Ceng Ceng manggut, tetapi ia berdiam.
"Kenapa kau hendak tolongi dia?" sesaat kemudian ia tanya.
"Aku lihat Ciau Kong Lee itu seorang baik," jawab Sin Cie. "Dia telah dibikin celaka oleh sahabatnya yang busuk. Apa mungkin kita melihat kematian dan tak menolongnya? Apalagi dia adalah sahabatnya ayahmu."
"Ah, aku menyangka kau melihat gadisnya cantik, jadi kau hendak menolong dia. " Kata si nona.
"Adik Ceng, kau pandang aku orang macam apa?" Sin Cie gusar. "Oh, oh, jangan gusar!" Ceng Ceng tertawa. "Kenapa dan kau suruh gadis orang datang kehotel kita untuk cari padamu?"
Mau atau tidak, si anak muda turut tertawa.
"Matamu picik, tak tahu aku bagaimana harus mengobatinya," katanya.
"Hayo sudah, mari turut aku!"
"Hm!" si nona bersuara tetapi kembali dia tertawa. Ia lari keras kearah barat, untuk menyusul.
Sin Cie tahu tenaganya nona itu, ia sengaja lari sedang- sedang saja, untuk bikin mereka lari berendeng.
Mereka berlari-lari tidak seberapa lama, sampailah mereka dirumah Bin Cu Hoa.
Sin Cie tarik tangan si nona, untuk ajak dia lompati tembok pekarangan, buat masuk kesebelah dalam. Dipojok tembok, mereka umpetkan diri.
"Didalam rumah ini banyak sekali orang-orang liehay, asal mereka dapat pergoki kita, gagallah usaha kita," Sin Cie bisiki kawannya.
"Jikalau kau hendak bantui nona cantik itu, aku tidak ijinkan!" kata Ceng Ceng tapi sambil tertawa. "Sebaliknya, aku nanti mengacau, aku nanti berteriak-teriak, berkaok- kaok!"
Sin Cie tertawa, dia tak memperdulikannya.
Keduanya mendekam sekian lama, apabila mereka dapati suasana tetap sunyi, mereka bertindak maju dengan pelahan-lahan. Kebetulan sekali untuk mereka, satu bujang lelaki melintas sendirian, dengan tiba-tiba saja dia itu dibekuk seraya diancam untuk tutup mulut. "Dimana kamarnya tetamu-tetamu she Su?" Sin Cie tanya.
Bujang itu ketakutan, ia berikan keterangannya.
"Baik, kau tunggu disini," Sin Cie bilang. Ia totok urat gagu orang itu habis dia melemparkannya ketempat pepohonan yang lebat.
Dengan hati-hati, mereka cari kamarnya dua saudara Su. Langsung mereka menuju ke jendela. Dengan pakai tenaganya tetapi pun dengan hati-hati, Sin Cie bongkar daun jendela. Ia bisa bekerja tanpa menerbitkan suara, setelah mana, ia loncat masuk.
Ceng Ceng pun turut masuk.
Peng Kong dan Peng Bun liehay, mereka sedang tidur tapi mereka segera mendusi. Celakanya untuk mereka, mereka kalah sebat, Baru mereka hendak menegur, jari tangannya Sin Cie sudah menotok jalan darah mereka sehingga mereka jadi mati daya. Begitulah mereka cuma bisa lihat, api dinyalakan, orang merogo kebawah bantal mereka.
Sin Cie rasai tangannya membentur benda dingin, ia tahu, itulah senjata tajam, maka itu, berdua mereka lantas geledah laci dan lemari. Mereka dapati beberapa potong pakaian dan uang, juga senjata rahasia. Masih mereka mencari terus tatkala mereka dengar tindakan kaki diluar kamar. Maka lekas-lekas Sin Cie tiup padam apinya.
Didalam gelap mereka mencari terus, malah Sin Cie geledah saku bajunya orang itu. Untuk kegirangannya, ia dapati segumpal kertas. Ia ambil semua itu, yang ia masukkan kedalam sakunya.
"Sudah dapat!" ia bisiki Ceng Ceng. "Mari kita pergi," mengajak si nona. "Rupanya diluar ada orang."
"Tunggu sebentar," sahut Sin Cie, yang lantas meraba ke meja dengan jeriji tangannya yang kanan.
Nyatalah, dengan jeriji tangan, ia menulis enam huruf besar yang berarti: "Hormat dari adikmu Ciau Kong Lee". Ia menekan keras, enam huruf itu melesak seperti pahatan pada batu!
