Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Heng-san Chapter 71

NIC

Setelah mereka mendapat kesempatan bercakap-cakap, Kam Ki berkata, “Sian-li, engkau menyuruh dua gadis kembar Can untuk membunuhku, bukan?”

Pek-hwa Sianli menciumnya dan menjawab manja. “Habis, engkau sih yang membuat aku susah dan marah, pergi minggat begitu saja. Memang aku menyuruh mereka untuk mencarimu dan membunuhmu, sungguhpun setelah mereka pergi aku merasa menyesal sekali, takut kalau engkau benar-benar terbunuh. Akan tetapi syukur engkau selamat, kekasihku!”

Kam Ki tertawa. “He-he, kaukira dua orang gadis kembar itu mampu me-ngalahkan aku? Tidak, mereka tidak mampu mengalahkan aku, akan tetapi merekapun agaknya mengkhianatimu, Sian-li, karena mereka berdua telah bergabung dengan para pendekar yang memusuhi aku dan perkumpulan yang kupimpin, yaitu Pek-lian-kauw.”

Kam Ki lalu menceritakan tentang penyerbuan Ong Siong Li, Ui Kong dan Lim Bwee Hwa yang kemudian bersatu dengan dua gadis kembar utusan Pek-hwa Sianli itu. Akan tetapi Kam Ki sama sekali tidak menyebut nama Sie Bun Sam sehingga Pek-hwa Sianli mengira bahwa kekasihnya ini kalah karena dikeroyok banyak orang, termasuk dua orang gadis kembar, adik misannya itu.

Selama beberapa hari, Kam Ki dan Pek-hwa Sianli bersenang-senang me-lepaskan kerinduan hati mereka. Segala sesuatu tampak indah bagi Pek-hwa Sianli. Di lubuk hatinya, wanita ini harus mengakui bahwa ia benar-benar jatuh cinta kepada Kam Ki. Bukan sekedar cinta berahi yang selama ini membuatnya mabok. Kini ia benar-benar mencinta Kam Ki, bukan memperalat Kam Ki untuk memuaskan nafsu berahinya seperti terhadap para pemuda lain yang pernah ia permainkan, melainkan sungguh-sungguh mempunyai perasaan kasih sayang, ingin membahagiakan, ingin membela dan siap berkorban apapun demi membahagiakan pemuda ini.

Kurang lebih dua pekan kemudian, pada suatu senja, Kam Ki dan Pek-hwa Sianli duduk berdua di ruangan depan pondok. Mereka tampak santai dan wajah Pek-hwa Sianli tampak lebih cantik daripada biasanya. Kini sepasang matanya bersinar lembut, mulutnya selalu membayangkan senyum dan gerak- gerik tubuhnya nampak lembut, santai dan malas, seperti seekor harimau betina yang kekenyangan sehingga menjadi malas. Mereka duduk berdampingan di atas bangku dan dengan malas dan manja Pek- hwa Sianli menyandarkan kepalanya di dada Kam Ki.

“Sian-li, sungguh tidak baik kalau kita berdua hanya begini saja seperti ini, tinggal di tempat sunyi ini dan tidak melakukan apa-apa.”

“Kekasihku, mengapa engkau berkata demikian? Bukankah kita berdua merasakan kesenangan berdua seolah kita berada di sorga?”

“Akan tetapi kalau begini terus dapat membosankan, Sian-li.” Pek-hwa Sianli bangkit duduk dan menatap tajam wajah pemuda itu. “Bosan? Kam Ki, apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau bosan kepadaku?”

Kam Ki tersenyum dan merangkul. “Bodoh, siapa bisa bosan padamu, Sianli? Bukan engkau yang membosankan, melainkan keberadaanku di tempat sunyi ini, hanya makan tidur dan tidak mempunyai kegiatan apa-apa. Dengar, Sian-li. Aku pernah merasakan kesenangan besar ketika aku memimpin banyak anak buah di Pek-lian-kauw. Aku merasa mempunyai kekuasaan dan mempunyai kedudukan yang kuat. Nah, aku merindukan keadaan seperti itu. Setelah kini kita bersatu, maka kita menjadi lebih kuat dan kalau kita dapat membentuk suatu perkumpulan yang kuat, dengan anak buah yang banyak, maka kita dapat hidup sebagai seorang raja yang memiliki pasukan!”

