Bwee Kiam Hoo berkata pula :
"Dalam urusan sebagai ini, guruku tentu tak berkeinginan untuk mencampur tahu, tetapi aku sendiri adalah lain, maka itu, aku telah undang dua orang lain untuk bantu kau, Bin Jieko. Ini adalah sam-suteeku Lau Pwee Seng dan ini ngo-sumoay Sun Tiong Kun."
"Sungguh aku beruntung," mengucap Bin Cu Hoa. "Memang sudah sejak lama aku dengar namanya Sin-kun Thaypo dan Sun Liehiap!"
Orang she Bin ini tidak berani sebut gelarannya Sun Tiong Kun, maka ia memanggil "liehiap" (wanita gagah). Kaum kangouw juluki si nona "Hui Thian Mo-lie" atau "Hantu perempuan yang terbang kelangit", atau ringkasnya, Hantu Perempuan. Sebab Sun Tiong Kun terlalu disayang gurunya, dan karena mengandali bugeenya yang liehay, ia jadi galak dan telengas juga, hingga umumnya orang jadi jeri terhadapnya.
Kemudian Bin Cu Hoa perkenalkan Sip Lek Taysu, Tiang Pek Sam Eng, Pek-hay Tiang Keng dan Twie-hong kiam Ban Hong, juga yang lain-lain, kepada tiga tetamu yang terbelakang ini.
Perjamuan dilanjuti pula, sampai satu muridnya Bin Cu Hoa hampirkan gurunya untuk serahkan dua lembar ang- tiap lebar, membaca surat mana, mulanya orang she Bin itu berubah wajahnya, lalu kemudian ia tertawa kering. "Ciau Lojie benar-benar liehay!" berkata dia dengan nyaring. "Pihak kami belum sempat cari dia, dia sudah mendahului datang kepada kami. Bwee toako, Baru kamu sampai, dia sudah lantas dapat tahu?"
Ia serahkan angtiap itu kepada orang she Bwee ini.
Surat yang satu bertuliskan kata-kata: "Hormatnya adik yang muda, Ciau Kong Lee," sedang yang kedua memuat nama-namanya Bin Cu Hoa, Sip Lek Taysu, Tiang Pek Sam Eng dan yang lain-lain, tak terkecuali nama Bwee Kiam Hoo bertiga. Mereka semua diundang untuk besok sore berkunjung kerumahnya orang she Ciau itu, untuk hadirkan perjamuan.
"Sebagai tee-tau-Coa, Ciau Lo-jie benar-benar liehay," kata orang she Bwee ini. "kita orang tak dapat menjadi kiang-liong akan tetapi boleh juga kita mencoba-coba melawannya!"
"Tee-tau-Coa" berarti "ular setempat", yang dimaksudkan sebagai tuan rumah, dan "kiang-liong" adalah "naga yang tangguh", yang sebagai tetamu endonan. Tegasnya, walaupun kosen, tak dapat layani ular setempat....
Kemudian Bin Cu Hoa kata pada muridnya : Pergi kau undang masuk pada pembawa surat undangan ini!"
Murid yang diperintah itu lantas pergi keluar.
Semua orang menunda cawan arak mereka, semua mata diarahkan kepintu, darimana si murid tadi kembali dengan diikuti seorang laki-laki, berumur kurang lebih tiga puluh tahun, bajunya baju panjang, tindakannya sabar, romannya tenang, sesampai didepan Bin Cu Hoa, ia itu memberi hormat sambil menjura, terus ia berkata : "Guruku dengar kabar para cianpwee telah datang ke Kimleng ini, ia undang para cianpwee untuk besuk datang, ber-omong-omong dengannya, maka teecu ini dikirim untuk mengundangnya."
Bwee Kiam Hoo tertawa dingin.
"Ciau Lo-jie mengadakan pesta Hong-bun!" katanya. Lalu ia menoleh pada pembawa surat undangan itu dan kata : "Eh, apa namamu?"
Meski juga ia diperlakukan tak dengan hormat, utusan itu tetap berlaku sopan santun.
"Teecu bernama Lo Lip Jie," sahutnya.
Bwee Kiam Hoo membentak dengan pertanyaannya pula: "Ciau Lojie undang kita, dia mengatur tipu daya keji macam apa? Apakah kau ketahui itu?"