Dengan loncati pula jendela, dua kawan ini berlalu dari dalam kamarnya dua saudara Su itu. Cuaca diluar ada gelap seperti tadinya.
Sekonyong-konyong ada angin berkesiur, lalu sebatang pedang menyambar kearah si pemuda. Sin Cie tidak lompat, tanpa kelit ia ulur tangan kirinya, untuk memapaki, cekal lengannya si penyerang. Tapi penyerang itu sebat sekali, ujung pedangnya mendahului mengenai ulu hati. Sin Cie tidak takut, karena ia pakai baju kaos mustika Bhok Siang Toojin, ia tidak terluka sedikit juga.
Penjerang itu terperanjat apabila ia rasai ujung pedangnya mengenai barang yang empuk, ia pun kaget akan rasai lengannya tercengkeram lima jari tangan yang kuat bagaikan sepit besi, sedang dilain pihak, satu tamparan menyambar kearah mukanya. Dia lekas berontak sambil berkelit, tapi pedangnya sudah kena terampas. Dalam kagetnya, dia loncat mundur, terus dia kabur.
Penyerang gelap ini ada Twie-hong-kiam Ban Hong. Dia telah dapat tugas dari Bin Cu Hoa, untuk intai Ciau Kong Lee, ia pergi seorang diri. Tapi Hui Thian Mo-lie Sun Tiong Kun juga pergi dengan diam-diam, untuk turut mengintai, maka itu, mereka jadi bekerja sama-sama. Mereka sedang memasang mata ketika tanpa ketahuan lagi, pedangnya nona Sun disambar Sin Cie. Mereka kaget, meski mereka
483 tahu, pihak pencuri itu tidak bermaksud jahat. Coba mereka dibokong, tentu celakalah mereka. Karena ini, keduanya lantas kabur pulang.
Ban Hong mendongkol bukan main, ia malu sekali, sebab Baru saja keluar, Baru melakukan pengintaian, orang telah rubuhkan dia. Dan Sun Tiong Kun lebih-lebih mendongkolnya, nona ini gusar sekali, sebab pedangnya hilang.
Twie-hong-kiam tidak dapat tidur, maka itu, ia pergi keluar kamarnya, untuk mencari angin, guna legakan pikiran. Tiba-tiba ia lihat api berkelebat didalam kamarnya dua saudara Su. Ia kenali, api apa adanya itu. Ia lantas menghampirkan, ia sembunyi diluar jendela, untuk serang dengan mendadakan pada orang didalam itu sebentar selagi dia keluar. Ia percaya, dengan satu gebrak saja, ia bakal berhasil. Tapi ia gagal, malah ia dapat malu, karena pedangnya pun kena dirampas.
Didalam partai Tiam Chong Pay, Ban Hong adalah yang paling liehay untuk ilmu pedangnya Twie-hong-kiam yang semuanya terdiri dari enam puluh empat jurus, hingga di Selatan, ia sangat dimalui. Didalam ilmu silat, malah dia melebihi toasuhengnya Liong Tit yang menjadi ciang-bun- jin, ahliwaris partainya. Sekarang ia menghadapi orang yang tidak mempan senjata, ia sampai mau menduga apa ia sedang layani hantu.
Tidak ayal lagi, ia bertepuk tangan keras-keras untuk memberi tanda kepada kawan-kawannya.
Sin Cei dan Ceng Ceng tinggalkan si penyerang yang kabur setelah anak muda itu berhasil selamatkan diri dari penyerangan gelap, mereka loncati tembok untuk menyingkir, tapi mereka segera dengar tepukan tangan riuh di empat penjuru, tandanya orang-orang kaumnya Bin Cu Hoa sudah bergerak.
"Mari kita sembunyi," Sin Cie ajak kawannya. Ia tidak mau berlaku semberono ditempat dimana ada berkumpul banyak orang liehay itu. Mereka lantas mendekam dikaki tembok.
Diatas genteng segeralah terdengar suara kaki dari orang- orang yang mundar-mandir.
"Eh, apakah ini?" kata Ceng Ceng kepada kawannya. "Coba kau raba!"
Ia pegang tangannya Sin Cie, untuk dibawa ketempat yang ia suruhnya meraba.
Sin Cie raba kaki tembok, yang sudah penuh lumut. Ia kena pegang batu yang berlobang disana-sini, seperti ukiran. Ia mengusut-usut dengan ikuti jalannya ukiran itu.