“Wah, terserah kepadamu, Kam Ki. Aku setuju dan mendukung niatmu itu dan aku akan selalu menyertai dan membantumu. Lalu, apa yang hendak kaulakukan sekarang?”

“Begini, Sian-li. Kalau engkau mendukung keinginanku, besok kita pergi meninggalkan tempat sunyi ini. Aku akan mencari sisa-sisa dari mereka yang dulu menjadi anak buahku. Kita bersama lalu menghimpun tenaga, mengumpulkan orang-orang yang pantas menjadi anak buah kita, lalu memilih sebuah tempat yang baik untuk kita jadikan sarang perkumpulan kita. Kalau keadaan kita sudah kuat seperti itu, kita tidak perlu takut lagi menghadapi permusuhan dengan mereka yang menamakan dirinya pendekar. Bahkan akan kita basmi satu demi satu mereka yang memusuhi kita. Bagaimana pendapatmu?”

Pek-hwa Sianli memandang kekasihnya dan tersenyum manis. “Ah, bagus sekali, Kam Ki. Aku mendukung sepenuhnya!”

Mereka berangkulan dan bermesraan kembali. Akan tetapi tiba-tiba Kam Ki melepaskan rangkulannya. “Dengar, ada yang datang berkuda!”

Pek-hwa Sianli juga mendengarkan. Sejenak mereka berdiam diri, mendengar-kan penuh perhatian. “Benar, ada dua ekor kuda mendaki puncak. Hemm, mungkin sekali mereka adalah dua orang adik misanku yang kembar itu, Kam Ki. Agaknya mereka kembali ke sini.”

“Kalau begitu, aku harus bersembunyi dulu, keluar dari pondok. Aku menantimu di guha karang dan nanti engkau datang menemuiku setelah menyambut kedatangan mereka.”

“Baik, Kam Ki, pergilah.”

Kam Ki lalu keluar dari pondok melalui pintu belakang dan terus pergi ke sebuah guha yang berada sekitar setengah lie (mil) dari pondok itu.

Sementara itu, dengan hati tegang karena sudah mendengar bahwa dua orang adik misannya itu membalik, bersatu dengan para pendekar memusuhi Kam Ki, Pek-hwa Sianli berdiri menanti datangnya dua orang penunggang kuda yang telah terdengar derap kaki kudanya sebelum kelihatan.

Setelah dua orang pemuda itu muncul, Pek-hwa Sianli melihat bahwa seorang di antara mereka adalah Can Gin Siang akan tetapi orang kedua adalah seorang pemuda bertubuh tinggi tegap dan berwajah ganteng, berusia sekitar duapuluh dua tahun yang ia tidak kenal. Dua orang itu setelah tiba di pekarangan pondok lalu turun dari atas kuda mereka. Ui Kong, pemuda itu, membantu tunangannya menambatkan kuda mereka pada sebatang pohon, kemudian mereka melangkah maju menghampiri Pek-hwa Sianli yang masih berdiri menanti di depan pintu pondok.

“Hemm, engkau baru datang, A Gin?” tegur Pek-hwa Sianli, dengan hati bim-bang. Dua macam perasaan teraduk dalam hatinya ketika ia melihat Can Gin Siang. Ia girang bahwa Gin Siang dan Kim Siang tidak berhasil membunuh Kam Ki, akan tetapi ia juga penasaran mendengar betapa dua orang adik misannya itu kini bersatu dengan para pendekar.

Gin Siang menghampiri sampai ke depan Pek-hwa Sianli dan memberi normat, lalu memperkenalkan. “Enci Hwa, ini adalah tunanganku, namanya Ui Kong. Kong-ko inilah enci Pek-hwa Sianli yang juga menjadi guru pertamaku.”

Ui Kong memberi hormat dan Pek-hwa Sianli mengamati wajah pemuda ini dengan sinar mata kagum. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, menggairahkan sekali, bisik hati akal pikirannya yang memang selalu tertarik dan bergairah setiap melihat seorang pria yang tampan.