Tetap dengan hormat, Lip Jie menyahuti : "Guruku dengar para Cianpwee telah datang dikota Lamkhia, ia sangat kagum dan menghargainya, ingin dia bertemu dengan cianpwee semua, dari itu ia tidak kandung maksud lainnya."
"Hm, bagus benar kata-katamu!" kata pula Kiam Hoo. "Aku tanya kau: Ketika dulu Ciau Kong Lee aniaya kandanya saudara Bin Cu Hoa ini, kau turut saksikan sendiri kejadian itu atau tidak?"
"Itulah urusan sangat panjang, maka guruku undang para cianpwee," sahut Lip Jie. "Adalah maksud guruku, kesatu untuk memberi penjelasan kepada para cianpwee, dan kedua, ingin dia menghaturkan maaf kepada Bin Jie- ya."
"Bagus betul!" berseru Kiam Hoo. "Orang telah dibunuh mati, apa itu dapat dihabiskan dengan penghaturan maaf saja?" "Pada waktu itu, guruku telah didesak sampai ia habis daya, karenanya ia kesalahan turun tangan," kata pula Lip Jie. "Sejak itu hari, sampai sekarang ini guruku masih tetap menyesal. "
"Kalau begitu, pada waktu kejadian kau menghadapinya sendiri!" berteriak Hui Thian Mo-lie Sun Tiong Kun.
"Aku tidak saksikan itu sendiri," jawab Lip Jie, "akan tetapi guruku ada seorang baik, tidak nanti dia membunuh secara sembarangan. "
"Celaka, kau masih membantah!" berseru pula si Hantu Wanita, yang tubuhnya mendadakan mencelat dari kursinya, kearah pembawa surat itu, selagi dia berlompat, pedangnya berkelebat, lalu dengan tangan kirinya, dia tekan dadanya utusan ini.
Lo Lip Jie terkejut, dengan tangan kanan, ia tolak tangan kiri si nona. Ia gunai tipu gerakan "Tiat bun su" atau "Palang pintu besi."
"Celaka, tangan kanannya itu bakal kutung!" kata Sin Cie kepada Ceng Ceng. Ia terkejut melihat sikapnya Sun Tiong Kun dan daya pembelaan si utusan.
"Apa kau bilang?" tanya Ceng Ceng.
Belum sempat Sin Cie menyahuti si nona, atau Lo Lip Jie sudah perdengarkan seruan hebat, bahu kanannya telah terbacok sapat.
Semua hadirin jadi kaget, semua berbangkit.
Lo Lip Jie berdiri dengan muka pucat, akan tetapi ia tidak rubuh, dengan tangan kiri ia beset ujung bajunya, untuk dipakai membalut lukanya, kemudian ia membungkuk, akan jumput lengannya yang kutung itu, buat dibawa pergi dengan tindakannya yang lebar. Para hadirin tercengang melihat orang sedemikian tangguh, hingga mereka berdiam seraya saling mengawasi saja.
Sun Tiong Kun susuti darah pada pedangnya, dengan tenang ia kembali ke kursinya, untuk duduk dengan anteng, akan minum araknya seperti biasa saja.
"Orang ini bandel dan bertingkah, gurunya tentu galak dan jahat melebihkan dia," berkata Kiam Hoo. "Bagaimana besok, kita hadirkan pesta perjamuannya atau tidak?"
"Pasti kita mesti pergi!" kata Ban Hong. "Jikalau kita tidak pergi, tentu dia akan pandang sebelah mata pada kita!"
"Baiklah malam ini kita kirim orang untuk membuat penyelidikan," usulkan Pek-hay Tiang Keng The Kie In si Ikan Lodan. "Kita cari tahu secara rahasia, dia sebenarnya undang siapa-siapa untuk bantui pihak dan besok dia telah atur tipu-daya atau tidak..."
"The tocu benar!" Bin Cu Hoa puji tetamunya itu., ketua umum kawanan bajak. "Turut dugaaanku, tentunya Ciau Kong Lee telah mengatur persiapan kuat. Maka dari pihak kita, saudara-saudara siapa yang sudi bercape-lelah akan intai musuh kita itu?"
"Siautee suka pergi!" mengatakan Twie-hong-kiam Ban Hong si Pedang Angin.
Bin Cu Hoa berbangkit, ia isikan satu cawan arak, yang ia bawa kepada tetamunya itu.
