“Kalau dia tidak mau, baru aku akan menggunakan kekerasan dan paksaan, akan tetapi bukan membunuhnya,” kata Bun Sam.
Ui Kiang mengangguk-angguk. “Ah, kak Bun Sam sungguh merupakan seorang pendekar budiman. Ilmu silatnya tinggi dan hatinya penuh kelembutan. Dia benar, Hwa-moi. Kita harus belajar memberi maaf kepada orang lain, apa lagi kalau orang itu mau bertaubat dan mengubah jalan hidupnya yang sesat. Manusia manakah di dunia ini yang sempurna? Hanya Thian (Tuhan) Yang Maha Sempurna. Setiap orang manusia pasti berdosa, pasti pernah melakukan kesalahan, hanya kadarnya saja yang berbeda menurut ukuran kebudayaan dan peradaban manusia sendiri. Kalau kita tidak dapat memaafkan kesalahan orang lain, bagaimana Tuhan akan sudi mengampuni kesalahan kita? Setiap orang dari kita pasti mempunyai kesalahan, maka kalau ada orang lain bersalah, sudah sepatutnya kalau kita memberi maaf. Sam-ko, kebijaksanaanmu semakin mengagumkan hatiku, maka kuharap sukalah engkau menerima undangan kami!”
“Sam-ko, aku sendiri menganggap Kiang-ko dan Kong-ko seperti kakak sendiri, maka akupun ikut mengundangmu!” kata Bwee Hwa yang entah bagaimana, ingin sekali memperdalam hubungan persahabatnya dengan Sie Bun Sam.
“Kalau Bu Sam-ko tidak mau menerima undangan itu, kamipun merasa tidak enak untuk menerimanya!” kata pula Can Gin Siang.
“Ah, Gin-moi, engkau harus datang!” kata Ui Kong sambil memandang wajah gadis itu dengan penuh harapan.
Melihat semua orang membujuknya untuk memenuhi undangan kakak beradik Ui itu, Bun Sam tertawa. “Aha, baiklah kalau begitu. Aku akan pergi bersama kalian.”
Semua orang bergembira dan karena tadi Ui Kiang minta kepada para perwira pasukan untuk memberi dua ekor kuda lagi, maka kini enam orang itu meninggalkan tempat itu dengan menunggang kuda.
Enam orang muda itu tiba dengan selamat di rumah gedung keluarga Ui. Ui Kiang dan Ui Kong lalu memerintahkan para pelayan untuk menyiapkan pesta untuk menghormati para tamunya. Dan atas permintaan Bwee Hwa, mereka juga mempersiapkan sebuah meja sembahyang untuk mendoakan agar arwah Ong Siong Li mendapatkan tempat yang baik.
Sepasang gadis kembar memperoleh sebuah kamar, dan masing-masing sebuah kamar untuk Sie Bun Sam dan Lim Bwee Hwa. Gedung keluarga Ui yang kaya itu memang merupakan gedung besar dan memiliki banyak kamar. Kini keluarga Ui itu tinggal Ui Kiang dan Ui Kong yang tentu saja merasa repot sekali harus mengurus semua perusahaan peninggalan ayah mereka. Untung bagi mereka, mendiang Hartawan Ui Cun Lee adalah seorang dermawan sehingga para pegawainya amat setia sehingga dapat dipercaya untuk mengurus perusahaan itu.
Malam itu, Ui Kiang dan Ui Kong menjamu empat orang tamu mereka. Di dalam kamarnya Bwee Hwa duduk melamun. Ia masih bingung memikirkan urusannya dengan kedua orang saudara Ui itu. Oleh mendiang ibunya, ia dijodohkan dengan seorang dari mereka, dan mendiang ayah ibu dua orang muda itupun sudah setuju menerimanya sebagai mantu. Akan tetapi bagaimana dengan Ui Kiang dan Ui Kong sendiri? Mereka berdua tampak kagum dan tertarik kepadanya, bahkan seperti berlumba mengambil hatinya. Akan tetapi hal itu bukan menjadi bukti bahwa mereka mencintanya.
