Ceng Ceng melayaninya seperti acuh tak acuh.
Sudah lebih dari sepuluh hari Ceng Ceng dan Sin Cie putar-kayun dikota Kimleng, luar dan dalam, maka itu, mereka ingat baik letaknya tempat. Sekarang Ceng Ceng, yang jalan didepan, menuju ke tempat yang makin lama makin sepi, Sin Cie segera bisa duga pikiran si nona.
"Ma Kongcu ini benar ceriwis tetapi kesalahannya tak demikian besar hingga ia harus menemukan kematiannya," pikir anak muda she Wan ini. "Suhu sering bilang padaku, siapa yakinkan ilmu silat, tak dapat ia membinasakan orang yang tak selayaknya binasa. Inilah pantangan untuk kita. Bagaimana aku dapat cegah si Ceng Ceng?"
Dengan tiba-tiba, pemuda ini hentikan tindakannya. "Saudara Ceng, mari kita pulang!" ajak ia.
Ceng Ceng menyambutnya sambil tertawa manis. "Pergi kau pulang sendiri," sahutnya.
Ma Kongcu girang bukan buatan.
"Benar, benar!" katanya nimbrung. "Pergi kau pulang sendiri!"
Kongcu ini demikian tertarik hatinya, ia tak dapat artikan ajakan "pulang" dari si anak muda. Bukankah mereka sedang menuju kepondokannya si anak muda (Ceng Ceng)? Kenapa sekarang anak muda lainnya mengajak pulang lagi?
Sin Cie menggeleng kepala, ia pun menghela napas.
"Dia lagi menghadapi saat mampusnya, dia masih belum menyadarinya..." pikirnya. Selama itu mereka telah sampai ditempat dimana terdapat hanya kuburan. Ma Kongcu mulai berat tindakannya karena mereka sudah jalan jauh. Tidak biasanya keponakan congtok itu jalan kaki demikian lama. Napasnya pun mulai sengal-sengal.
"Apa sudah dekat?" tanyanya.
"Sudah sampai!" sahut Ceng Ceng dengan suara nyaring, yang disusul sama tertawanya yang panjang.
Ma Kongcu tercengang, dia melengak. "Sudah sampai? Ini toh kuburan?" pikirnya.
Yo Keng Teng si gundal menjadi curiga, hatinya jadi tidak tenteram. Akan tetapi mereka berempat, dan dua pengiringnya itu - ia tahu - ada bertenaga, karenanya, dapat ia hiburkan diri juga.
"Apa yang mereka berdua, anak-anak sekolah, dapat perbuat?" pikirnya pula.
"Saudara, sudahlah!" katanya kemudian. "Sudah, tak usah kamu pulang lagi. Mari kita beramai pergi ke gedung kongcu kami, disana bisa kita duduk minum..."
Ceng Ceng tertawa dingin.
"Pergilah kamu pulang sendiri!" Sin Cie bilang maksudnya baik. "Baik kau jangan turut kami!"
Pemuda ini membuka jalan hidup.
Tapi Ma Kongcu berempat adalah bangsa gentong kosong, otak mereka tak dapat tangkap nasihat yang diberikan secara samar-samar itu. Malah si kongcu bawa aksinya.
"Saudara, aku sudah letih sekali," katanya, dengan tingkah dibikin-bikin. "Tolong, kau pegangi aku..." Kongcu ini berada didamping Ceng Ceng, ia bisa ulur tangannya kepundak nona kita, untuk menggelendotkan dirinya.
Se-konyong-konyong saja, satu cahaya putih berkelebat. Sin Cie mengeluh dalam hatinya, ingin ia mencegah,
akan tetapi kepalanya Ma Kongcu sudah mendahului jatuh
ketanah dan menggelinding, darah muncrat, membasahkan tubuhnya, yang lantas turut rubuh juga.
Keng Teng kaget hingga ia berdiri menjublak, demikian juga kedua pengikutnya.
Ceng Ceng lompat kepada gundal itu dan dua kawannya, satu kali dengan satu kali, ia babat batang leher mereka, sebelum mereka sempat sadar dari tercengangnya, hingga roh mereka pergi susul rohnya kongcu mereka.
Sin Cie tidak mencegah lagi, karena ia pikir, si kongcu sudah binasa, perlu mereka singkirkan saksi-saksi, untuk mencegah ancaman bencana dibelakang hari. Menghapus rumput mesti dicabut berikut akar-akarnya.
