Suling Emas berkata dari balik saputangannya, suaranya perlahan dan halus, namun berpengaruh,
"Sepanjang pengetahuanku, Panglima-panglima Khitan adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi dan juga menjunjung keadilan dan kegagahan. Mengapa mengganggu pengemis-pengemis seperti kami? Apakah Khitan sudah melupakan persahabatan dan hendak mengganas di selatan?"
Muka kedua orang panglima Khitan itu menjadi merah karena teguran itu langsung menusuk hati mereka. Sejenak mereka saling pandang dengan sangsi karena mereka sendiri pun tidak tahu apakah benar orang berkuda yang menutupi mukanya itu adalah orang yang dicarinya. Namun, karena perintah dari atasan mereka menyatakan bahwa orang yang dicarinya itu menyamar sebagai pengemis dan berada di antara para pengemis Khong-sim Kai-pang, serta memiliki seekor kuda merah yang kurus kering, hilang keraguan mereka. Seorang di antara mereka berkata,
"Maafkan jika terpaksa kami menangkap dua manusia bandel ini, karena dimintai tolong menunjukkan tempat Taihiap mereka tidak mau malah memaki-maki. Taihiap, jauh-jauh kami datang sengaja untuk menemui Taihiap, menempuh perjalanan ribuan li, mengalami segala macam kesukaran dan rintangan. Sama sekali bukan maksud kami untuk mengganggu saudara-saudara kai-pang. Hanya dua orang manusia ini terlalu bandel tidak suka membantu."
"Di antara kalian dan aku tidak ada urusan apa-apa, tak pernah saling bertemu dan tidak saling mengenal. Mengapa kalian bersusah payah mencariku?"
Panglima yang bicara tadi mengambil sesuatu dari sakunya, kemudian berkata.
"Kami datang sebagai utusan ratu kami untuk menyampaikan surat ini kepada Taihiap. Harap Taihiap sudi menerimanya."
Setelah berkata demikian, tangannya yang memegang surat itu bergerak menyambit dan gulungan surat itu bagaikan peluru menyambar ke arah Suling Emas.
Suling Emas mengerti bahwa tidak perlu ia berpura-pura terus. Sambitan itu saja sudah merupakan ujian karena tidak sembarang orang dapat menyambit seperti itu dan tidak sembarangan orang pula dapat menerimanya. Ia mengangsurkan tangan kiri, dengan tenang ia menangkap gulungan surat itu. Tubuhnya sedikit pun tidak bergoyang dari atas panggung kudanya. Dua orang panglima itu memandang penuh kekaguman dan panglima yang menyambitkan gulungan surat berkata,
"Ternyata tidak keliru dugaan kami. Kami telah melaksanakan tugas kami. Maafkan kami, sobat-sobat yang bandel dan selamat tinggal, Taihiap"
Mereka berdua melepaskan cengkeraman pada punggung baju dua orang kakek pengemis itu, kemudian membalikkan tubuh dan berlari cepat pergi meninggalkan tempat itu.
"Berbahaya sekali. Mereka itu memiliki kepandaian yang hebat. Mengapa Taihiap selalu diganggu orang-orang Khitan?"
Tanya Ciam-lokai terheran-heran. Ini adalah pengalamannya yang dua kali melihat Suling Emas dikejar-kejar orang Khitan. Suling Emas tersenyum.
"Urusan pribadi, Lo-kai. Maafkan kalau kalian sampai terbawa-bawa."
"Adakah sesuatu yang dapat kami lakukan untuk membantumu, Taihiap?"
Tanya Gak-lokai ketika melihat wajah pendekar itu agak pucat. Suling Emas mengerutkan kening. Ia tadi kecewa karena tak dapat mencari Kwi Lan, maka kini ia berkata.
"Memang kalian dapat membantuku. Harap kalian sampaikan kepada Pangcu kalian agar suka mengutus anak-anak buahnya untuk menyelidiki dan mencari kemana perginya gadis yang berjuluk Mutiara Hitam itu. Kalau berhasil, harap memberi kabar kepadaku. Aku akan berada di kota raja."
Dua orang kakek pengemis itu menyanggupi dan mereka lalu berpisah. Setelah Gak-lokai dan Ciam-lokai pergi, Suling Emas menjalankan kudanya perlahan-lahan sambil melepas tali pengikat gulungan kertas. Hatinya berdebar keras. Surat dari Lin Lin? Apa kehendaknya? Jari-jari tangannya agak gemetar ketika ia membentangkan kertas itu di depannya, sedangkan kudanya masih jalan terus perlahan-lahan seenaknya. Surat itu ternyata singkat namun mengandung gambaran hati yang penuh rindu dan risau.
Kakanda Kam Bu Song,
Terlalu lama saya menanggung derita batin. Terlalu lama menyimpan rahasia besar. Tak tertahankan lagi. Lekas datang berkunjung.
YALINA
Suling Emas menghela napas panjang dan menyimpan gulungan surat di saku baju sebelah dalam. Apakah yang dikehendaki Lin Lin? Rahasia besar apakah yang dimaksudkannya? Bukankah sudah tepat kalau ia meninggalkan Lin Lin, seperti juga ia meninggalkan Suma Ceng? Ah, hidupnya yang lalu dirusak oleh asmara gagal. Bukan ia tidak merasa rindu kepada Lin Lin, hanya ia sengaja hendak menghapus perasaan itu mengingat akan kedudukan Lin Lin sebagai Ratu Yalina di Khitan.
