Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Heng-san Chapter 70

NIC

“Wah, kalau engkau bersikap dan bicara seperti ini, Sam-ko, engkau meng-ingatkan aku kepada suhu-ku, dan kepada kakak Ui Kiang.”

“Suhumu Sin-kiam Lojin memang seorang bijaksana dan Ui Kiang juga seorang yang baik budi dan luas pengetahuannya. Setiap orang manusia seyogianya mengerti akan makna kehidupan ini, mengenal diri pribadi sedalam-dalamnya sehingga mudah menyadari akan setiap kesalahan dan dapat segera mengubahnya. Setiap orang manusia patut menyadari bahwa dia diciptakan Tuhan hidup di dunia ini agar dia berguna bagi manusia dan dunia, bukan sekadar makan tidur dan terombang-ambing antara kesenangan dan kesusahan, lalu mati tanpa meninggalkan kesan. Lebih celaka lagi kalau sampai kita tersesat, bukan melakukan kebaikan yang bermanfaat bagi manusia dan dunia, melainkan melakukan kejahatan yang mencelakakan manusia lain dan mengotori dunia.” Mereka melanjutkan perjalanan dan dalam diri pemuda itu Bwee Hwa merasa mendapatkan seorang sahabat yang dapat pula dijadikan guru atau pembimbing dalam kehidupan. Mereka melanjutkan perjalanan dan karena Bun Sam ingin mendahulukan keperluan Bwee Hwa, maka dia mengajak Bwee Hwa untuk berjalan menuju Heng-san, pegunungan tempat tinggal Sin-kiam Lojin yang ingin dikunjungi gadis itu.

Setelah tiba di sebuah kota, Bwee Hwa membeli dua ekor kuda untuk tunggangan mereka karena mereka telah meninggalkan kuda mereka di dusun itu dengan diam-diam. Karena tidak ingin ada orang mengetahui kepergian mereka, maka mereka terpaksa meninggalkan dua ekor kuda itu dan kini Bwee Hwa menggunakan uang bekal pemberian kedua orang kakak angkatnya untuk membeli dua ekor kuda.

Setelah mendapatkan dua ekor kuda yang baik dan kuat, Sie Bun Sam dan Lim Bwee Hwa melanjutkan perjalanan mereka. Derap kaki kuda mereka me-ninggalkan kota itu, makin lama semakin sayup lalu tak terdengar lagi. Mereka berdua menuju Heng-san yang cukup jauh dari situ dan siap siaga menghadapi segala pengalaman baru dengan bekal sikap pendekar yang selalu membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan yang didasari keangkara-murkaan manusia yang disesatkan iblis melalui nafsu- nafsu daya rendah yang berada dalam diri setiap orang manusia.

Pek-hwa Sianli duduk termenung di depan pondoknya di lereng Bukit Ayam Emas. Pagi itu udaranya cerah, sinar matahari yang masih muda mendatangkan kehangatan mengusir sisa hawa dingin berkabut yang ditinggalkan sang malam.

Wanita cantik yang tampak berusia duapuluh tahun walaupun usianya sudah tigapuluh tahun itu selama beberapa minggu ini tampak murung. Ia kini tinggal seorang diri saja di pondoknya karena ia telah membunuh A-hui dan A-kui, dua orang gadis pelayannya karena mereka telah berjina dengan Thio Kam Ki yang menjadi kekasihnya.

Perginya Kam Ki membuat ia sedih dan kecewa sekali. Ia tergila-gila kepada pemuda itu, bukan hanya karena pemuda itu tampan dan memiliki daya tarik yang amat kuat, juga masih perjaka ketika pertama kali bertemu dengannya, akan tetapi terutama sekali karena pemuda itu amat lihai sehingga dapat diandalkan dan akan memperkuat kedudukannya, dapat membelanya kalau ia mendapat serangan musuh-musuhnya.

Pek-hwa Sianli tahu bahwa ia dimusuhi para pendekar, terutama setelah ia, dibantu oleh Kam Ki, telah membunuh Siang-to Sam Heng-te (Tiga Kakak Beradik Bergolok Pasangan), tiga orang pendekar yang memusuhinya karena ia mereka ketahui sering menculik pemuda-pemuda dan membunuh mereka kalau ia sudah merasa bosan mempermainkan mereka.

