan ini akan membuat dia lebih bersungguh-sungguh membela kita ."
Serta merta Lo Houw menyatakan setujunya. Ia tertawa lalu berdiri dan menjura kepada kakak perempuannya dengan sikap lucu yang dibuat-buat sambil berkata.