Ia mengerahkan seluruh tenaga untuk menghentikan pengaruh itu agar ia tidak mengatakan sanggup. Pada saat ia bersitegang melawan pengaruh yang semakin kuat itu, tiba-tiba terdengar suara ketawa di belakangnya.
"Ha-ha-heh-heh, lihat, Bibi Gangga Dewi! Dua orang tosu itu sungguh lucu. Apa yang sedang mereka lakukan itu? Apakah mereka itu dua orang anak wayang yang sedang membadut?"
Mendengar suara ketawa dan ucapan Yo Han itu, seketika lenyaplah pengaruh sihir yang hampir menguasai dirinya dan lenyap pula "hawa"
Yang membangkitkan bulu roma tadi. Dua orang tosu itu terbelalak memandang ke arah Yo Han. Ketika anak itu tertawa lalu bicara,
Mereka berdua merasa betapa kekuatan sihir mereka yang mereka kerahkan itu membalik seperti gelombang melanda diri mereka sendiri sehingga mereka menjadi sesak napas dan terpaksa menghentikan ilmu sihir itu! Ang I Moli juga melihat semua ini dan ia berkata.
"Nah, sudah kukatakan bahwa anak itu bukan anak sembarangan. Dia terkena jarum-jarumku tapi tidak mati, dan segala kekuatan sihir tidak mempengaru-hinya. Sekarang baru kalian percaya? Hayo kalian bunuh perempuan asing itu dan aku yang akan menangkap anak itu!"
Kalau Gangga Dewi, Ang I Moli dan dua orang tosu Pek-lian-kauw itu tercengang keheranan melihat peristiwa tadi, Yo Han sendiri tidak merasakan sesuatu yang aneh. Dia memang tidak merasakan apa-apa, dan kalau tadi dia mentertawakan dua orang tosu itu karena memang dia merasa heran dan geli melihat tingkah mereka.
Sama sekali dia tidak mengerti bahwa dua orang tosu itu mela-kukan sihir, dan sama sekali dia pun tidak tahu bahwa suara ketawanya membuyarkan semua pengaruh sihir mereka. Di luar kesadarannya sendiri, ada kekuatan mujijat dari kekuasaan Tuhan yang selalu melindungi anak ini. Kekuatan mujijat ini mungkin saja timbul karena kepercayaannya yang total kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Bukan sekedar percaya di mulut seperti yang dimiliki kebanyakan orang. Kita semua mengaku berTuhan, akan tetapi pengakuan kita itu sungguh amat meragukan, apakah pengakuan itu timbul dari dalam dan sesungguhnya, ataukah pengakuan itu hanya keluar dari pikiran yang bergelimang nafsu. Kalau hanya pengakuan mulut dan pikiran saja, tidak ada gunanya sama sekali. Buktinya, kita mengaku berTuhan namun kita masih berani melakukan hal-hal yang tidak benar.
Kita adalah orang-orang munafik yang teringat kepada Tuhan hanya kalau kita membutuhkan pertolongan atau perlindu-ngan saja, hanya teringat kepada Tuhan kalau kita sedang menderita. Kita melupakan Tuhan begitu nafsu mencengkeram kita, begitu kita berenang di lautan kesenangan duniawi. Sejak kecil sekali, melalui kitab-kitab yang dibacanya, kemudian dikembangkan oleh perasaan yang peka, Yo Han bukan sekedar mengaku berTuhan. Melainkan dia dapat merasakan kekuasaanNya dalam diri, yakin dan selalu ingat, selalu pasrah. Begitu mutlak kepercayaannya kepada Tuhan sehingga ia pasrah dan menyerah. Hanya kepada Tuhanlah dia berlindung karena dia tidak beribu-bapa lagi dan ancaman maut tidak cukup kuat untuk membuat dia takut dan lupa akan kepasrahan dan penyerahannya.
Inilah yang membuat dia di luar kesadarannya, selalu diliputi kekuasaan Tuhan. Dan di dunia ini, kekuatan atau kekuasaan apakah yang mampu menandingi kekuasaan Tuhan? Apalagi hanya permainan sihir dari dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu, permainan sihir yang bersandar kepada kekuasaan iblis, tentu saja tidak depat menyentuh Yo Han yang sudah dilindungi kekuasaan maha dahsyat yang tidak nampak. Kwan Thian-cu dan Kui Tuian-cu saling pandang dan mereka merasa betapa tengkuk mereka dingin. Belum pernah selama hidup mereka ada orang yang mampu membuyarkan kekuatan sihir mereka tanpa pengerahan kekuatan batin. Kalau hanya lawan yang memiliki kekuatan batin tanggung-tanggung saja, tentu akan menyerah dan tunduk terhadap kekuatan sihir mereka berdua yang disatukan.
