Sie Bun Liong juga hampir tak dapat menahan dirinya. Dia ingin sekali keluar dari tempat persembunyiannya, menemui gadis itu dan mengakui semua perbuatannya, siap menerima hukuman mati di tangannya. Akan tetapi dia merasa malu dan...... ngeri menemui gadis itu! Bukan ngeri menghadapi kematiannya sendiri, namun ngeri harus berhadapan muka dengan gadis yang telah diperkosanya itu, walaupun perbuatannya itu dilakukan dalam keadaan tidak sewajarnya dan tidak sadar karena pengaruh arak dan mungkin obat perangsang yang amat kuat.
Dengan jari-jari tangannya membentuk cakar garuda, Sie Bun Liong merobek kulit batang pohon di depannya. Lalu membentuknya selebar wajahnya, melubangi bagian mata dan lubang hidung, kemudian menggunakan saputangan untuk menalikan topeng kulit kayu itu di depan mukanya. Kalau dia mati di tangan gadis itu, biarlah dia mati tanpa memperlihatkan mukanya, pikirnya.
Tiba-tiba dia terkejut dan tubuhnya berkelebat cepat bukan main ke arah Siang Lan. Tadi, begitu dia selesai memakai topeng dan memandang kepada gadis yang tadi menangis sesenggukan, dia mendengar Hwe- thian Mo-li meratap.
“Ayah...... Ibu...... tunggu aku ingin ikut kalian!” Dan gadis itu mencabut pedangnya!
“Syuuuuttt plakk!” Pedang di tangan Siang Lan yang sudah digerakkan menuju leher sendiri itu tiba-tiba
saja terpental bertemu dengan telapak tangan yang menamparnya dari samping.
Hwe-thian Mo-li terkejut bukan main dan cepat ia membuang diri ke belakang, berjungkir balik tiga kali dan kini berdiri memandang orang yang begitu berani menangkis pedangnya. Ia terkejut melihat seorang laki- laki yang mengenakan topeng menutupi mukanya sehingga sukar ditaksir berapa usianya. Melihat rambutnya yang sudah banyak terhias uban, tentu bukan seorang pemuda lagi. Rambut itu awut-awutan, pakaiannya sederhana, juga kusut.
Namun yang mengejutkan hati Hwe-thian Mo-li adalah kenyataan bahwa laki-laki itu mampu menangkis pedang pusaka Lui-kong-kiam dengan tangan! Juga dalam tangkisan itu terkandung tenaga sakti yang amat kuat, yang membuat pedangnya terpental walaupun tidak sampai terlepas dari tangannya. Dan yang membangkitnya kemarahan Hwe-thian Mo-li adalah keberanian orang ini untuk menangkis pedangnya dan menggagalkan usahanya membunuh diri!
“Jahanam busuk! Engkau sudah bosan hidup berani mencampuri urusan pribadiku!” bentaknya dengan suara menggetar saking marahnya. Lupalah ia akan semua kesedihan dan keputus-asaannya, terganti perasaan marah yang berkobar.
“Hua-ha-ha-ha! Engkau masih bisa marah padaku, berarti semangat hidupmu masih besar, kenapa mau bunuh diri?”
“Peduli apa engkau dengan urusanku? Siapa engkau? Mengakulah sebelum kubelah dadamu dengan pedang ini!”
“Hemm, masih kurangkah engkau membunuhi puluhan orang yang tidak bersalah kepadamu? Apakah engkau bunuh diri karena menyesal telah membunuh banyak orang yang tidak berdosa?”
“Huh, siapa menyesal! Kalau Siang-koan Leng mempunyai seribu nyawa, aku akan membunuhnya seribu kali! Dia jahat dan anak buahnya tentu jahat pula maka kubunuh mereka semua!”
“Siangkoan Leng hanya ingin memperisterimu, dan hal itu belum terjadi. Biarpun dia bersalah, membunuh dia bersama anak buahnya untuk kesalahan sekecil itu sungguh tidak adil namanya!”