Ceng Ceng susuti pedangnya dibajunya Ma Kongcu, ia bersenyum saking puas hatinya.
"Orang-orang sebangsa mereka ini cukup diberi hajaran, perbuatan kau ini rada bengis," kata Sin Cie.
Tapi si nona mendelik.
"Tak dapat aku terima keceriwisannya!" jawabnya. "Siapa tahu, kejahatan apa mereka sudah perbuat dan apa lagi yang akan terjadi dibelakang hari?"
Sin Cie anggap si nona benar juga. Memang Ma Kongcu tentu siap sedia mencelakai orang apabila napsu-hatinya tak tercapai. Akan tetapi, ia toh kata : "Memang sesuatu telur busuk mesti dibunuh mati, tetapi aku ingin kau mengatasi diri sendiri. Bagaimana apabila keliru terbunuh satu orang baik-baik? Apakah itu tidak hebat? Bisa-bisa pergaulan kita putus..."
Ceng Ceng tertawa.
"Itulah tak nanti aku lakukan," katanya. "Mari bantui aku."
Dengan cara mendupak, Ceng Ceng singkirkan mayat Ma Kongcu kedalam gombolan, perbuatan diturut oleh Sin Cie, hingga keempat mayat tak kelihatan lagi.
"Mari kita pulang," si nona mengajak.
Tiba-tiba Sin Cie tarik ujung baju kawannya. "Sembunyi!" katanya.
Mereka lantas lompat, untuk sembunyi dibelakang sebuah kuburan.
Suara tindakan dari banyak kaki terdengar, datangnya dari arah timur dan barat. Cuaca yang gelap pun lantas menjadi terang, karena orang-orang yang datang - jumlahnya belasan - membawa tengloleng.
Selagi rombonga itu mendatangi dekat satu pada lain, yang di timur perdengarkan tepukan tangan tiga kali, lantas datang sambutan dua kali dari rombongan barat, disusul dengan dua kali lagi. Setelah ini, mereka bergabung menjadi satu, tanpa sepatah kata juga, mereka lantas duduk didepan sebuah kuburan.
Jarak diantara mereka ini dengan Sin Cie berdua kira- kira sepuluh tumbak, tak dapat Ceng Ceng dengar suara bicara, karena ia ingin mengetahuinya, ia bertindak, untuk mendekatinya.
"Tunggu dulu..." Sin Cie mencegah seraya ia tarik ujung baju si nona.
443 "Tunggu apa lagi?" nona itu tanya.
Sin Cie ulapkan tangannya, untuk cegah kawan itu bicara.
Ceng Ceng menanti, dengan tidak sabaran. Disaat seperti itu, detik-detik waktu dirasakan lambat jalannya.
Tapi segera datang sambaran angin, yang cukup besar, hingga daun-daun pohon dan rumput perdengarkan suara berisik.
Berbareng dengan suara berisik itu, Sin Cie sambar lengan si nona, untuk diajak berlompat, hingga dilain saat, mereka sudah berada dibelakang kuburan tanpa ada seorang juga dari antara rombongan itu yang dapat lihat mereka berdua. Disini mereka lantas mendekam, untuk pasang kuping sambil pasang mata.
Ceng Ceng sementara itu kagumi kawannya itu, terutama kegesitannya dan tenaganya. Ia pun merasai sopannya ini anak muda, sebab tangannya segera dilepaskan dari cekalannya dia itu.
"Dia benar ada satu kuncu, cuma dia rada kering..." pikir nona ini, yang sendirinya sangat bergembira.
Segera mereka dengar satu suara sedikit serak : "Saudara- saudara perlukan datang dari tempat yang jauh, untuk membantu kepadaku, aku sangat berterima kasih."
Satu suara lain jawab pengutaraan bersyukur itu : "Guruku sedang sakit, sudah kira-kira sebulan ia tak dapat bangkit dari pembaringan, dari itu dia telah minta Twie- hong-kiam Ban Hong Ban Susiok pimpin kami dua-belas muridnya datang kemari untuk disuruh-suruh oleh Bin Losu." "Gurumu itu, Liong Ya-cu, sudi bantu aku, aku sangat berterima kasih kepadanya." Kata pula si suara rada serak.