Untuk apa dia mengganggu dan merusak nama baik seorang ratu besar? Inilah yang meragukan hatinya sehingga ia tidak berani berkunjung ke Khitan. Sekarang pun ia tidak ingin berkunjung, bahkan hendak pergi ke kota raja Sung, untuk menemui Liong ji (Anak Liong). Ya, kini hanya pemuda putera Suma Ceng itulah yang menjadi harapannya. Kiang Liong adalah pemuda puteranya. Anak Suma Ceng, menggunakan she Kiang menurut nama keluarga Pangeran Kiang suami Suma Ceng, akan tetapi Kiang Liong adalah puteranya. Dan semenjak kecil, ia seringkali berkunjung secara diam-diam dan menurunkan ilmunya kepada Kiang Liong yang menganggapnya sebagai gurunya. Sekarang pun ia hendak pergi ke kota raja untuk berkunjung kepada murid dan juga puteranya itu, karena sudah merasa rindu? Akan tetapi surat Lin Ling yang baru saja diterimanya membuat hatinya bimbang.
Ah, betapa pahit semua kenyataan itu. Lin Lin adalah seorang wanita yang dicintanya, bahkan bukan hanya menjadi kekasih biasa, melainkan menjadi isteri selama sebulan, isteri yang tidak sah. Terpaksa ia harus merenggutkan cinta kasih, merobek hati sendiri demi kedudukan Lin Lin sebagai seorang ratu"
Dan terhadap Kiang Liong, biarpun ia tahu bahwa anak itu adalah puteranya sendiri, ia tidak berani mengakuinya dan oleh pemuda itu ia hanya dianggap sebagai guru. Hal ini ia lakukan demi menjaga nama baik Suma Ceng, juga nama baik anak itu sendiri sebagai putera pangeran"
Benar-benar ia banyak menderita batin, namun pengorbanan-pengorbanan itu harus ia lakukan demi orang-orang yang ia cinta.
Senja hari di malam tahun baru. Untuk kedua kalinya dalam beberapa bulan itu, puncak Cheng-liong-san yang biasanya sunyi sepi itu kini ramai dikunjungi orang. Akan tetapi tidak seperti dahulu pada pertama kalinya, kini kaum sesat dengan pasukan-pasukannya yang datang berbondong-bondong, tidak langsung naik ke puncak, melainkan bergerombol dan berkumpul menjadi beberapa kelompok di lereng gunung. Puncak Cheng-liong-san tetap sunyi. Siapakah berani lancang naik ke puncak sebelum datuk-datuk yang mereka pilih tiba? Hari itu adalah hari penentuan, hari pertemuan para datuk kaum sesat yang dipilih oleh golongan masing-masing untuk menentukan siapa di antara mereka yang patut dipilih menjadi bengcu atau pemimpin besar kaum sesat.
Datuk pertama yang muncul di puncak adalah seorang yang amat aneh. Dia berjalan seorang diri, mendaki puncak sambil bernyanyi-nyanyi. Nyanyinya amat aneh pula, dengan kata-kata asing yang lucu, sedangkan lagunya juga lucu sekali, sehingga suaranya yang bergema di seluruh lembah dan terdengar oleh para kaum sesat, membuat mereka terheran-heran dan tersenyum-senyum geli. Suara tinggi kecil seperti suara perempuan. Kalau tidak melihat orangnya, mendengar suaranya tentu orang mengira dia seorang wanita. Akan tetapi ternyata dia itu seorang laki-laki yang bertubuh tinggi tegap, dengan tubuh berotot dan sepatutnya ia seorang laki-laki yang memiliki tubuh gagah.
Wajahnya tampan sekali, dengan hidung yang agak terlalu mancung dan mata yang warna hitamnya tercampur biru, kulitnya putih halus seperti kulit wanita, rambutnya panjang dibiarkan terurai di belakang punggung. Dan lenggangnya, lenggangnya genit dan lemah-gemulai seperti lenggang seorang wanita berpantat besar yang genit sekali. Bibirnya yang terlalu manis bentuknya untuk seorang pria itu selalu tersenyum-senyum dan bergerak-gerak dibuat-buat agar nampak makin manis. Pakaiannya juga aneh, amat mewah terbuat dari sutera beraneka warna yang halus, lehernya digantungi kalung permata yang besar-besar. Kuku jari-jari tangannya runcing terpelihara dan diberi merah-merah.
Inilah dia Bu-tek Siu-lam, datuk yang dipilih para pengemis untuk menjadi bengcu. Julukan Siu-lam (Laki-laki Tampan) memang ada benarnya, hanya sayang ketampanannya itu membuat ia menjadi genit seperti perempuan, beraksi seperti perempuan dan tingkah lakunya tiada bedanya dengan seorang wadam (banci). Sebuah gunting besar yang mengkilap putih terselip di pinggangnya. Setelah tiba di puncak, Bu-tek Siu-lam menghentikan nyanyiannya, memandang ke kanan kiri lalu berdongak ke atas. Mulutnya terbuka dan terdengarlah suara suitan yang keras sekali sehingga mengumandang ke seluruh lembah dan lereng gunung. Suitan panjang ini disusul suaranya yang merdu dan kecil namun nyaring sekali.
"Heiiii"
Mana dia iblis-iblis palsu dari empat penjuru yang katanya hendak beraksi? Kalau benar bisa menandingi Bu-tek Siu-lam, aku rela menganggapnya sebagai bengcu dan bersahabat dengannya, hi-hi-hik"
Setelah berkata demikian, Bu-tek Siu-lam yang sukar ditaksir berapa usianya ini berdiri dengan tubuh digerak-gerakan kemayu.