“Kesalahan kecil? Hem, karena engkau akan mampus pula kubunuh, boleh engkau tahu agar jangan menjadi setan penasaran! Siangkoan Leng telah bertindak keji kepadaku, ia menghinaku dan mencemarkan kehormatanku! Nah, sekarang bersiaplah untuk mampus menyusul arwah Si Jahanam Siangkoan Leng!”
“Dan engkau setelah membunuh aku tidak akan bunuh diri lagi?”
“Peduli apa denganmu? Yang kubunuh diriku sendiri, tidak ada sangkut-pautnya denganmu! Aku pasti akan bunuh diri dan tidak ada seorang pun lagi yang dapat mencegahku!” Gadis itu menyerang dengan pedangnya, gerakannya ganas, kuat dan cepat sekali. Akan tetapi dengan mudahnya orang bertopeng itu mengelak.
“Ha-ha-ha, engkau keliru! Yang memperkosamu bukan dia!” Siang Lan menahan serangannya, memandang heran dan tidak percaya. “Engkau bohong! Siapa lagi kalau bukan jahanam Siangkoan Leng itu?”
“Bukan dia dan bukan orang lain! Akulah yang semalam melakukan perkosaan padamu itu, Hwe-thian Mo- li!”
Siang Lan terbelalak, matanya mencorong penuh kemarahan akan tetapi juga terkejut bukan main mendengar pengakuan itu. Dia telah salah sangka dan membunuh Ketua Ban-hwa-pang dan semua anggautanya!
“Ha-ha-ha, aku yang melakukannya dan aku sama sekali bukan orang Ban-hwa-pang! Nah, apakah sekarang engkau mau bunuh diri karena takut kepadaku?”
“Setan keparat! Iblis jahanam, aku tidak mau mati sebelum dapat mencincang hancur tubuhmu!” teriak Siang Lan dengan suara menjerit saking marahnya.
02.05. Siasat Mencegah Bunuh Diri
Bukan saja orang ini mengaku sebagai orang yang memperkosanya tadi malam, bahkan kini menghinanya dan mengatakan ia takut! Cepat seperti kilat menyambar ia menyerang dengan Lui-kong-kiam. Akan tetapi dengan gerakan ringan sekali sambil mengeluarkan suara tawa mengejek, orang bertopeng itu mengelak dan dengan lompatan tinggi dia menyambar sebatang ranting pohon sebesar lengannya, melompat turun dan sudah memegang sebatang ranting yang dia pergunakan sebagai senjata.
Mereka bertanding mati-matian dan Hwe-thian Mo-li benar-benar terkejut bukan main! Pedang pusakanya yang ampuh, yang mampu mematahkan senjata lawan terbuat dari baja murni, kini tidak berdaya menghadapi senjata lawan yang hanya merupakan sebatang ranting pohon yang masih ada daun-daunnya!
Ia merasa penasaran sekali dan mengerahkan seluruh tenaganya, mengeluarkan semua ilmu silatnya yang paling lihai, namun semua serangannya dapat digagalkan dengan mudah oleh orang bertopeng itu. Yang membuat ia merasa penasaran dan semakin panas hatinya adalah mendengar betapa lawan itu terkadang mengeluarkan suara tawa mengejek kalau serangannya gagal.
Hampir seratus jurus lewat dan mereka berdua masih terus bertanding dengan serunya. Hwe-thian Mo-li menjadi semakin penasaran karena ia merasa betul bahwa lawannya itu hanya bertahan saja, mengelak atau menangkis serangan-serangannya dan hanya kadang-kadang saja balas menyerang.
Agaknya lawannya yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu mempermainkannya atau sengaja hendak menguji kepandaiannya. Ia menjadi marah sekali, akan tetapi juga penasaran dan jengkel, apalagi mengingat bahwa laki-laki ini yang semalam memperkosanya. Hampir saja ia menangis karena ia kehabisan tenaga.
Tiba-tiba laki-laki bertopeng itu mengubah gerakannya. Kini dia menyerang dengan gerakan yang aneh dan bertubi-tubi yang membuat Siang Lan segera terdesak mundur.
