Naga Sakti Sungai Kuning Chapter 09

NIC

Tiba-tiba dia melihat serombongan orang yang alisnya berkerut. Sialan, pikirnya karena dari jauh dia sudah mengenal bahwa rombongan Hek-houw-pang. Dia mengenal gambar harimau hitam didada baju mereka. Dia tidak ingin terjadi keributan selagi dia mencurahkan seluruh perhatiannya pada kemunculan anak naga, maka diapun cepat memanggul buntalan dan papan, dibawanya ke perahu, melepaskan ikatan perahu dan tak lama kemudian diapun mendayung perahunya ke tengah, akan tetapi tentu saja diapun menjauhi daerah Pusaran Maut karena biarpun seorang yang berkepandaian tinggi, menghadapi pusaran maut di hanya akan menjadi permaian yang tidak ada artinya.

Liu Bhok Ki mencari tepi sungai yang sunyi untuk dipakai tempat melewatkan malam. Besok malam baru bulan purnama akan muncul dan kabarnya, anak naga itu akan muncul apabila bulan sedang purnama, tepat ditengah malam, dan kemunculannya pun hanya beberapa jam saja, lalu lenyap kembali kedalam pusaran maut.

Makin banyak orang berdatangan pada keesokan harinya. Liu Bhok Ki tetap menjauhkan diri dari keramaian. Dan jelas nampak betapa para tokoh kangouw yang brkeliaran di tempat itu, kini untuk mempersiapkan diri. Makin dekat malam bulan purnama itu, makin tegang suasananya. Menjelang senja, banyak sudah perahu-perahu berseliweran akan tetapi selalu menjauhi daerah pusaran maut. Menurut dongeng, anak naga itu akan keluar dai pusaran maut dan akan berenang keluar dari daerah pusaran air, bermain-main dan mencari ikan, setelah kenyang makan ikan, baru akan kembali ke Pusaran Maut.

Diantara perahu-perahu itu, terdapat dua buah perahu dan penumpang lain! Semua perahu ditumpangi oleh tokoh-tokoh kang-ouw, mereka yang sengaja mencoba peruntungan mereka, barangkali “Berjodoh” dengan anak naga yang diperebutkan. Setidaknya, mereka datang untuk melihat keadan dan bertemu dengan tokoh-tokoh besar dunia persilatan. Akan tetapi, dua buah perahu itu ditumpangi oleh dua keluarga dari dusun yang berlainan. Hanya kebetulan saja perahu mereka bertemu di dalam pelayaran dan mereka saling berkenalan lalu melanjutkan pelayaran bersama-sama dalam dua perahu agar lebih aman.

Sebuah diantaranya ditumpangi dari dusun Hon-cu. Si Kian berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun. Karena dia ditekan oleh pejabat daerahnya untuk ditarik sebagai pekerja paksa dan dikirim ke tempat pembangunan terusan sungai, dia nekat melarikan diri bersama isterinya dan seorang puteranya yang bernama Si Han Beng yang berusia dua belas tahun. Dia mendayung sendiri perahunya dibantu oleh Si Han Beng. Ayah dan anak ini tinggal di Lembah Sungai Juning, maka mereka tidak asing dengan pekerjaan mendayung perahu. Akan tetapi karena tempat tinggal mereka jauh dari Pusaran Maut, mereka tidak pernah mendengar tentang tempat berbahaya itu. dia terpaksa melarikan diri karena sudah mendengar betapa banyak orang dusun yang tadinya dibujuk untuk bekerja di terusan, tidak dapat kembali ke dusunnya, bahkan banyk yang kabarnya mati di tempat pekerjaan mereka.

Adapun keluarga kedua adalah keluarga Bu Hok Gi. Berbeda dengan si Kian, Bu Hok Gi seorang pejabat melarkan diri karena ditekan oleh atasannya, dipaksa untuk dapat mengumpulkan sedikitnya dua puluh lima orang laki-laki dari dusunnya dijadikan pekerja paksa dengan ancaman dia akan ditangkap dan dihukum kalau tidak berhasil mendapatkan jumlah itu. Bu Hok Gi teringat akan kakaknya seorang pejabat tinggi dan dia melarikan diri hendak mengunjungi kakaknya dan minta bantuan kakaknya agar dia terlepas dari ancaman atasannya.

Kedua keluarga ini, yang masih tinggal di satu daerah karena dusun mereka bertetangga, bertemu di dalam pelayaran ketika keduanya berhenti melewatkan malam di sebuah dusun tepi sungai. Setelah mereka salaing memperkenalkan diri dan tahu bahwa keduanya menjadi korban peraturan kerja paksa, kedua pihak merasa senasib dan mereka pun bersahabat. Keluarga Bu pergi melarikan diri karena takut atasan, sedangkan keluarga Si Takut kepada kepala dusun yang mengharuskan Si Kian menjadi pekerja paksa. Bu Hok Kian pergi bersama seorang isteri dan seorang anak perempuan yang bernama Bu Giok Cu dan berusia sepuluh tahun. Masih ada lagi seorang pembantu yang bertugas mengantar dan mendayung perahu.

