Lembah Selaksa Bunga Chapter 15

NIC

Setelah merebahkan tubuh yang lemas pingsan itu di lantai, ia bangkit berdiri dan sekali tangannya bergerak, ia telah menotok pundak kiri Nyonya Kui. Nyonya itu menjerit-jerit karena tiba-tiba merasa tubuhnya nyeri semua, panas seperti terbakar dari dalam.

“Auuuuww...... aduuuhhh...... aduuhhhh...... ia...... ia memukulku......! Pengawal, tangkap perempuan jahat ini !!”

Lima orang pengawal maju, akan tetapi cepat Siang Lan menggunakan tangan kiri menjambak rambut Nyonya Kui dan mencabut pedang yang ia tempelkan ke leher nyonya itu.

“Siapa yang maju akan kubunuh semua setelah lebih dulu kusembelih leher perempuan ini!” Ia mengancam dan lima orang perajurit itu mundur ketakutan.

Siang Lan menotok pundak itu dan membebaskan totokannya, lalu membentak. “Perempuan bermulut lancang dan jahat, siapa engkau berani bicara seperti tadi kepada Nona Kui Li Ai?”

“Aku...... aku isteri Panglima Kui !” Nyonya Kui mencoba untuk bersikap galak berwibawa setelah tidak

merasa kesakitan lagi.

Tangan kiri Siang Lan memperkuat jambakannya sehingga nyonya itu meringis. “Tak mungkin engkau ibu Adik Ai!”

“Aku...... aku Ibu tirinya ”

“Pantas! Engkau Ibu tiri keparat!” Siang Lan memaki dan memperkuat lagi jambakannya sehingga wanita itu semakin kesakitan.

Para tamu itu ada yang berpangkat panglima, rekan mendiang Panglima Kui. Seorang dari mereka maju dan berkata kepada Siang Lan dengan sikap hormat.

“Kalau kami tidak salah sangka, tentu Nona Hwe-thian Mo-li, bukan? Kami dulu membantu Kui Ciang-kun ketika menangkap para tokoh Pek-lian-kauw dan kami mengenal Nona.”

Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan mengangguk. “Benar, aku Hwe-thian Mo-li dan aku mengantarkan Adik Li Ai pulang setelah kubunuh dua orang di antara tiga orang tahanan yang dibebaskan. Adik Li Ai menderita setelah ditawan penjahat dan kini kematian Ayah kandungnya. Kenapa perempuan cerewet jahat ini malah memaki dan memarahinya? He, perempuan busuk, apa engkau sudah bosan hidup? Aku akan membunuhmu agar rohmu menghadap dan mohon ampun kepada Kui Ciang-kun atas kejahatan mulutmu terhadap Adik Li Ai!”

Setelah berkata demikian, Siang Lan menempelkan pedangnya semakin ketat di leher Nyonya Kui. Wanita itu menjadi pucat sekali, tubuhnya menggigil dan ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Siang Lan, membentur-benturkan dahinya di lantai dan berkata dengan suara terputus-putus.

“Ampunkan saya...... ampunkan saya...... karena terlalu sedih saya memarahi Li Ai...... ampuni saya, Li- hiap........” Ia meratap dengan tubuh menggigil dan tanpa ia sadari saking takutnya, lantai di bawah tubuhnya menjadi basah karena ia terkencing-kencing saking ngerinya!

Siang Lan membalikkan tubuhnya, mengangkat tubuh Li Ai yang masih pingsan dan membawanya kembali ke dalam kamar gadis itu. Ia merawat Li Ai sehingga gadis itu siuman kembali, lalu menghiburnya. Dua orang pembantu pribadi Li Ai membantunya dan mereka segera mempersiapkan pakaian pengganti untuk Li Ai.

Setelah Li Ai tenang kembali, Siang Lan membujuknya agar mandi dan berganti pakaian bersih. Lalu mengajaknya makan yang telah dihidangkan oleh dua orang pelayan itu.