"Silakan minum, toako!" ia memberi selamat.
Ban Hong menyambuti dan meminumnya kering sekali cegluk. Sampai disitu, pembicaraan telah selesai, maka setelah perjamuan dilanjuti lagi sekian lama, orang semua bubaran.
Sin Cie kasi tanda gerakan tangan kepada Ceng Ceng, terus ia ikuti Ban Hong dengan si nona mengiringi ia. Perbuatan mereka tak diketahui oleh orang Tiam Chong Pay itu.
Itu waktu sudah kira-kira jam dua. Ban Hong pulang kehotelnya untuk salin pakaian, lantas ia keluar pula, menuju ketimur. Sin Cie berdua terus menguntit hingga mereka dapati orang she Ban itu menikung dan menembusi tujuh atau delapan pengkolan jalan besar, kemudian, setelah mengitari sebuah rumah besar, dia lompat naik untuk memasuki pekarangan.
Sin Cie saksikan gerakan pesat orang itu.
"Tidak kecewa dia dijuluki Twie-hong-kiam," pikirnya. Mereka juga berlompat, untuk menguntit terus.
Dari sebuah kamar tampak sinar terang. Kamar itu dilewati oleh Ban Hong. Tapi Sin Cie ingin tahu, berdua Ceng Ceng, ia hampirkan jendela, dari sela-sela, ia mengintip kedalam.
Didalam kamar itu kedapatan tiga orang yang sedang duduk, yang duduk madap keluar ada seorang usia lima- puluh lebih, sepasang alisnya mengkerut, wajahnya berduka.
"Lip Jie bagaimana?" tanya dia setelah menghela napas. "Lo Suko telah pingsan beberapa kali, tapi sekarang
darahnya sudah berhenti keluar," sahut orang yang duduk
dibawahannya. Sin Cie lantas menduga, orang tua itu tentulah Ciau Kong Lee bersama dua muridnya. Mereka pun lagi omong hal lukanya Lo Lip Jie, si utusan pembawa surat.
Terdengar orang yang ketiga berkata: "Suhu, baik kita minta beberapa saudara untuk mengadakan perondaan disekitar rumah kita ini, aku kuatir musuh nanti kirim orang untuk intai kita..."
Orang tua itu menghela napas pula.
"Dirondai atau tidak, sama saja," jawabnya. "Sekarang ini aku sudah peserah kepada takdir. Besok pagi kamu antar subo, sumoay serta suteemu yang kecil kerumah keluarga Gou di Ou-ciu."
"Suhu, harap kau tidak putus asa!" berkata murid itu tanpa ia mengiakan titah gurunya itu. "Kita didalam kota Lamkhia ini toh mempunyai lebih daripada dua ribu saudara, jikalau kita lakukan perlawanan, apa musuh bisa berbuat terhadap kita?"
Masih orang tua itu menghela napas.
"Lawan kita telah undang orang-orang kangouw yang sangat kenamaan," katanya. "Percuma-cuma saja , kita akan buang jiwa jikalau kita lawan keras kepada mereka itu. Maka, kalau nanti aku terbinasa, aku minta sukalah kamu rawat baik-baik pada subu, sumoay dan suteemu itu. Mereka semua mengandal atas tunjangan kamu beramai..."
Lantas orang tua itu mengucurkan air mata.
"Suhu, jangan suhu mengucapkan begitu," kata murid yang lainnya. "Ilmu silat suhu tinggi, hingga suhu bis amenjagoi di kanglam, umpama kata suhu tak dapat memenangkan mereka, toh tidak nanti suhu bakal kena dikalahkan. Kita terdiri dari dua puluh lima suheng-tee, kecuali Lo Suko, masih ada dua puluh empat, mustahil kita
459 tidak sanggup lawan mereka itu? Kenapa suhu tidak mau undang sahabat-sahabat suhu dipelbagai tempat, supaya mereka datang membantu?"
"Dulu dimasa muda, aku pun berdarah panas sebagai kamu," kata guru itu. "kesudahannya, seperti kau lihat, onar menjadi begini rupa. Sekarang ini aku terserah, aku hendak kasi diriku dibunuh mereka, untuk membayar hutang jiwa, dengan begitu urusan menjadi beres. "
Terharu Sin Cie dan Ceng Ceng dengar pembicaraan guru dan murid-muridnya itu.