Demikianlah, pada sore hari itu, mereka tiba di daerah yang amat ramai diluar pusaran Maut. Tentu saja kedua keluarga ini merasa heran melihat keramaian di tempat itu, betapa banyak perahu berseliweran. Karena tidak ingin mencampuri urusan orang lain, dan mereka dua keluarga sedang melarikan diri sehingga takut kalau-kalau dikenal orang walaupun tempat itu jauh sekali dari dusun mereka dan mereka sudah melakukan pelayaran selama setengah bulan lebih, maka kedua keluarga itu bersepakat untuk meminggirkan perahu mereka ke tempat yang agak jauh.

Hari sudah mulai gelap dan mereka ingin melewatkan malam di tepi sungai yang sepi. Juga perbekalan makan mereka sudah menipis dan mereka ingin mencari bekal makan tambahan dengan membeli di pedusunan tepi sungai.

Bu Hok Gi dan Si Kian segera meninggalkan keluarga mereka setelah perahu mereka didaratkan dan mereka memesan kepada keluarga masing-masing agar berkumpul di tepi sungai yang sunyi itu dan jangan pergi kemana-mana, menanti sampai mereka berdua kembali. Mereka berdua berlalu pergi ke perkampungan di tepi sungai sebelah bawah yang menjadi pusat keramaian orang-orang yang berkumpul di tempat itu.

Ketika mereka tiba di perkampungan itu, mereka melihat ramai-ramai diantara perahu-perahu yang hilir mudik di bagian pinggir. Karena tertarik, mereka pun ikut meonton dan berdiri diantara banyak orang di tepi sungai. Cuacana masih belum gelap benar sehingga mereka pun dapat melihat apa yang sedang terjadi.

Seorang laki-laki setengah tua yang berperahu seorang diri, nampak dikejutkan dan dikurung oleh empat buah perahu yang masing-masing ditumpangi empat orang! Dan jelas nampak betapa enam belas orang itu mengancam pria setengah tua yang perahunya kini terkurung di tengah-tengah.

Belasan orang itu sudah mengeluarkan senjata dan perahu mereka bergerak semakin dekat. Ada gambar harimau kecil di baju enam belas orang itu, di bagian dada. Mereka adalah orang-orang Hek-houw-pang yang datang ke tempat itu karena tertarik pula akan berita kemungkinan munculnya anak naga di permukaan Pusaran Maut.

Tak mereka sangka, sebelum tengah malam bulan purnama tiba, mereka melihat musuh besar mereka, Liu Bhok Ki, berada disitu, naik perahu seorang diri! Tentu saja begitu melihat musuh besar ini, belasan orang itu pun segera mengepung dengan perahu mereka.

Diwajah mereka terbayang penuh kegeraman dan kebencian, dan mereka merasa gembira karena kini mengharapkan akan dapat membunuh musuh besar itu. kalau di daratan, beberapa kali usaha Hek-houw-pang gagal dan jatuh korban banyak diantara para murid Hek-houw-pang. Akan tetapi kini mereka berada di permukaan sungai, diatas perahu dan mereka mengharapkan musuh besar itu tidak akan mampu meloloskan diri pembalasan mereka.

Tentu saja para tokoh kang-ouw, para tokoh dunia persilatan yang berada disitu tahu akan sikap orang-orang Hek-houw-pang itu yang mengepung laki-laki setengah tua yang tidak dikenal itu. mereka semua tertarik, merasa tegang dan maklum bahwa akan terjadi perkelahian yang menarik. Maka, perahu-perahu segera minggir dan nonton dari jauh, sedangkan orang-orang yang berada di daratan, segera berkumpul di tepi sungai untuk menonton pertunjukan yang amat menarik bagi mereka itu. tidak ada pertunjukan yang lebih menarik daripada perkelahian bagi orang-orang dunia persilatan itu.

Liu Bhok Ki tentu saja tahu bahwa perahunya dikepung oleh empat buah perahu orang-orang Hek-houw-pang, akan tetapi dia bersikap tenang saja, bahkan mendayung perahunya ke tengah, mendekati daerah pusaran maut. Makin dekat daerah itu, airpun mulai beriak dan terdengar suara angin besar. Dia mendayung dan duduk ditengah perahu, kelihatan tenang seolah-olah tidak ada bahaya mengancam. Buntalan besar berada diatas punggungnya.

