Lembah Selaksa Bunga Chapter 10

NIC

“Tenang, Kui Ciang-kun dan jangan lakukan sesuatu atau anakmu ini akan pinto (aku) bunuh lebih dulu. Anakmu pinto jadikan sandera dan ia pasti akan pinto bunuh kalau engkau tidak menuruti permintaan pinto!”

“Hemm, engkau seorang pendeta, mengapa bertindak begini jahat dan curang? Kalau hendak bicara, tidak perlu menawan puteriku. Lepaskan ia dan kita boleh bicara!” “Pinto tidak sebodoh itu, Ciang-kun. Sekarang dengarlah permintaan pinto. Engkau harus menolong tiga orang pimpinan Pek-lian-kauw yang ditahan di penjara dan engkau harus dapat membebaskannya. Pinto beri waktu tiga hari. Kalau engkau dapat membebaskan mereka, puterimu ini tentu akan kembali padamu. Kalau tidak, terpaksa puterimu pinto bunuh!”

Setelah berkata demikian, sekali melompat tosu itu telah lenyap dalam bayangan pohon-pohon dalam taman sambil memanggul tubuh Li Ai.

Baru melihat cara tosu itu melompat dan menghilang sedemikian cepatnya saja, tahulah Kui Ciang-kun bahwa dia sama sekali bukan tandingan tosu itu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dia merasa bingung akan tetapi juga tidak berdaya. Kalau dia mengejar dan mengerahkan pasukan, puteri tunggalnya tentu terancam maut.

Jelas bahwa tosu itu seorang tokoh Pek-lian-kauw yang berilmu tinggi dan dia tahu bahwa orang Pek-lian- kauw tidak menggertak kosong belaka dan bagi mereka, membunuh orang merupakan hal yang kecil. Akan tetapi, untuk membebaskan puterinya, dia harus dapat membebaskan lebih dulu tiga orang tokoh Pek-lian- kauw yang kini masih ditahan di penjara! Tubuhnya menjadi lemas sekali, mukanya pucat dan ketika dia melangkah kembali ke gedungnya, ke dua kakinya gemetar.

Isterinya menyongsong dengan pertanyaan. “Suamiku, apa yang telah terjadi di taman? Siapa yang tadi menjerit?”

Kui Ciang-kun yang berwajah muram itu tidak menjawab, melainkan memberi isyarat kepada isterinya untuk memasuki gedung mereka. Setelah mereka berdua berada dalam kamar, barulah Kui Ciang-kun menjatuhkan diri duduk di atas kursi, menghadapi meja dan bertopang dagu dengan wajah sedih, bingung dan gelisah.

“Celaka........” keluhnya, “celaka sekali ”

Isterinya duduk di atas kursi dekatnya. “Ada apakah, suamiku? Mengapa engkau tampak begini sedih dan gelisah?”

“...... Anak kita...... Li Ai...... ia diculik orang ”

Isterinya kaget, “Diculik? Jadi yang menjerit tadi Li Ai? Akan tetapi mengapa tidak kau kejar? Kenapa tidak panggil pasukan pengawal untuk membantumu?”

“Percuma, orang itu amat lihai dan...... dan dia mengancam akan membunuh Li Ai kalau aku mengejarnya ”

“Akan tetapi siapa penculik itu dan apa maunya?”

“Begini........” Panglima itu berhenti sebentar dan memandang ke kanan kiri, “jangan katakan kepada siapapun juga...... ini harus dirahasiakan Anak kita itu hanya dijadikan sandera dan tidak akan diganggu,

bahkan akan dibebaskan kalau dalam waktu tiga hari aku mau memenuhi permintaannya ”

“Hemm, apa permintaannya. Uang ?”

“Apa, kalau cuma uang, berapapun, aku tidak akan sebingung ini! Dia minta agar aku membebaskan

tiga orang tokoh Pek-lian-kauw yang ditahan dalam penjara itu! Kalau dalam tiga hari aku tidak dapat membebaskan mereka, Li Ai...... ia akan dibunuh ”

02.06. Apakah Panglima Kui Pengkhianat?

Nyonya Kui terkejut dan keduanya terdiam, tenggelam ke dalam lamunan dan bayangan masing-masing yang amat menggelisahkan. Akhirnya Nyonya Kui bertanya.