Semenjak ia membunuh A-hui dan A-kui, dan Kam Ki pergi meninggalkannya, kemudian ia menyuruh dua gadis kembar Can Kim Siang dan Can Gin Siang untuk mencari dan membunuh Kam Ki, ia tidak betah tinggal di lereng Bukit Ayam Emas. Ia telah mencoba menghibur diri dengan pergi ke tempat jauh dari bukit itu dan bersenang-senang dengan pemuda yang dapat diculik dan dibujuknya. Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama karena setelah ia bertemu dengan Kam Ki tidak ada lagi pria yang dapat menewaskan hatinya. Ia segera merasa bosan dan akhirnya ia kembali ke pondoknya dan seringkali termenung. Ia diam-diam merasa bingung.

Ada perasaan dendam kepada Kam Ki karena pemuda itu meninggalkanya, akan tetapi juga ada rasa rindu kepada pemuda itu. Maka, diam-diam ia merasa menyesal mengapa ia menyuruh dua orang adik misannya, sepasang gadis kembar itu, untuk mencari dan membunuh Kam Ki. Sepasang gadis kembar itu kini lihai sekali setelah menjadi murid Hoa-san Kui-bo, kalau sampai mereka berhasil membunuh Kam Ki, ia akan merasa kehilangan dan bersedih sekali! Akan tetapi semua itu telah terlanjur dan inilah yang membuat ia kini seringkali termenung dengan murung.

Terdengar bunyi kicau burung di atas pohon yang tumbuh di depan pondok itu. Pek-hwa Sianli mencari dengan pandang matanya dan ia melihat dua ekor burung sedang berkicau dan bercumbu di atas ranting pohon. Melihat kemesraan sepasang burung itu, timbul perasaan iri yang membuat hatinya seperti terbakar. Ia segera mengambil sepasang sumpit yang tadi ia pergunakan untuk sarapan bubur dan sekali kedua tangannya bergerak, dua batang sumpit itu meluncur seperti anak panah menuju ke atas pohon dan beberapa detik kemudian tubuh dua ekor burung itu jatuh ke bawah pohon, terkapar mati dengan tubuh tertusuk sumpit!

Tiba-tiba terdengar orang bertepuk tangan dan Pek-hwa Sianli cepat bangkit berdiri dan memutar tubuhnya. Ia terbelalak, akan tetapi wajahnya berseri ketika ia melihat Kam Ki telah berdiri di situ dengan senyumnya yang selalu terbayang olehnya!

“.......kau .......!” katanya dan suaranya terdengar aneh karena mengandung bermacam perasaan. Ada kejutan, ada kegembiraan, akan tetapi bercampur dengan kemarahan, juga keharuan.

Kam Ki memperlebar senyumnya dan sepasang matanya memandang dengan sinar penuh kasih sayang, sinar mata yang sempat membuat wanita itu tergila-gila.

“Sian-li, aku datang karena sudah tidak dapat menahan rasa rinduku kepadamu. Akan tetapi sebelumnya agaknya kita harus menjernihkan dulu kekeruhan yang ada di antara kita. Boleh aku duduk dan kita berbicara dari hati ke hati?”

Sebetulnya Pek-hwa Sianli merasa gembira sekali dan ingin ia menyambut kemunculan pemuda itu dengan pelukan kasih sayang. Akan tetapi sebagai wanita ia mengambil sikap seolah ia tidak acuh, dan berkata dengan dingin, “Silakan.”

Kam Ki bukan orang bodoh. Dia sudah mengenal baik wanita itu, maka dari sinar mata Pek-hwa Sianli saja dia sudah mengetahui bahwa wanita itu menyambut kedatangannya dengan penuh gairah cinta! Dia lalu duduk di atas kursi, berhadapan dengan Pek-hwa Sianli. Lalu dia mengambil sebuah peti berukir kecil dari sakunya dan memberikannya kepada Pek-hwa Sianli.

“Ini aku membawa sedikit hadiah untukmu. Terimalah, Pek-hwa Sianli.”

Dengan tetap mengambil sikap ogah-ogahan wanita itu menerima peti kecil itu dan meletakkan di atas meja yang berdiri di antara mereka.

“Buka dan lihatlah isinya, Sian-li.”