Akan tetapi anak kecil itu, anak belasan tahun, hanya dengan ketawa polosnya telah mampu membuyarkan kekuatan sihir mereka? Ataukah wanita peranakan barat itu yang memiliki kemampuan ini? Akan tetapi mereka lihat betapa tadi wanita itu sudah hampir menyerah kepada mereka. Diam-diam mereka bergidik dan jerih terhadap anak kecil itu. Maka, mendengar permintaan Ang I Moli, mereka merasa girang. Lebih nyaman di hati menghadapi dan mengeroyok wanita itu daripada harus menangkap anak ajaib itu! Mereka lalu meloncat dan menyerang Gangga Dewi dengan senjata mereka. Gangga Dewi mengelak dengan lompatan ke sampihg sambil menggerakkan tangan melolos sabuk sutera putihnya. Akan tetapi dua orang tosu Pek-lian kauw itu mendesak, dengan serangan-serangan mereka yang ganas.
Sungguh janggal sekali melihat dua orang berpakaian pendeta kini memainkan golok dan pedang, menyerang seorang wanita dengan dahsyat dan buas, dengan muka beringas dan nafsu membunuh menguasai mereka, membuat mereka seperti dua ekor binatang buas yang haus darah. Mutu batin seseorang tidak terletak pada pakaiannya atau kedudukannya. Akan tetapi, kita sudah terlanjur hidup di dalam masyarakat di mana nilai-nilai kemanusiaan diukur dari keadaan lahiriahnya, dari pakaiannya. Pangkat, kedudukan, predikat dan pekerjaan, harta, bahkan sikap dan kata-kata hanya merupakan pakaian belaka. Semua itu dapat menjadi topeng yang palsu. Namun, kita sudah terlanjur suka akan yang palsu-palsu. Kita menghormati seseorang karena hartanya, karena pangkatnya. Kita menilai seseorang dari kedudukannya, dari sikapnya.
Padahal, seorang pendeta belum tentu saleh, seorang pembesar belum tentu bijaksana, seorang hartawan belum tentu dermawan, seorang yang bermulut manis belum tentu baik hati. Kita tersilau oleh kulitnya, sehingga tidak lagi mampu melihat isinya. Hal ini disebabkan karena batin kita sebagai penilai juga sudah bergelimang nafsu, sehingga penilaian kita pun didasari keuntungan diri kita sendiri. Yang menguntungkan kita lahir batin itulah baik, yang merugikan kita lahir batin itulah buruk! Karena kita semua tahu bahwa yang dinilai tinggi oleh manusia adalah pakaiannya, yaitu nama besar, harta dunia, kedudukan tinggi, penampilan dan semua pulasan luar, maka kita pun berlumba untuk mendapatkan semua itu. Kita memperebutkan kedudukan, harta dan sebagainya karena dari kesemuanya itulah kita mendapat penghargaan dan penghormatan.
Kita lupa bahwa penghargaan dan penghormatan semua itu adalah palsu, kita lupa bahwa yang dihormati adalah pakaian kita, harta kita, kedudukan kita, nama kita! Kita semua makin hari makin lelap dalam alam kemunafikan. Kita seyogianya bertanya kepada diri sendiri. Apakah kita termasuk ke dalam kelompok munafik ini? Bilakah kita akan sadar dari kelelapan kemunafikan ini, menjadi penganut peradaban yang tidak beradab, kemoralan yang tidak bermoral? Pertanyaan selanjutnya, kalau sudah menyadari keadaan yang buruk ini, beranikah kita untuk keluar dari dunia kemunafikan ini dan hidup baru sebagai manusia seutuhnya? Manusia yang patut disebut manusia, makhluk kekasih Tuhan, yang berakal pikir, berakhlak, bersusila, berbudi dan berbakti kepada Sang Maha Pencipta?
Kesadaran seperti itu hanya dapat timbul apabila kita mau dan berani mawas diri, bercermin bukan sekedar mematut-matut diri dan memperelok muka, melainkan bercermin menjenguk dan mengamati keadaan batin kita, pikiran kita, isi hati kita. Berani melihat kekotoran yang selama ini melekat dalam batin kita. Kalau sudah begini, baru dapat diharapkan timbulnya kesadaran dan kesadaran ini mendatangkan perasaan rendah diri di hadapan Tuhan! Pikiran tidak mungkin membersihkan kekotoran ini, karena pikiran sudah bergelimang nafsu, sehingga apa pun yang dilakukannya tentu mengandung pamrih kepentingan diri, demi keenakan dan kesenangan diri, lahir maupun batin.