“Suamiku, apakah engkau tidak bisa membebaskan tiga orang itu?”

“Hemm, kepala penjara itu termasuk anak buahku, tentu saja aku bisa mengusahakan agar mereka dapat dibebaskan, akan tetapi ”

“Akan tetapi apa lagi?”

“Bagaimana mungkin aku membebaskan mereka yang menjadi tokoh-tokoh pemberontak? Berarti aku mengkhianati negara dan aku dapat dihukum mati ” “Aih!” Isterinya terkejut dan memandang suaminya dengan mata terbelalak. “Kalau begitu, jangan bebaskan mereka!!”

Kui Ciang-kun menatap isterinya dan mengerutkan alisnya. “Dengan begitu membiarkan puteriku dibunuh penculik? Kau ingin ia dibunuh penculik?”

“Aku aku tidak ingin engkau dihukum mati, suamiku!”

“Huh, sudahlah! Biar urusan ini ku pikirkan sendiri!” katanya, hatinya menahan kemarahan karena kini dia menyadari bahwa isterinya ini tidak begitu peduli akan nasib Li Ai yang menjadi anak tiri isterinya itu.

Dia lalu meninggalkan kamar isterinya, kegelisahan dan kebingungannya bertambah dengan perasaan marah kepada isterinya yang dianggap tidak mempedulikan nasib puterinya. Dia mengambil keputusan, setelah semalam suntuk tidak tidur dan gelisah dalam kamarnya sendiri, untuk menyelamatkan puterinya, kalau perlu dengan pengorbanan apapun juga!

Menjelang fajar, diam-diam ia keluar dari gedungnya dan pergi berkunjung ke rumah Perwira Ciok, anak buahnya yang menjabat sebagai kepala penjara di mana tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu ditahan. Dengan singkat dia menceritakan persoalannya kepada Perwira Ciok dan minta agar Sang Perwira membantunya membebaskan tiga orang tahanan itu.

“Aih, Ciang-kun, bagaimana mungkin kita melakukan hal itu?” kata Perwira Ciok terkejut sekali.

“Apa engkau hendak mengatakan bahwa sebagai kepala penjara engkau tidak mampu melakukannya?” tanya Kui Ciang-kun sambil menatap tajam wajah bawahannya itu.

“Bukan begitu, Ciang-kun. Maksudku, hal itu tentu akan diketahui akhirnya dan akan menerima hukuman berat!”

“Jangan khawatir! ini kuberi surat perintah untuk membebaskan tiga orang sehingga kalau engkau dipersalahkan, engkau tinggal memperlihatkan surat perintah. Sebagai bawahan, engkau harus menaati perintah atasanmu sehingga bukan engkau yang dipersalahkan, melainkan aku!”

“Akan tetapi Ciang-kun akan dianggap pengkhianat, membantu pemberontak, dan akan dihukum berat

sekali!”

“Aku tahu, mungkin aku akan dihukum mati. Akan tetapi aku sudah siap mengorbankan nyawaku demi keselamatan anak tunggalku. Cepat lakukan, Perwira Ciok, kalau engkau mau membalas budi kepadaku!”

Mula-mula Perwira Ciok masih ragu, akan tetapi setelah diingatkan akan budi kebaikan yang berkali-kali dia terima dari atasannya ini, akhirnya dia mau melaksanakannya juga. Dia menerima surat perintah dari Kui Ciang-kun itu dan pergi ke penjara, membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw dan mengatakan kepada mereka bahwa yang membebaskan mereka adalah Panglima Kui Seng dan agar tiga orang tokoh Pek-lian- kauw itu segera membebaskan Nona Kui Li Ai yang dijadikan sandera. Tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu menyatakan sanggup dan di pagi hari buta itu mereka bertiga meloloskan diri keluar dari penjara lalu langsung keluar dari kota raja dengan bantuan kawan-kawan mereka yang sudah siap menyambut mereka di luar penjara!