“Makanlah, Adik Li Ai, mari kutemani. Ingat kesehatanmu dan sadarlah bahwa semua yang telah terjadi tidak cukup untuk ditangisi saja. Kalau engkau merasa sakit hati, engkau harus tetap hidup sehat agar dapat melampiaskan dendam sakit hatimu kepada mereka yang telah membuat engkau menderita.” “Enci aku seorang gadis lemah bagaimana mungkin dapat membalas dendam kepada tokoh Pek-lian-kauw yang menculikku? Sedangkan Ayahku saja tidak berdaya ketika aku diculik. Orang-orang Pek-lian-kauw amat lihai. Kalau aku memiliki kepandaian seperti engkau ”

“Jangan khawatir, aku akan mengajarimu ilmu silat.”

“Benarkah, Enci?” terhibur juga perasaan hati Li Ai mendengar ini dan ia mau diajak makan.

Setelah Li Ai tenang kembali dan dihibur oleh Siang Lan yang merasa dekat dengan gadis itu karena senasib, gadis itu lalu keluar bersama Siang Lan untuk melakukan upacara sembahyang di depan peti jenazah ayahnya. Ia tidak menangis dengan suara lagi, hanya air matanya saja menetes-netes ketika bersembahyang. Nyonya Kui tidak tampak karena setelah peristiwa tadi ia bersembunyi di dalam kamarnya.

Setelah melakukan upacara sembahyang, Siang Lan mengajak Li Ai kembali ke dalam kamarnya.

“Adik Li Ai, sekarang engkau telah kembali ke rumahmu dengan selamat. Aku pamit hendak melanjutkan perjalanan,” kata Siang Lan.

Li Ai terkejut, bangkit berdiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan Hwe-thian Mo-li. “Enci, jangan tinggalkan aku !” katanya sambil merangkul kedua kaki Siang Lan. “Aku tidak mau tinggal di rumah ini,

tidak mau hidup bersama ibu tiri yang membenciku.”

Siang Lan mengangkat bangun gadis itu dan menyuruhnya duduk kembali. “Jangan begini, Adik Li Ai. Mari kita bicara baik-baik. Kalau engkau tidak mau tinggal di sini, lalu bagaimana? Jangan khawatir kepada ibu tirimu, aku sebelum pergi akan mengancamnya bahwa kalau ia berani mengganggumu, aku akan datang memenggal kepalanya!”

“Tidak, Enci, biarpun begitu tetap saja aku akan hidup menderita di sini. Bahkan keadaanku sudah

begini kalau sampai diketahui orang, aku akan semakin dihina dan dicemooh orang. Jangan tinggalkan

aku, Enci. Kalau kautinggalkan, kukira...... lebih baik aku bunuh diri daripada hidup menanggung aib dan malu. Aku ingin ikut denganmu, Enci, biar aku menjadi saudaramu, atau sahabatmu, atau pembantumu.

Aku mau mengerjakan apapun juga untukmu asal boleh ikut denganmu. Ingat, engkau hendak mengajarkan ilmu silat padaku seperti janjimu!”

Siang Lan tersenyum. “Ikut dengan aku? Li Ai, engkau seorang gadis bangsawan, puteri seorang panglima. Bagaimana hendak ikut aku, seorang petualang yang memiliki jalan hidup penuh kekerasan? Apakah tidak lebih baik, kalau engkau tidak mau tinggal bersama Ibu engkau ikut dengan keluarga ayahmu? Engkau tentu mempunyai Paman atau Bibi, saudara Ayahmu.”

“Tidak, Enci. Aku tidak mau tinggal bersama mereka. Aku seorang gadis yatim piatu, sudah kotor ternoda pula, tercemar, aku malu, Enci, aku merasa rendah dan tidak sanggup menghadapi mereka. Kalau engkau kelak mengetahui ah, betapa akan malunya aku! Enci, biarlah aku ikut denganmu!” Air mata menetes-

netes dari sepasang mata yang sudah merah dan membengkak itu karena terlalu banyak menangis.