Dan yang terpenting, ia sendiri tidak mempunyai rasa cinta terhadap mereka, walaupun ia suka kepada mereka berdua yang merupakan pemuda-pemuda yang baik. Tidak ada sedikitpun keinginan dalam hatinya untuk diperisteri seorang di antara mereka. Akan tetapi, apakah ia harus membangkang terhadap pesan terakhir ibunya? Inilah yang membuat Bwee Hwa melamun dengan hati risau. Dua orang kakak beradik itu memang tampan. Yang seorang adalah sastrawan yang memiliki kebijaksaan dan berpemandangan luas tentang kehidupan. Yang lain adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu silat tinggi. Ditambah lagi mereka itu kaya-raya. Mereka akan dapat menjadi suami yang baik, hal ini tidak diragukan hati Bwee Hwa.
Tampan, pandai, bijaksana, kaya-raya. Apalagi yang kurang bagi seorang wanita? Akan tetapi, ia harus mengaku dalam hatinya bahwa ia tidak mempunyai perasaan cinta seorang wanita terhadap pria, tidak ingin menjadi isteri mereka, hanya suka menjadi sahabat baik atau saudara.
Kerisauan hatinya membuat Bwee Hwa merasa panas dan ia segera keluar dari kamarnya yang menghadap ke taman. Ia ingin mencari udara segar untuk menenangkan hatinya. Begitu keluar dari kamar, udara segar, angin semilir lembut dan keharuman bunga-bunga menyambutnya. Ia merasa senang dan berjalan-jalan di dalam taman yang luas dan penuh tanaman pohon-pohon buah dan bunga- bunga yang mekar semerbak harum. Taman itu memang indah. Apalagi malam itu bulan tiga perempat bulat berseri di langit yang tiada mendung.
Bwee Hwa menemukan sebuah kolam ikan di tengah taman dan di tepi kolam terdapat bangku panjang. Ia lalu duduk di atas bangku. Kerisauan hatinya sudah terbawa angin semilir dan hatinya kini merasa tenteram kembali.
Tiba-tiba ia mendengar orang-orang bicara dan langkah kaki mereka menuju ke tempat di mana ia duduk. Bwee Hwa cepat bangkit dari bangku dan menyelinap ke balik sebatang pohon yang besar. Siapa tahu mereka itu musuh yang datang dengan niat jahat, pikirnya. Akan tetapi hatinya lega ketika melihat bahwa yang datang adalah Ui Kiang dan Ui Kong. Ia hendak keluar menyambut mereka, akan tetapi menahan gerakannya ketika ia mendengar namanya disebut-sebut.
“Urusan dengan Hwa-moi harus kita selesaikan sekarang juga, Kiang-ko, selagi ia masih berada di sini agar keraguan ini dapat segera diakhiri dan diambil keputusan di antara kita.” Demikian Bwee Hwa mendengar suara Ui Kong yang berkata kepada Ui Kiang.
“Mari kita duduk dan bicara dengan hati terbuka, Kong-te. Memang selama ini aku merasa seolah kita bersaing untuk memperisteri Hwa-moi,” ajak Ui Kiang.
Dua orang muda itu duduk dan tentu saja Bwee Hwa makin tertarik untuk mendengarkan percakapan mereka yang menyangkut dirinya.
“Biar, Kiang-ko. Terus terang saja, tadinya akau amat tertarik kepada Hwa-moi. Siapa yang tidak akan tertarik? Ia cantik jelita dan ilmu silatnya tinggi. Akan tetapi setelah aku melihat Can Gin Siang, baru aku menyadari bahwa aku jatuh cinta kepada Gin-moi dan terhadap Hwa-moi aku hanya merasa kagum dan suka sebagai seorang sahabat atau saudara. Karena itu, menikahlah dengan Lim Bwee Hwa, Kiang-ko karena engkau yang lebih berhak sebagai saudara tua.”
