“Ha-ha-ha, Suheng. Ia terkena jarumku. Kita tangkap ia hidup-hidup, sayang gadis secantik ini dibunuh begitu saja!” kata Cin Kun Tosu sambil tertawa-tawa. Mereka lalu menyerang dengan pedang dan mencari kesempatan untuk menotok tubuh Siang Lan yang sudah mulai limbung.
Tiba-tiba ada dua buah batu sebesar kepalan tangan menyambar. “Trangg......! Tranggg !!”
Dua orang tosu itu terkejut sekali karena pedang mereka terpukul batu sedemikian kuatnya sehingga mereka tidak mampu mempertahankannya lagi. Pedang itu terlepas dari tangan mereka dan terpental jauh!
Ketika mereka sedang terkejut, Siang Lan yang melihat kesempatan baik ini segera menerjang. Dua kali Lui-kong-kiam berkelebat dan dua orang yang sedang tertegun itu tidak sempat mengelak atau berteriak karena leher mereka sudah terbabat buntung oleh pedang Lui-kong-kiam yang digerakkan oleh Siang Lan dengan sekuat tenaga!
03.08. Jatuh, Ditimpa Tangga Pula!
Setelah membunuh dua orang tosu itu, Siang Lan merasa kepalanya pening. Pedang itu terlepas dari tangannya, tubuhnya terasa lunglai dan ia masih dapat melihat wajah seorang laki-laki berpakaian sederhana, berwajah lembut dan tampan, berusia sekitar empatpuluh tahun.
Ia masih teringat akan pertolongan tadi dan dapat menduga bahwa inilah orang yang tadi telah menolongnya. Akan tetapi kepalanya semakin pening, pandang matanya kabur dan ia pun tidak ingat apa- apa lagi. Ia tidak tahu bahwa sebelum tubuhnya terjatuh, sepasang lengan yang kuat menangkapnya lalu merebahkannya di atas rumput, tak jauh dari tempat di mana ia tadi berkelahi dan di mana terdapat dua mayat tosu yang telah terpenggal kepala mereka.
Tak lama kemudian Siang Lan sadar dari pingsannya. Ia teringat akan perkelahiannya tadi dan cepat ia melompat bangkit berdiri. Pundak kirinya terasa perih dan ketika ia merabanya, ternyata jarum itu telah tercabut dan lukanya telah ditempel ko-yo (obat tempel). Rasa nyerinya hilang tinggal sedikit rasa perih dan lengan kirinya dapat ia gerakkan kembali seperti biasa! Juga pedang yang tadi terlepas kini telah berada kembali dalam sarung pedang yang tergantung di pinggangnya! Akan tetapi mayat dua orang tosu tadi tidak tampak pula di situ, hanya tinggal bekas darah mereka yang membasahi rumput dan tanah. Siang Lan dapat menduga bahwa agaknya laki-laki yang dilihatnya sebelum ia tidak sadar tadi, laki-laki yang menolongnya mengalahkan dua orang pengeroyoknya, telah mengobatinya, menyimpankan kembali pedangnya, dan pergi dari situ sambil membawa dua mayat tosu Pek-lian-kauw! Ia merasa heran sekali. Laki-laki itu tentu lihai bukan main karena mampu membuat dua orang tosu melepaskan pedang mereka sehingga ia dapat membunuh mereka.
Melihat laki-laki itu membantunya, jelas bahwa dia bukanlah orang Pek-lian-kauw. Akan tetapi mengapa ia membawa pergi dua mayat tosu Pek-lian-kauw? Ia sama sekali tidak mengerti dan merasa penasaran. Orang dengan kepandaian sehebat itu dapat ia jadikan gurunya agar ilmu silatnya meningkat sehingga kelak ia dapat membalas dendam kepada Thian-te Mo-ong!
Tiba-tiba ia teringat akan Kui Li Ai, puteri Kui Ciang-kun yang ia tinggalkan di tempat ia menemukannya, yaitu di tengah hutan. Cepat Siang Lan berlari menuju ke tempat itu. Gadis itu ternyata masih berada di situ, duduk menangis di bawah pohon.
Dapat dibayangkan betapa hancur hati Kui Li Ai. Ia seorang gadis bangsawan dan baru saja ia mengalami musibah yang amat hebat bagi seorang gadis. Ia diperkosa dua orang biadab dan kini ia ditinggalkan seorang diri di tengah hutan. Tentu saja ia tidak berani pergi karena ia tidak mengenal jalan.