Setelah menyampaikan surat dan perintahnya kepada Perwira Ciok, Kui Ciang-kun pulang ke rumahnya dan dia mengurung diri dalam kamar dengan hati berdebar penuh ketegangan. Dia tidak khawatir akan dirinya sendiri. Yang terpenting baginya adalah menyelamat Li Ai!

Dia menyadari benar bahwa perbuatannya itu tentu akan ketahuan karena lolosnya tiga orang tokoh Pek- lian-kauw yang merupakan tahanan penting itu pasti akan menggemparkan. Akan tetapi, demi keselamatan puterinya, dia siap mengorbankan apa saja, termasuk dirinya sendiri. Lebih dulu puterinya harus dapat diselamatkan. Setelah itu, baru dia akan berusaha sekuat tenaga untuk menangkap kembali tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu!

Daun pintu kamarnya diketuk dari luar, ketuan yang lirih dan hati-hati. “Siapa?” tegurnya.

“Suamiku, makanan pagi telah disiapkan. Mari kita makan, ataukah engkau menghendaki agar sarapan dibawa ke kamar?” terdengar suara isterinya yang tidak dapat membuka daun pintu yang dia palangi dari dalam. “Aku tidak ingin makan dan jangan ganggu aku!” kata Kui Ciang-kun. Isterinya tidak berani mengganggunya lagi dan meninggalkan tempat itu.

Beberapa lama kemudian, kembali daun pintunya diketuk orang dari luar. “Siapa itu? Aku tidak mau diganggu!” Kui Ciang-kun berseru marah.

“Thai-ya (Tuan Besar), di luar datang seorang tamu yang ingin bertemu dengan Thai-ya.” terdengar suara kepala pasukan pengawal yang bertugas jaga saat itu.

“Hemm, tentu utusan dari atasannya yang datang untuk memanggilnya atau langsung menangkapnya. Dia telah siap untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya meloloskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu dari penjara. Maka dia lalu mengenakan pakaian seragam lengkap dan dengan sikap gagah dia keluar dari kamar dan terus keluar ke serambi depan untuk menemui utusan Panglima Besar Chang Ku Cing.

Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika dia melihat bahwa yang datang bertamu adalah seorang gadis cantik yang mengangkat ke dua tangan memberi hormat kepadanya! Akan tetapi keheranan itu segera berubah menjadi kegembiraan ketika dia mengenal siapa gadis itu. Ia adalah seorang di antara pendekar muda yang membantu dia dan pasukannya ketika penyergapan orang-orang Pek-lian-kauw di luar kota raja!

“Hwe-thian Mo-li ! Engkaukah ini, Nona?” serunya sambil membalas penghormatan gadis itu.

Gadis itu memang Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan! Dulu pernah ia diperkenalkan kepada Panglima Kui ini sebagai Hwe-thian Mo-li. Seperti telah kita ketahui, beberapa bulan yang lalu Nyo Siang Lan atau Hwe-thian Mo-li ini telah membasmi orang-orang Ban-hwa-pang. Setelah ia kemudian mendengar dari musuh besarnya, orang berkedok yang mengaku bernama Thian-te Mo-ong, yang telah memperkosanya, bahwa Ban-hwa-pang sebetulnya tidak bersalah besar kepadanya, Siang Lan merasa menyesal dan ia mengambil keputusan untuk membangun kembali Ban-hwa-pang, akan tetapi hanya wanita yang menjadi anggautanya.

Setelah membenahi perkumpulan itu dan membangun sebuah rumah untuknya, Hwe-thian Mo-li yang kini menjadi majikan Lembah Selaksa Bunga atau ketua Ban-hwa-pang itu, meninggalkan Lembah Selaksa Bunga karena ia merasa rindu untuk bertemu dengan Ong Lian Hong, sumoinya (adik seperguruannya). Ia ingin benar mengetahui apakah kini Lian Hong telah menikah dengan Sim Tek Kun, putera Pangeran Sim Liok Ong itu. Ia tidak lagi merasa cemburu atau iri terhadap Lian Hong yang telah lebih dulu bertunangan dengan Sim Tek Kun, pemuda satu-satunya yang pernah dicintanya.

Posting Komentar