“Wah, keadaan kita sama, Kong-te. Akupun menganggap Hwa-moi sebagai sahabat atau saudara saja. Engkau sebenarnya lebih tepat dan cocok untuk menjadi suaminya, kalian sama-sama pendekar. Selain itu, aku juga perlu membuat pengakuan, yaitu bahwa pertemuanku dengan Can Kim Siang membuat aku yakin bahwa aku mencintanya.”
“Aduh, bagaimana sekarang?” kata Ui Kong dengan suara sedih. Kedua orang pemuda itu berdiam diri, tenggelam dalam lamunan masing-masing. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa di balik batang pohon besar itu, Bwee Hwa mendengarkan percakapan mereka dan gadis itu hampir bersorak kegirangan mendengar pengakuan mereka! Seketika lenyap keraguan dan kerisauan dari dalam hatinya.
“Akupun bingung memikirkan persoalan ini. Aku tidak berani mengaku di depan Hwa-moi bahwa aku tidak dapat menjadi suaminya. Hal itu akan menyinggung perasaannya, padahal ia begitu baik terhadap keluarga kita.”
“Akupun tidak berani, koko. Padahal ia yang datang kepada kita untuk me-menuhi pesan mendiang ibunya untuk menyerahkan diri menjadi isteri seorang di antara kita. Sekarang bagaimana kita dapat menolaknya? Siapa yang berani bicara terus terang kepadanya? Ia tentu akan merasa tersinggung, merasa ditolak dan mungkin penolakan kita akan dianggap sebagai penghinaan baginya. Ah, aku bingung sekali, Kiang-ko? Bagaimana baiknya ini?”
Ui Kiang menghela napas panjang. “Ah, aku sendiri masih bingung memikirkan hal ini, Kong-te. Dulu, aku mengira bahwa adik Lim Bwee Hwa saling mencinta dengan adik Ong Siong Li. Akan tetapi, sekarang dia telah tewas. Kalau masih ada dia, tentu saja dia dapat menolong kita. Kalau Hwa-moi dapat berjodoh dengan dia, berarti kita terbebas dari ikatan jodoh yang ditentukan ibu kita itu. Akan tetapi Ong Siong Li telah tiada.”
“Bukan soal adik Lim Bwee Hwa saja yang membingungkan, Kiang-ko, akan tetapi juga mengenai perasaan cinta kita terhadap dua orang gadis kembar itu. Bagaimana kalau mereka tidak mau menerima cinta kita? Dan bagaimana pula kita akan mengajukan pinangan seandainya mereka membalas cinta kita? Ingat bahwa bukan hanya kita yang yatim piatu, akan tetapi mereka juga sudah tidak mempunyai ayah ibu lagi.”
“Ah, aku sendiri bingung, Kong-te. Engkau tahu bahwa akupun sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam urusan cinta dan perjodohan.”
Kedua orang kakak beradik itu tampak bingung dan tidak dapat mengambil keputusan apa yang harus mereka lakukan menghadapi urusan mereka dengan Bwee Hwa dan dengan dua orang gadis kembar.
“Marilah malam ini kita masing-masing pikirkan secara mendalam agar besok kita dapat menemukan jalan terbaik untuk mengatasi masalah ini,” kata Ui Kiang dan kedua orang kakak beradik itu, lalu meninggalkan taman itu, kembali ke kamar masing-masing.
Setelah mereka pergi, Bwee Hwa keluar dari tempat sembunyiannya, sepasang matanya bersinar dan wajahnya cerah, bibirnya tersenyum. Hatinya merasa girang bukan main mendengar percakapan dua orang kakak beradik itu. Masalah yang ia hadapi dengan hati bingung kini telah terpecahkan oleh pengakuan dua orang pemuda dalam percakapan mereka tadi. Mereka tidak ingin berjodoh dengannya karena mencinta sepasang gadis kembar itu! Hatinya merasa lega. Ia sendiri walaupun kagum dan suka kepada mereka, akan tetapi tidak ada keinginan sedikitpun untuk menjadi isteri seorang dari mereka.
