Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Heng-san Chapter 72

NIC

“Celaka......!” Tiba-tiba Ui Kong berseru, tubuhnya limbung ketika dia bangkit berdiri. Dia melihat tunangannya malah sudah merebahkan kepala di atas meja dalam keadaan lemas dan terkulai.

Ui Kong mendengar suara tawa dan dengan marah ia mengumpulkan tenaga yang terasa hilang, lalu melontarkan cawan arak yang kosong ke arah muka Pek-hwa Sianli yang tertawa. Akan tetapi karena lontaran itu lemah dan Pek-hwa Sianli mengelak, sambitan itupun tidak mengenai sasaran. Ui Kong mencoba melangkah mundur dari meja, akan tetapi dia terkulai dan roboh!

Kam Ki muncul dari pintu dan bertepuk tangan memuji sambil tertawa. “Ha-ha-ha, bagus sekali, Sianli! Mulai malam ini kita bersenang-senang sampai sepuasnya!” kata Kam Ki dan dia tertawa dengan suara tawanya yang terdengar penuh ejekan. Dia menghampiri Gin Siang yang masih duduk di atas kursi dengan kepala berbantal lengan di atas meja dalam keadaan pingsan atau tidur dan hendak memondongnya.

“Sabar dulu, Kam Ki. Engkau lupa! Mereka harus diberi minum anggur merah perangsang dulu agar jinak, dan tidak menolak atau melawan!”

“Ah, benar, aku lupa, Sian-li. Ambil anggurmu itu!” Pek-hwa Sianli berlari ke kamarnya mengambil sebotol anggur merah yang merupakan obat perangsang yang amat manjur, yang ia pergunakan kepada para pemuda yang diculiknya dahulu untuk membakar gairah para pemuda itu.

Ia menuangkan anggur merah itu ke dalam cawan arak yang dipakai Gin Siang dan Ui Kong tadi sampai penuh. Kemudian, Kam Ki mendekatkan cawan itu ke mulut Gin Siang dan Pek-hwa Sianli juga menempelkan cawan itu ke bibir Ui Kong. Dengan tangan kiri, mereka menekan geraham memaksa mulut dua orang korban itu terbuka agar mereka dapat menuangkan anggur merah itu ke dalam perut mereka.

Tiba-tiba pada saat itu, dua sinar merah kecil menyambar ke dalam kamar berturut-turut. Sinar pertama menyambar ke arah cawan yang dipegang Pek-hwa Sianli dan sinar kedua menyambar ke arah cawan yang dipegang Kam Ki.

“Cringg......! Cringg. !”

Biarpun dua sinar itu ternyata hanya jarum-jarum merah yang meluncur sambil mengeluarkan suara seperti tawon terbang, namun cukup mengejutkan Kam Ki dan Pek-hwa Sianli sehingga mereka menarik tangan mereka dan melepaskan cawan sehingga anggurnya tumpah ke atas lantai. Keduanya melompat dan memutar tubuh ke arah jendela dari mana dua sinar tadi menyerang ke arah tangan mereka yang memegang cawan. Mereka melihat berkelebatnya bayangan di luar jendela.

“Keparat, jangan lari!” Bentak Kam Ki dan Pek-hwa Sianli. Keduanya lalu melompat dengan gesit seperti burung terbang keluar melalui jendela dan tiba di ruangan luar yang luas.

Ternyata penyerang itu sama sekali tidak melarikan diri. Di tengah ruangan itu, di bawah sinar lampu gantung yang cukup terang, berdiri dua orang yang membuat wajah Kam Ki menjadi pucat ketika melihat mereka. Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis, yaitu Sie Bun Sam dan Lim Bwee Hwa!

Bagaimana dua orang itu tiba-tiba saja dapat berada di situ? Seperti telah diceritakan, Bwee Hwa dan Bun Sam melakukan perjalanan menuju ke Heng-san karena Bwee Hwa ingin sekali mengunjungi gurunya, Sin-kiam Lojin yang sudah tua dan sudah ia tinggalkan mencari ayahnya selama lebih dari dua tahun.

Bun Sam menemaninya dan di sepanjang perjalanan, Bwee Hwa semakin kagum kepada Bun Sam. Pemuda ini mengingatkan ia akan mendiang Ong Siong Li yang jujur, bijaksana, sopan dan gagah perkasa.

Kebetulan saja perjalanan mereka itu melalui kaki Bukit Ayam Emas.

“Bukankah itu Bukit Ayam Emas?” tanya Bwee Hwa ketika mereka tiba di kaki bukit itu.

“Benar, lihat saja bentuk puncaknya seperti seekor ayam, dan pohon-pohon di sana itu berwarna kekuningan seperti emas. Bagus, ya?” “Tapi, bukankah kakak Ui Kong dan Gin Siang pergi ke sana? Kata dua orang gadis kembar itu, kakak misan atau juga guru pertama mereka yang bernama Pek-hwa Sianli tinggal di lereng Bukit Ayam Emas. Kalau begitu, mereka berdua tentu pergi ke sana juga.”