Pek-hwa Sianli adalah seorang wanita yang memiliki banyak harta benda, tentu saja ia tidak membutuhkan barang apapun. Ia mampu membeli perhiasan yang bagaimana bagus dan mahalpun, bahkan iapun akan dapat dengan mudah mencuri barang indah yang diinginkannya kalau ia tidak mampu membelinya. Akan tetapi, pemberian dari pemuda itu diam-diam membuat jantungnya berdebar, penuh kegembiraan karena hadiah dari seorang pria menunjukkan akan cinta pria itu kepadanya. Dibukanyalah tutup peti itu.

Sebuah hiasan rambut dari emas dengan permata indah berkilauan menyambut pandang matanya. Ia girang sekali, akan tetapi menahan mulutnya agar tidak menyuarakan perasaan hatinya. Ia bahkan menutup kembali peti itu.

“Kam Ki, apa yang akan kau bicarakan?” Untuk menunjukkan kemarahannya ia tidak lagi menyebut kakak kepada Kam Ki yang sesungguhnya memang antara tujuh tahun lebih muda daripadanya.

“Aku ingin bicara denganmu tentang hubungan kita yang terputus secara mengecewakan.” “Hemm, siapa yang bikin putus? Engkau meninggalkan aku tanpa pamit!”

“Memang benar. Aku mengakui itu, akan tetapi, Sian-li, kepergianku itu adalah untuk menjaga agar jangan terjadi pertentangan dan keributan di antara kita. Melihat engkau membunuh A-hui dan A-kui, maka aku rasa lebih baik kalau untuk sementara aku pergi dan menjauhkan diri darimu agar tidak terjadi keributan.”

Pek-hwa Sianli cemberut. “Tentu saja aku membunuh mereka karena mereka berani main gila denganmu!”

“Aih, engkau tidak adil, Sian-li. Kita saling mencinta, akan tetapi tidak harus saling mengikat. Engkau boleh berhubungan dengan laki-laki lain, mengapa aku tidak boleh? Itu tidak adil namanya. Sekarang begini, Sian-li. Setelah berpisah darimu, baru aku merasa amat kehilangan dirimu dan aku merasa rindu padamu. Nah, kuharap engkau suka bersikap jujur. Bagaimana perasaanmu terhadap diriku? Apakah sekarang menjadi benci dan tidak mau bersahabat lagi dengan aku? Akui saja terus terang.”

“Hemm, kalau mau bersahabat lagi bagaimana dan kalau tidak bagaimana?”

“Nah, pertanyaan itu aku suka, Sianli. Kita harus jujur dan terbuka dalam hubungan kita. Kalau engkau tidak mau bersahabat lagi, aku akan pergi dan tidak akan mendekatimu lagi. Kita boleh tidak bersahabat, akan tetapi tidak perlu bermusuhan. Sebaliknya, kalau engkau ingin bersahabat lagi, aku akan merasa senang sekali. Akan tetapi dalam hubungan kita itu kita harus tetap bebas. Engkau boleh saja berhubungan, dengan laki-laki lain, demikian pula aku boleh berhubungan dengan wanita lain. Bukankah ini adil namanya? Kita dapat saling membantu dalam segala hal, jadi sama-sama untung, sama-sama senang. Bagaimana pendapatmu?”

Sampai lama Pek-hwa Sianli terdiam, berpikir dan mempertimbangkan dalam hatinya. Kemudian wajahnya berseri dan bibirnya yang tadinya cemberut itu kini tersenyum. Ia menyadari bahwa usul pemuda itu memang cocok dengan isi hatinya. Ia sendiripun akhirnya akan bosan dengan Kam Ki dan menginginkan teman pria baru. Dan memang akan menyenangkan sekali kalau mereka berdua tetap bebas. Dan selain Kam Ki merupakan pria yang dapat menyenangkan hatinya, pemuda itupun dapat menjadi kawan, bahkan pelindung yang amat boleh diandalkan dengan kesaktiannya!

“Anak nakal, tega benar engkau meninggalkan aku kesepian seorang diri sampai begitu lama! Kaukira hanya engkau yang rindu? Akupun rindu setengah mati, kau bocah nakal!” “Jadi engkau setuju dengan syaratku tadi?”

“Tentu saja, bodoh! Kenapa tidak dari dulu kaukatakan kepadaku? Engkau sebaliknya malah minggat!”

Kedua orang itu sama-sama bangkit berdiri dan saling berpelukan dengan mesra. Keduanya menumpahkan rasa rindu dengan bercinta sepuas hati mereka.

Posting Komentar