Bwee Hwa tersenyum seorang diri ketika ia mendapatkan sebuah gagasan yang amat baik menurut pendapatnya. Ia akan menjadi comblang di antara mereka! Kalau kedua orang kakak beradik itu dapat menjadi suami isteri Kim Siang dan Gin Siang, berarti ia bebas! Ikatan perjodohan dengan seorang di antara kedua kakak beradik yang dulu dibuat oleh mendiang ibunya dan mendiang ibu mereka, telah putus. Kalau hal itu terjadi karena kedua orang pemuda itu tidak ingin berjodoh dengannya, bukan berarti ia telah tidak menaati pesan terakhir ibunya!
Dengan senyum masih menghias bibirnya karena ia gembira sekali dan telah merencanakan apa yang akan dilakukannya besok untuk memenuhi gagasannya tadi, Bwee Hwa meninggalkan taman dan kembali ke kamarnya dan dapat tidur dengan nyenyak. Sama sekali ia tidak tahu bahwa tadi ketika ia mendengarkan percakapan kedua kakak beradik itu, ada bayangan lain yang melihatnya dan ikut mendengarkan percakapan Ui Kiang dan Ui Kong itu. Bayangan itu adalah Sie Bun Sam yang secara kebetulan, tanpa disengaja, juga mencari hawa segar di taman itu.
Pada keesokan harinya, setelah mandi dan bertukar pakaian, Bwee Hwa men-datangi kamar sepasang gadis kembar itu. Mereka tinggal sekamar dalam se-buah kamar yang besar yang diperuntukkan mereka oleh kakak beradik Ui. Setelah dipersilakan masuk, Bwee Hwa mendapatkan sepasang gadis kembar itu juga telah mandi dan memakai pakaian yang bersih dan rapi.
“Wah, sepagi ini engkau sudah begini cantik dan rapi! hendak ke manakah engkau, kami harap engkau tidak ingin segera pergi meninggalkan tempat ini,” kata Kim Siang.
Bwee Hwa tersenyum mengamati mereka berdua. “Wah, siapa yang lebih rapi dan cantik? Kalian juga tampak segar bagaikan dua kuntum bunga yang amat indah menarik. Masa aku hendak meninggalkan tempat yang indah dan menyenangkan ini? Apakah kalian tidak menganggap rumah kedua orang kakak angkatku ini kurang nyaman dan enak untuk dijadikan tempat tinggal?”
“Wah, kami senang sekali berada di sini, Hwa-moi. Rumah ini besar dan indah, juga terawat bersih dan rapi. Dari jendela kamar ini kami dapat melihat taman bunga yang juga amat indah. Kami senang sekali tinggal di sini dan pagi ini kami berdua ingin sekali melihat-lihat keadaan kota Ki-lok ini,” kata Gin Siang.
“Nah, itu baik sekali. Kota ini lumayan ramainya dan mendiang ayah kedua kakak Ui adalah salah seorang hartawan yang amat terkenal di sini karena kedermawanannya. Juga di luar kota kira-kira sepuluh lie (mil) dari sini terdapat Kuil Bah-hok-si yang amat terkenal dengan patung Kwan-im yang kita rampas dari sarang Pek-lian-kauw itu. Kuil itu amat besar dan indah, dikunjungi banyak orang, bahkan dari kota-kota besar lain.”
“Wah, kalau begitu mari kita pergi ke sana, adik Bwee Hwa!” kata Kim Siang dengan gembira.
“Boleh saja, akan tetapi nanti dulu. Kunjunganku ke kamar kalian ini sesung-guhnya membawa tugas yang amat penting.”
“Tugas penting?” Gin Siang memandang penuh selidik, diikuti Kim Siang. “Tugas apakah itu dan siapa pula yang menugaskan, Hwa-moi?”
“Terus terang saja, aku telah dianggap sebagai adik sendiri oleh kedua kakak Ui. Mereka sudah tidak mempunyai ayah ibu, maka akulah yang kejatuhan tugas ini dari mereka. Sebelumnya aku harap kalian tidak menjadi marah kepadaku.”