Siang Lan merasa terharu sekali. Ia dapat mengerti bahwa kalau ia memaksakan pendiriannya meninggalkan gadis ini, besar sekali kemungkinannya, Li Ai akan bunuh diri!

“Baiklah, Li Ai. Akan tetapi sebagai puteri Ayahmu, engkau tidak boleh pergi sebelum jenazah Ayahmu dimakamkan dengan baik. Aku akan pergi dulu mengunjungi seorang sahabat baikku dan kau tinggal di sini sampai jenazah Ayah dimakamkan.”

“Enci, malam-malam begini engkau hendak pergi? Apakah tidak lebih baik besok pagi saja?”

Siang Lan mengangguk. Benar juga tidak baik rasanya mengunjungi Ong Lian Hong di rumah Jaksa Ciok Gun malam-malam begini. Malam itu ia tidur bersama Li Ai dan kesempatan itu mereka pergunakan untuk saling mengenal lebih akrab.

“Enci, bolehkah aku mengetahui siapa namamu yang sebenarnya? Sungguh aku merasa tidak enak kalau harus menyebutmu Enci Hwe-thian Mo-li, terutama sebutan Mo-li (Iblis Betina) itu! Bagiku engkau seorang dewi penolong, Enci, sama sekali bukan Mo-li!” Dalam percakapan mereka itu Li Ai berkata hati-hati agar tidak menyinggung penolongnya yang terkadang bersikap amat ganas.

Siang Lan menghela napas panjang. “Li Ai, yang menyebut aku Iblis Betina adalah golongan sesat karena aku selalu bersikap keras terhadap mereka. Terhadap orang-orang jahat seperti dua orang tosu yang menghinamu itu aku tak pernah memberi ampun. Karena itu mungkin aku dijuluki Hwe-thian Mo-li. Akan tetapi aku tidak peduli. Lebih baik disebut Mo-li akan tetapi membela orang tertindas dan menentang kejahatan daripada disebut Dewi akan tetapi hidupnya bergelimang perbuatan jahat, bukan?” “Engkau benar, Enci. Akan tetapi aku ingin mengetahui namamu yang sebenarnya. Engkau tentu memiliki she (marga) dan nama bukan? Siapa pula Gurumu? Maukah engkau menceritakan tentang riwayatmu, orang tuamu, sanak keluargamu dan sahabat baikmu yang akan kau kunjungi besok?”

“Baiklah, Li Ai. Karena engkau sudah mengambil keputusan untuk ikut denganku, engkau berhak mengetahuinya. Akan tetapi sebelumnya, engkau harus berjanji tidak akan memperkenalkan atau menyebut namaku di depan orang lain. Bagi orang lain aku ingin dikenal sebagai Hwe-thian Mo-li saja.”

03.09. Hadangan Keluarga Ibu Tiri

“Baik, Enci. Aku berjanji.”

“Aku adalah seorang yatim piatu. Ayah Ibuku meninggal dunia ketika aku masih kecil. Namaku adalah Nyo Siang Lan.”

“Sejak berusia sepuluh tahun aku di rawat dan dididik oleh mendiang Guruku yaitu Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu. Guruku mempunyai seorang puteri bernama Ong Lian Hong yang selain menjadi adik seperguruan, juga menjadi sahabat baikku. Suhu tewas dibunuh lima orang. Aku dan Adik Ong Lian Hong berhasil membalas dendam kematian Suhu. Sekarang Su-moi Ong Lian Hong tinggal di kota raja, ia bertunangan, mungkin sekarang sudah menikah, dengan Sim Tek Kun, putera Pangeran Sim Liok Ong ”

“Ah, aku sudah mendengar, Enci Siang Lan !”

Posting Komentar