“Roboh !” Laki-laki itu membentak dan tiba-tiba beberapa helai daun yang masih menempel pada ranting
pohon yang dijadikan senjata itu meluncur bagaikan senjata-senjata rahasia, menyerang ke arah leher dan kedua pundak Siang Lan!
Tentu saja gadis itu terkejut mendapat serangan yang mendadak dan tak tersangka-sangka itu. Ia melompat ke samping, akan tetapi sebuah tendangan mengenai lututnya dan sebelum ia dapat menghindar, ujung ranting itu menotok pergelangan tangan kanannya sehingga pedangnya terlepas dari pegangannya! Ia terduduk karena lututnya terasa lumpuh. Ia melihat pedangnya terlempar agak jauh dan kini laki-laki itu membuang ranting di tangannya.
“Hua-ha-ha-ha! Kiranya ilmu kepandaian Hwe-thian Mo-li hanya sebegini saja!”
Siang Lan memandang dengan mata mencorong, akan tetapi kedua matanya basah air mata. Ia khawatir kalau-kalau peristiwa semalam terulang karena kini ia benar-benar tidak berdaya. Orang bertopeng itu terlampau kuat baginya.
“Jahanam keparat! Aku sudah kalah! Bunuh aku!”
“Ha-ha-ha, aku tidak akan membunuhmu! Sekarang terserah engkau. Kalau engkau seorang pengecut, kau boleh bunuh diri karena takut padaku dan aku akan mengabarkan di seluruh dunia kang-ouw bahwa nama besar Hwe-thian Mo-li hanya nama kosong belaka dari seorang wanita pengecut yang tidak berani menghadapi musibah dan kesengsaraan hidup. Akan tetapi kalau engkau benar seorang pemberani, engkau boleh belajar ilmu silat seratus tahun lagi dan kelak boleh mencari aku untuk bertanding lagi seribu jurus! Ha-ha-ha-ha!”
Ini merupakan penghinaan yang sudah melewati batas! Siang Lan memaksa diri bangkit dan sambil bertolak pinggang ia menatap wajah bertopeng itu, lalu telunjuk kirinya menuding ke arah muka bertopeng kulit kayu itu.
“Jahanam, keparat, penjahat busuk! Siapa takut padamu? Kalau engkau mau bunuh, bunuhlah, aku tidak takut mati! Akan tetapi kalau engkau tidak membunuhku, aku bersumpah tidak akan mati dulu sebelum aku dapat mencincang tubuhmu. Kelak aku pasti akan mencarimu untuk membalas dendam setinggi langit sedalam lautan ini!”
“Bagus, ha-ha-ha! Aku akan menunggumu, Hwe-thian Mo-li!”
“Buka topengmu dan katakan siapa nama dan di mana kelak aku dapat mencarimu!”
“Ha-ha-ha, topeng ini merupakan ciri khasku, dan tidak akan kubuka. Kelak kalau engkau mencariku, engkau carilah tokoh bertopeng kulit kayu berjuluk Thian-te Mo-ong (Raja Iblis Langit Bumi)! Tempat tinggalku tidak tentu, akan tetapi jangan khawatir. Akulah yang akan mencarimu. Setahun sekali aku akan mencarimu di Lembah Selaksa Bunga. Selamat tinggal!” Orang itu berkelebat lenyap dan Siang Lan tidak dapat melakukan pengejaran, hanya mendengar suara tawanya yang bergema dan semakin jauh!
Kembali Siang Lan menjatuhkan diri duduk di atas tanah dan menangis tersedu-sedu. Akan tetapi sekali ini ia bukan menangis karena sedih, melainkan menangis karena penasaran, marah, benci dan dendam bergelora di dalam hati dan akal pikirannya.
“Thian-te Mo-ong, akan kubunuh kau...... Kubunuh kau.....!!” teriaknya, akan tetapi ia segera dapat menguasai dirinya. Tidak, ia tidak akan membunuh diri.