“Kalian masuklah, kita bicara di dalam, A Gin.”

Mereka bertiga masuk dan duduk di ruangan depan. Untung bahwa di situ tidak terdapat tanda-tanda kehadiran Kam Ki, pikir Pek-hwa Sianli sambil mengerling ke sekitarnya.

“A Gin, mana A Kim dan apa artinya engkau memperkenalkan saudara Ui Kong ini sebagai tunanganmu?”

Gin Siang merasa heran mengapa kakak misannya ini tidak menanyakan tentang tugas yang diberikan kepada ia dan saudara kembarnya, tidak bertanya tentang hasil usaha mereka membunuh Kam Ki. Akan tetapi ia ingin menceritakan semua yang terjadi.

“Begini, enci Hwa. Pertama-tama saya hendak melaporkan bahwa kami berdua telah berhasil bertemu dengan Kam Ki dan menyerangnya. Akan tetapi dengan menyesal saya beritahukan bahwa dia dapat lolos dari tangan kami karena memang dia memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali dan dia telah menjadi pimpinan Pek-lian-kauw. Kami berdua bahkan tertawan olehnya karena kami pingsan ketika dia mempergunakan peledak yang mengandung obat bius. Untunglah muncul kanda Ui Kong ini dan kawan- kawannya sehingga kami dapat terbebas dari bahaya. Kami berdua bersama Kong-ko dan kawan- kawannya berhasil menghancurkan perkumpulan itu akan tetapi Kam Ki dapat meloloskan diri. Kemudian, kami berdua menemukan jodoh kami, enci. Kim Siang bertunangan dengan kakak Ui Kiang dan aku bertunangan dengan Ui Kong ini. A Kim tertinggal di kota Ki-lok membantu tunangannya mengurus perusahan dan mewakilkan aku dan Kong-ko untuk menghadap enci dan memberi kabar tentang semua yang kuceritakan itu.”

Sebetulnya, di dalam hatinya Pek-hwa marah mendengar kedua orang adik misannya itu kini bukan hanya bergabung, bahkan bertunangan dengan orang-orang yang memusuhi Kam Ki. Akan tetapi wanita yang cerdik ini memperlihatkan wajah gembira. Ia dapat menduga bahwa pemuda bernama Ui Kong ini tentu seorang yang tangguh maka dapat menolong dua orang adik misannya yang tertawan Kam Ki dan Pek-lian-kauw, dan iapun tahu bahwa tingkat kepandaian A Gin tidak berselisih jauh dengan tingkatnya sendiri setelah dua orang gadis kembar itu berguru kepada Hoa-san Kui-bo, bibi gurunya yang bertapa di Hoa-san. Maka ia bersikap ramah agar mereka tidak curiga. “Ah, aku senang sekali mendengar kalian berdua telah mendapatkan jodoh, A Gin. Kapan akan diadakannya perayaan pernikahannya?”

“Secepatnya, enci. Dan kami datang ini selain untuk melaporkan yang tadi, juga untuk mengundang agar enci dapat menghadiri perayaan pesta pernikahan kami di Ki-lok.”

“Tentu saja, A Gin. Sekarang, hari telah menjelang malam dan kalian telah melakukan perjalanan jauh. Mari, kalian mandi dan berganti pakaian dulu agar segar kembali, kemudian kita makan malam dan bicara lebih lanjut. Kalian mandi dan mengaso dulu sementara aku akan mencari beberapa macam bumbu masakan di luar.”

“Ah, tidak perlu merepotkanmu, Enci Hwa.” “Tidak ada yang repot, kalian mandilah dulu.”

Pek-hwa Sianli lalu meninggalkan pondok, diam-diam menekan kemarahannya karena kini A Gin menyebutnya “enci Hwa” tidak lagi menyebut seperti dulu. Sebutan ini diucapkan Gin Siang sebagai tanda keakraban bersaudara, akan tetapi bagi Pek-hwa Sianli dianggap tidak menyenangkan karena ia lebih senang disebut Sianli yang berarti Dewi!