Namun, kerendahan diri membuat kita pasrah, membuat kita menyerah total kepada Tuhan Yang Maha Kasih, menyerah dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan. Dan Tuhan Maha Kasih! Pasti Tuhan akan membimbing orang yang menyerah sebulatnya menyerah dengan kerendahan diri sehingga di dalam penyerahan ini, pikiran tidak ikut campur dan karenanya, penyerahan itu mutlak dan tanpa pamrih, penuh kerendahan hati, penuh kerinduan dan cinta kasih kepada Tuhan yang telah mengasihi kita tanpa batas! Dari sini akan timbul gerak hidup yang wajar, manusiawi, tidak palsu dan tidak munafik lagi. Pertempuran hebat terjadi setelah Gangga Dewi memutar sabuk sutera putih di tangannya.
Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu mengeroyoknya dan setelah lewat beberapa jurus saja, tahulah Gangga Dewi bahwa kedua orang lawannya ini lihai sekali. Menghadapi seorang dari mereka saja belum tentu dia akan menang, apalagi dikeroyok dua. Namun, bukan hal ini yang merisaukan hatinya, melainkan keselamatan Yo Han. Anak itu kini menghadapi Ang I Moli, wanita iblis yang amat berbahaya dan keji itu. Dan memang Yo Han terancam bahaya ketika Ang I Moli menghampirinya dengan mata bersinar-sinar dan mulut menyeringai. Wajahnya yang cantik nampak menyeramkan dan membayangkan kekejaman yang mengerikan. Yo Han juga maklum bahwa dia terancam bahaya namun dia sama sekali tidak merasa takut. Anak berusia dua belas tahun itu sejak mulai ada pengertian, sudah menyerah kepada Tuhan sehingga tidak mengenal arti takut lagi.
Dia yakin benar bahwa nyawanya berada di tangan Tuhan dan bahwa kalau Tuhan tidak menghendaki, jangankan baru seorang manusia sesat macam Ang I Moli, biar semua iblis dan setan menyerangnya, dia tidak akan mati! Keyakinan yang sudah mendarah-daging ini membuat dia tabah dan kini dia berdiri menghadapi Ang I Moli yang menghampirinya dengan sinar mata tenang dan jernih.
"Hi-hi-hik, Yo Han, engkau hendak lari ke mana sekarang? Tidak ada lagi yang akan mampu meloloskan engkau dari tangan-ku, heh-heh!"
Ang I Moli menghampiri semakin dekat dan mulutnya berliur karena ia membayangkan betapa seluruh darah dalam tubuh anak ajaib itu akan dihisapnya dan ia akan segera dapat menguasai ilmu dahsyat yang diidamkannya itu.
"Ang I Moli, aku tidak akan lari ke mana pun. Kalau Tuhan meng-hendaki, maka Dia yang akan meloloskan aku dari tanganmu!"
Mendengar jawaban itu, Ang I Moli tertawa terkekeh-kekeh.
"Ha-ha-ha-heh-heh! Tuhan? Mana Tuhanmu itu? Suruh dia keluar melawanku, heh-heh!"
Ia lalu menerjang ke depan, jari tangannya menotok ke arah pundak Yo Han karena ia bermaksud menangkap anak itu dan perlahan-lahan menikmati korbannya. Yo Han tidak pernah berlatih silat. Biarpun secara teori dia tahu bahwa wanita itu menyerangnya dengan totokan, dan dia tahu pula betapa sesungguhnya amat mudah untuk mematahkan serangan ini, namun karena tubuhnya tak pernah dilatih, maka dia tidak dapat melakukan hal itu dan dia pun diam saja, hanya pasrah kepada Tuhan.
"Tukk!!"
Jari tangan Ang I Moli menotok jalan darah di pundak dan tubuh Yo Han tiba-tiba menjadi lemas dan dia terkulai roboh. Ang I Moli terkekeh, akan tetapi ketika ia menengok dan melihat betapa dua orang suhengnya itu, walaupun sudah dapat mendesak Gangga Dewi namun belum berhasil merobohkan dan membunuhnya, lalu ia meloncat dengan pedang di tangan untuk membantu dua orang suhengnya.
Tentu saja Gangga Dewi menjadi semakin repot melayani pengeroyokan tiga orang lawan yang lihai itu. Tadi pun dikeroyok oleh dua orang tosu, ia sudah terdesak dan hanya mampu melindungi diri saja tanpa mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Namun, dengan memainkan gabungan dari ilmu Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Iblis) dan Pat-sian Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa) melalui sabuk sutera-nya, sambil mengerahkan tenaga Inti Bumi yang kesemuanya itu dahulu ia dapatkan dari gemblengan ayahnya, ia masih dapat membela diri dan sejauh itu belum ada ujung senjata para pengeroyok mengenai dirinya. Namun, kalau ia harus terus mempertahankan diri tanpa balas menyerang, akhirnya ia tentu akan kehabisan tenaga dan akan roboh juga.
"Heiii, kalian ini orang-orang yang berwatak pengecut sekali! Mengeroyok seorang wanita bertiga. Percuma saja kalian mempelajari ilmu silat kalau hanya untuk mengeroyok secara curang dan pengecut."