“Ah, benar juga katamu, Hwa-moi. Akan tetapi mengapa jalan umum ini begini sepi? Sejak tadi kita tidak melihat ada seorang pun lewat di jalan ini,” kata Bun Sam sambil menghentikan kudanya dan Bwee Hwa juga berhenti.

“Eh, lihat itu ada orang. Akan tetapi mengapa ia melarikan diri begitu melihat kami?” Bwee Hwa menunjuk ke depan. Benar saja. Ada seorang laki-laki muncul di tikungan jalan, akan tetapi begitu melihat mereka berdua, orang itu melarikan diri seperti orang ketakutan.

“Kejar dan tanya dia mengapa dia ketakutan, Sam-ko!”

Tanpa diminta dua kali, Bun Sam sudah melompat turun dari kudanya dan tubuhnya berkelebat, mengejar orang yang melarikan diri ketakutan itu. Sebentar saja dia sudah dapat melewati dan menghadang di depan orang itu. Dia seorang laki-laki setengah tua, berusia sekitar limapuluh tahun dan begitu melihat Bun Sam tiba-tiba saja menghadang di depannya, dia segera menjatuhkan diri berlutut menyembah-nyembah.

“Ampunkan saya, tai-ong (raja besar, sebutan untuk perampok) !” Orang itu memohon ketakutan.

Bun Sam terbelalak. Tai-ong? Dia disangka perampok?

“Paman, bangkitlah dan jangan takut. Aku sama sekali bukan orang jahat dan tidak akan mengganggumu. Percayalah, aku bahkan menolong siapa saja yang diganggu orang jahat. Berdirilah dan mari kita bicara.”

Orang itu memandang penuh perhatian, setelah melihat bahwa yang menghadangnya itu seorang pemuda yang sederhana, baik wajah maupun pakaiannya, mengenakan caping lebar, mulutnya tersenyum ramah, matanya lembut dan tidak memegang senjata, sama sekali bukan seperti penampilan seorang penjahat, dia menjadi lega dan timbul kembali keberaniannya. Dia bangkit berdiri.

“Akan tetapi...... mengapa engkau tadi bersama iblis betina itu berada di sana? Dan mengapa pula mengejar saya?”

“Hemm, aku berada di sana bukan dengan iblis betina, melainkan dengan seorang sahabatku, seorang pendekar wanita. Dan aku mengejarmu karena melihat engkau melarikan diri ketakutan dan aku ingin bertanya mengapa engkau lari. Akan tetapi sekarang aku sudah tahu bahwa engkau ketakutan karena mengira sahabatku itu iblis betina. Nah, sekarang katakan padaku, paman, siapakah yang kau sebut iblis betina itu dan mengapa engkau menyebutnya iblis betina dan di mana ia tinggal?”

Orang yang pakaiannya sebagai petani itu menengok ke kanan kiri dan tampaknya ketakutan. “Saya......

saya takut ”

“Jangan takut. Aku dan sahabatku yang akan melindungimu,” kata Bun Sam dan pada saat itu, Bwee Hwa menunggang kuda menghampiri sambil menuntun kuda tunggangan Bun Sam. Melihat gadis cantik itu kembali orang itu ketakutan, akan tetapi setelah Bwee Hwa turun dan tersenyum kepadanya, rasa takutnya hilang.

“Apa yang terjadi?” tanya Bwee Hwa.

“Paman ini tadi lari ketakutan karena mengira engkau iblis betina,” kata Bun Sam. “Wah, sialan! Aku disangka iblis betina? Menghina sekali kau!”

“Ah, maafkan...... ampunkan saya, nona ” orang itu berkata.

“Hemm, kalau engkau tidak mau bercerita tentang iblis betina itu, sahabatku ini tentu akan marah sekali kepadamu karena engkau menyangka ia iblis betina. Hayo ceritakan, paman.”

“Benar, paman. Kalau engkau tidak mau bercerita, aku benar-benar akan menjadi iblis betina dan marah kepadamu!” kata Bwee Hwa dengan suara galak.

“Ah, maaf...... iblis itu...... ia seorang wanita cantik akan tetapi kejam, suka menculik dan membunuh pemuda-pemuda namanya Pek-hwa Sianli dan tinggalnya di lereng bukit itu. ”

“Ahhh. !!” Bun Sam dan Bwee Hwa berseru demikian kuat sehingga orang itu kembali ketakutan lalu

melarikan diri! Akan tetapi sekali ini, Bun Sam dan Bwee Hwa tidak mengejar.

“Wah, Sam-ko. Kalau begitu Kong-ko dan Gin Siang yang pergi ke sana dapat terancam bahaya!” “Benar, mari kita sekarang juga naik ke sana, Hwa-moi!”

Posting Komentar