Setelah meninggalkan pondok, Pek-hwa Sianli cepat mengambil jalan memutar menuju ke guha di mana Kam Ki telah menantinya dengan tidak sabar.

“Yang datang adalah Can Gin Siang bersama tunangannya. Tunangannya itu bernama Ui Kong yang katanya membantunya menyerbu Pek-lian-kauw dan ikut mengeroyokmu. Iapun menceritakan bahwa Kim Siang juga bertunangan dengan kakaknya Ui Kong itu. Gin Siang datang selain untuk melaporkan kegagalannya membunuhmu, juga mengundangku ke perayaan pernikahan dua orang gadis kembar itu. Sekarang bagaimana baiknya, Kam Ki?”

“Kalau menurut engkau, bagaimana baiknya?”

“Kalau kita maju bersama, kukira tidak akan terlalu sukar untuk mengalahkan mereka. Mari kita bunuh saja mereka!”

Kam Ki mengangguk. “Mari kita bunuh laki-laki itu, akan tetapi Gin Siang jangan dibunuh dulu. Sayang kalau langsung dibunuh. Aku masih ingat, ia cantik jelita. Kita tangkap ia hidup-hidup dan serahkan saja ia kepadaku, nanti kalau aku sudah bosan akan kubunuh.”

“Uh, engkau mau enak sendiri saja!” Pek-hwa Sianli bersungut. “Ui Kong itu pun muda dan tampan sekali. Kalau engkau mau bersenang-senang, akupun juga. Diapun tidak langsung boleh dibunuh!”

Kam Ki tersenyum menyeringai, maklum akan maksud wanita itu. “Kalau begitu, kita tangkap mereka, kita bersenang-senang, baru kita bunuh mereka. Begitukah?”

“Ya, akan tetapi kalau membunuh mereka tidak begitu sukar, sebaliknya kalau hendak menangkap hidup-hidup, bukan merupakan pekerjaan mudah! Ingat, merekapun memiliki kepandaian yang cukup tinggi dan tangguh sekali.” “Ha-ha, apa sukarnya? Ketahuilah, aku membawa obat bius dari Pek-lian-kauw. Kalau dicampurkan arak, tidak akan terasa sama sekali dan bekerjanya cepat. Kusimpan dalam buntalan pakaianku dalam kamarmu. Pergunakan itu. Kalau mereka sudah pingsan, kita pergunakan obat perangsang milikmu itu dan kita bersenang-senang.”

Pek-hwa Sianli mengangguk-angguk dengan gembira. Kemudian ia pergi, kembali ke pondok dan langsung sibuk di dapur untuk masak. Tentu saja sebelum itu ia sudah mengambil obat atau racun pembius dari buntalan pakaian Kam Ki dalam kamarnya dan mencampurkannya dengan arak dalam guci arak yang akan dihidangkannya nanti.

Setelah selesai mandi dan bertukar pakaian, Gin Siang membantu kesibukan Pek-hwa Sianli di dapur, sedangkan Ui Kong mengurus kuda, memberi dua ekor kuda itu makan dan minum.

Malampun tiba. Kini tiga orang itu sudah duduk sekeliling meja makan. Dengan gembira mereka makan dan minum dan Pek-hwa Sianli menuangkan arak merah yang harum baunya ke cawan masing-masing. Tentu saja sebelumnya ia sudah menelan obat penawar atau pemunah racun pembius yang berada dalam arak itu.

Ketika mereka makan minum, Kam Ki telah mendekati pondok dengan hati-hati, tanpa menimbulkan suara sedikitpun dan dia mengintai dari luar ruangan makan. Jantungnya berdebar tegang dan girang melihat Can Gin Siang yang cantik jelita itu.

Begitu cawan pertama diminum Ui Kong dan Gin Siang, Pek-hwa Sianli sudah menuangkan arak dari guci itu kembali memenuhi cawan mereka.

“Mari kita minum untuk merayakan perjodohan antara kalian yang sungguh amat menggembirakan hatiku!” katanya sambil mengangkat cawan. Tentu saja Ui Kong dan Gin Siang tidak menolak maksud baik itu dan mereka pun mengangkat cawan lalu minum isinya sampai habis.

Posting Komentar