Begitu mendengar Siang Lan yang menghampirinya, Kui Li Ai mengangkat mukanya yang pucat dan basah air mata.
“Li Ai, tenangkanlah hatimu. Dua orang manusia iblis itu telah mampus di tanganku!” kata Siang Lan sambil mendekati gadis yang malang itu.
Mendengar ini Li Ai terisak dan merangkul Siang Lan. Hwe-thian Mo-li tak dapat menahan keharuan hatinya dan kedua matanya menjadi basah. Ia teringat akan keadaan dirinya sendiri yang mengalami musibah seperti yang dialami Li Ai. Ia mengelus rambut gadis itu dan membiarkan Li Ai menangis sepuasnya. Setelah tangis itu agak mereda karena Li Ai kelelahan, ia berkata dengan nada menghibur.
“Sudahlah, Li Ai, mari kuantar engkau pulang ke rumah orang tuamu,” katanya dan hatinya terasa seperti diremas kalau ia ingat betapa ayah gadis ini telah tewas membunuh diri.
Ia tidak tega untuk memberitahuan hal ini kepada Li Ai. Gadis yang menderita pukulan batin yang luar biasa hebatnya itu, bagaimana mungkin akan dapat menahan kalau diberi pukulan kedua yaitu berita tentang kematian ayahnya?
Seperti orang kehilangan semangat, Li Ai hanya mengangguk. Siang Lan membantunya bangkit berdiri, membetulkan letak pakaiannya, menyanggul rambutnya, kemudian karena Li Ai merasa lemah dan lemas hampir tidak mampu melangkahkan kakinya, Siang Lan lalu memondongnya dan membawanya lari cepat.
Dalam kedukaannya, Li Ai terkejut dan terheran juga melihat betapa kuatnya gadis penolongnya ini sehingga mampu nemondongnya dan membawanya berlari secepat larinya kuda! Teringat ia akan cerita ayahnya tentang para pendekar wanita, maka sejenak ia melupakan kedukaannya dan bertanya.
“Enci...... apakah engkau seorang pendekar wanita?”
Siang Lan tersenyum. Bagus, pikirnya, gadis yang hancur hatinya itu mulai mau bicara, tanda bahwa ia mulai dapat menguasai perasaannya yang tertekan hebat.
“Entahlah, Adik Li Ai, aku ini pendekar wanita ataukah iblis wanita karena orang menyebut aku Hwe-thian Mo-li.”
“Hwe-thian Mo-li? Aih, Enci, Ayah pernah menyebut namamu sebagai seorang di antara para pendekar yang membantu pemerintah membasmi Pek-lian-kauw!”
Setelah memasuki kota raja, hari telah menjelang senja. Karena merasa sudah kuat berjalan dan merasa tidak enak kalau memasuki kota raja dilihat orang bahwa ia dipondong, Li Ai minta diturunkan dan mereka berdua lalu menuju ke gedung tempat tinggal Panglima Kui. Setelah memasuki pekarangan, lima orang perajurit pengawal yang berjaga di situ memberi hormat kepada Li Ai, akan tetapi wajah mereka tampak muram.
Li Ai agaknya dapat melihat dan merasakan hal yang tidak wajar ini. Biasanya para perajurit itu selain amat hormat, juga amat ramah kepadanya.
“Apa yang terjadi?” Ia seolah bertanya kepada diri sendiri dan matanya memandang ke arah serambi depan rumahnya di mana terdapat banyak orang. “Apa yang terjadi di sana?” kembali ia bertanya.
Siang Lan merangkulnya. “Adik Li Ai, bersikaplah tenang dan kuatkan hatimu......” Suara pendekar yang gagah perkasa ini tersendat karena ia harus menahan keharuan hatinya.
“Apa......? Mengapa......?” Li Ai seolah mendapatkan tenaga baru dan ia berlari ke arah serambi depan rumahnya. Siang Lan cepat mengikutinya.
Setelah berada di ruangan terbuka di serambi itu, di mana terdapat banyak orang duduk diam, Li Ai melihat dengan mata terbelalak ke sebuah peti mati yang dipasang di tengah. Wajahnya yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat seperti kapur dan ia lari terhuyung-huyung menghampiri peti mati. Ketika ia melihat nama ayahnya tertulis di depan peti mati, ia menjerit dan menubruk ke depan.