Setelah empat buah perahu itu mengepung dalam jarak dekat, tiba-tiba Liu Bhok Ki bangkit berdiri diatas perahunya, berdiri tegak dan dayung itu masih berada ditangannya. Agaknya gerakan ini menjadi isyarat bagi enam belas anggota hek-houw-pang untuk bergerak menerjang setelah perahu mereka yang masih meluncur itu dekat benar dengan musuh. Akan tetapi, pada saat belasan orang itu melakukan gerakan menyerang dari empat penjuru, tiba-tiba tubuh Liu Bhok Ki meloncat keatas meninggalkan perahunya dan dia melompati kepala orang-orang dalam perahu di depannya dan urun di sebelah belakang mereka. Ternyata kedua kaki Liu Bhok Ki telah dipasangi papan yang ditalikan dengan betisnya, dan ketika tubuhnya turun keatas air, tubuh itu tidak tenggelam melainkan berdiri diartas kedua lembar papan it! Hal ini tidak nampak oleh para anggota Hek-houw-pang karena selain gerakan Liu Bhok Ki amat cepat juga cuaca sudah mulai gelap. Mereka terbelalak dan mulut mereka ternganga melihat betapa musuh besar itu dapat berjalan diatas air!

Akan tetapi, keheranan mereka berubah menjadi kekagetan dan kepanikan ketika tiba-tiba tubuh Liu Bhok Ki melayang diatas permukaan air kea rah mereka, dan pendekar ini sudah mengayun dayung di tangannya, menyerang mereka!

Repotlah belasan orang itu ketika diserang secara tiba-tiba. Mereka tidak mengira Liu Bhok Ki dapat “berjalan” diatas air dan serangan orang tinggi besar itu memang hebat sekali.

Biarpun anggota hek-houw-pang mencoba untuk menangkis dengan pedang dan golok mereka, tetap saja mereka terpukul atau terdorong dari atas perahu mereka, jatuh terlempar kedalam air! Dan karena sudah berada di daerah Pusaran air, maka tubuh mereka segera terseret oleh arus air yang dasyat.

Tubuh Liu Bhok Ki terus melayang dari perahu ke perahu dan dalam waktu sebentar saja, tubuh enam belas orang itu telah terpelanting semua ke dalam air dan mereka terbawa arus air kearah pusat pusaran. Enam belas orang itu mati- matian berenang untuk membebaskan diri dari arus, namun sia-sia belaka. Tubuh mereka terseret semakin cepat dan arus itu kuat sekali. Mereka berteriak-teriak, menjerit dan melolong, namun sia-sia belaka karena arus itu lebih kuat. Bukan hanya tubuh enam belas orang itu yang hanyut oleh arus air pusaran, juga empat perahu mereka mulai terseret!

Setelah melihat betapa semua lawannya terseret arus, Liu Bhok Ki meloncat kembali kedalam perahunya, menggunakan dayungnya dengan kekuatan sepenuhnya dan akhirnya dia berhasil membawa perahunya terbebas dari arus pusaran air dan menjauhkan diri dari tempat itu agar tidak menjadi pusat perhatian orang yang sejak tadi menonton dengan penuh kagum, bahkan mereka bertanya-tanya siapa adanya laki-laki setengah tua yang demikian lihaynya! Sukar dipercaya bahwa enam belas orang anggota Hek-houw-pang yang terkenal gagah perkasa itu akan menemui maut sedemikian cepatnya ketika mengeroyok orang itu!

Sementara itu, kalau orang-orang kang-ouw itu gembira nonton perkelahian tadi, Si Kian dan Bu Hok Gi saling pandang dengan muka pucat. Tak mereka sangka bahwa di tempat itu akan terjadi perkelahian dan pembunuhan demikian banyaknya orang, tanpa seorangpun menolong mereka yang hanyut tadi. Diam-diam mereka lalu meninggalkan pantai, menuju ke darat untuk mencari kebutuhan mereka akan bekal makanan.

Dua orang dari dusun yang masih berdebar-debar penuh ketegangan dari ketakutan itu, menuju ke sebuah kedai yang mulai memasang lampunya. Agak sunyi disitu karena sebagian besar orang masih berkumpul di tepi sungai.

Mereka tiba di depan kedai yang agaknya menjual makanan dan minuman itu, keduanya berhenti dan merasa ragu-ragu untuk masuk karena mereka melihat beberaapa orang berada di ruangan depan kedai itu.

Ada seorang wanita cantik duduk diatas bangku, mengipasi tubuhnya dengan sebuah kipas yang indah sekali. Wanita itu sukar ditaksir berapa usianya, mungkin sudah empat puluh tahun, akan tetapi mungkin pula baru tiga puluh tahun. Wajahnya cantik dan pesolek, pakaiannya indah pula, akan tetapi kecantikannya itu sama sekali tidak cerah, bahkan menyeramkan karena ada sikap yang dingin sekali, dingin dan angkuh. Hal ini nampak dari pandangan matanya yang acuh, dan mulutya tersenyum mengejek atau memandang rendah itu.

Dan pada saat itu, ia agaknya memandang rendah kepada lima orang laki-laki yang berdiri mengelilinginya dan agaknya lima orang laki-laki yang usianya antara tiga puluh sampai empat puluh tahun ini memang hendak iseng atau menggodanya! Lima orang laki-laki ini pun baru datang dari nonton perkelahian di sungai tadi.

“Ah, Enci ini datang bukan untuk nonton perkelahian,” kata orang kedua.

Posting Komentar