"Inilah huruf Tee," pikirnya. Ia meraba lebih jauh, ia meng-usut-usut pula. Ia menemui huruf "Su". Maka ia meraba terus. Sebagai huruf ketiga, ia dapati huruf "Kong", lalu huruf keempat huruf "Kok". Masih ia meraba terus, hingga ia menemui huruf terakhir, jaitu huruf "Gui".
Ceng Ceng juga turut meraba-raba terus.
Sebagai kesudahan, bukan main girangnya Sin Cie. Untuk banyak hari, mereka sudah mencari istana Gui Kok- kong, hasilnya sia-sia belaka, siapa tahu sekarang, diluar sangkaan, dengan tiba-tiba mereka menemuinya. Inilah yang dibilang : "Orang mencari sampai sepatu besi yang dipakainya rusak, tak nampak, sekalinya ketemu, begini sedetik saja." Sebab apabila digabung, kelima huruf itu berbunyi " Gui Kok Kong Su Tee", artinya "Istana Gui Kok-kong hadiah kaisar" Rupa-rupanya, setelah turun menurun banyak tahun, Gui Kok-kong pindah rumah, rumah yang lama telah dijualnya kepada orang lain, kemudian orang tak ingat lagi istana lama itu.
Selagi Sin Cie berdiam dengan kegirangan, ia rasai gatal atau geli pada pundaknya, hingga ia egos lehernya itu.
Itulah Ceng Ceng, yang saking girang, sampai lupa segala apa, dia bernapas dari hidungnya di pundak si pemuda sekali.
"Hus, jangan nakal!" Sin Cie bentak, tapi dengan pelahan. 'Lihat, musuh datang!"
Benarlah, tiga bajangan lompat lewati tembok, masuk kedalam rumahnya si orang she Bin itu.
"Mari!" pemuda ini mengajak. 'Lekas!"
Menggunai kesempatan tidak ada orang datang kearah mereka, mereka keluar dari tempat sembunyi, mereka lari dengan keras, hingga dilain saat sampailah mereka dihotel mereka dengan tidak kurang suatu apa.
Tatkala itu sudah jam empat, semua penumpang hotel lainnya sudah pada tidur, seluruh hotel jadi sunyi-tenteram.
Ceng Ceng lantas nyalakan lilin, dan Sin Cie rogo keluar surat-surat yang ia rampas dari sakunya dua saudara Su. Paling dulu ia jumput dua sampul, yang sudah kuning menandakan tuanya, suratnya dikeluarkan satu persatu. Untuk kegirangan mereka, benarlah itu ada surat-surat keterangannya Thio Ceecu dan Khu Tootay, ialah surat- surat yang membuat Ciau Kong Lee jadi putus asa dan nekat.
Ceng Ceng tertawa. "Sekali ini kau berhasil menolong jiwa ayahnya," katanya," entah dengan apa dia nanti balas budimu ini. "
"Dia! Dia siapa?" tanya Sin Cie heran.
Masih Ceng Ceng tertawa, malah tertawa geli.
"Siapa lagi, tentunya nona puterinya Ciau Kong Lee!" sahutnya. Tak mau Sin Cie meladeni orang yang bersifat ke- kanak-kanakan itu. Ia gunai ketikanya untuk membaca dua surat keterangan itu.
"Apa yang Ciau Kong Lee katakan, benar semuanya." Kata dia habis membaca. "Coba dia mendusta sedikit saja, tidak nanti aku sudi bantu dia, supaya aku tidak usah bentrok dengan banyak orang kangouw apapula dari angkatan tertua, apalagi diantara mereka termasuk murid- muridnya jie suheng."
Ceng Ceng tertawa pula.
"Dan itu yang dipanggil Hu Thian Mo-lie sungguh cantik!" menggoda ia.
"Dia itu telengas," Sin Cie bilang. "Dia berbuat tak berkepantasan! Kenapa tidak keru-keruan dia tabas kutung lengan orang?" dia berdiam sebentar. "Apabila aku tidak kuatir jie-suheng berkecil hati, pasti aku sudah ajar adat padanya." Kembali ia berdiam, lalu ia menambahkan : "Sebabnya aku minta nona Ciau datang kemari adalah untuk sembunyikan sepak-terjang kita ini. Apabila diantara kita saudara-saudara seperguruan terbit sengketa, itu sungguh tidak bagus terhadap suhu yang telah rawat dan didik aku."
Sekarang Sin Cie periksa surat-surat yang lainnya, tiba- tiba saja ia jadi sangat gusar, air mukanya suram.