“Ayaaaaahhh......!” Tubuh Li Ai terguling roboh dan tentu kepalanya akan terbentur pada peti mati kalau Siang Lan tidak cepat menyambar tubuhnya dan memeluk gadis yang sudah jatuh pingsan itu.
Siang Lan menoleh kepada beberapa orang wanita yang berkumpul dekat peti mati sambil menangis. Melihat pakaian mereka, ia dapat menduga bahwa mereka adalah pelayan-pelayan di gedung panglima itu.
“Di mana kamar Nona Kui? Tolong antarkan aku ke sana,” kata Siang Lan dan pelayan tua itu lalu menunjukkan Siang Lan yang memondong tubuh Li Ai ke sebuah kamar.
Dalam kamar itu, Siang Lan merebahkan tubuh Li Ai ke atas pembaringan. Dua orang pelayan yang agaknya menjadi pelayan pribadi Li Ai ikut masuk dan mereka menangisi nona majikan mereka.
“Siocia...... ahh, Siocia...... ia mengapa ?” tangis mereka.
“Harap kalian diam, biarkan aku menanganinya,” kata Siang Lan yang mengurut beberapa jalan darah di pusat-pusat jalan darah seperti di telapak tangan dekat ibu jari, di dekat siku dan di pangkal lengan. Li Ai mengeluh lirih dan begitu membua matanya, ia menjerit.
“Ayaaah...... Ayahhh, kenapa Ayahku......? Kenapa ia, Enci? Kenapa Ayahku mati ?” tangisnya.
“Tenanglah, Adikku, tenanglah. Sudah kupesan tadi, kuatkan hatimu, Adik Li Ai ” Siang Lan menghibur
dengan hati terharu.
“...... Enci...... engkau sudah tahu......?” Ketika Siang Lan mengangguk, ia melanjutkan, “. mengapa
engkau tidak memberitahu padaku tadi ?”
“Hatimu sedang sedih, aku tidak menambahkan kesedihanmu lagi. Biar engkau melihat sendiri......” kata Siang Lan terharu.
“Ayaaahhh......!” Li Ai bangkit, turun dari pembaringan dan berlari lagi. Dua orang pembantunya sambil menangis mencoba untuk menghalanginya.
“Siocia...... Siocia sebaiknya beristirahat di sini saja ”
Akan tetapi Siang Lan mencegah mereka. “Biarlah ia menumpahkan kedukaannya.” Dan ia sendiri lalu mengikuti Li Ai untuk menjaga hal-hal yang tidak baik.
Li Ai berlari terhuyung menuju ke serambi depan dan sambil menjerit-jerit dan menangis mengguguk ia berlutut di depan peti mati ayahnya. Semua orang yang berada di situ menjadi terharu dan semua wanita yang melayat, juga para pembantu rumah tangga, ikut pula menangis. Para tamu laki-laki hanya menggeleng-gelengkan kepala dan menghela napas panjang dengan wajah muram.
Tiba-tiba dari dalam keluar seorang wanita berusia tigapuluh tahun lebih yang mengenakan pakaian berkabung namun rambutnya tersisir rapi dan mukanya yang cukup cantik itu masih dipulas bedak dan gincu, suatu hal yang sebetulnya tidak lajim bagi keluarga yang berkabung.
Agaknya wanita itu keluar karena tertarik oleh suara tangis dan jeritan Li Ai. Ia menghampiri dan sambil berdiri, memandang kepada Li Ai yang berlutut sambil menangis itu, alisnya berkerut tanda tak senang dan begitu tangis Li Ai mereda, ia berkata dengan suara lantang.
“Li Ai, engkau baru pulang?”
Li Ai mengangkat muka memandang kepada wanita itu lalu ia berseru. “Ibuuu !”
Akan tetapi tiba-tiba wanita yang ternyata adalah isteri Pangeran Kui itu berkata dengan sikap dingin dan galak. “Hemm, untuk apa kautangisi Ayahmu? Kau tahu, Ayahmu mati karena engkau! Engkau anak put-hauw (tidak berbakti), anak durhaka, belum dapat membalas budi orang tua, malah menjadi penyebab kematian Ayahmu!!”
Li Ai terbelalak mendengar ini, lalu ia menjerit panjang dan terkulai lemas dalam rangkulan Siang Lan yang cepat menangkap tubuhnya. Ia pingsan lagi!
Siang Lan menjadi marah bukan main.