Kisah Si Bangau Merah Chapter 27

NIC

Keindahan yang ditemukan oleh nafsu yang bersembunyi di dalam pandang mata tiada lain hanyalah kesenangan.

Dan segala macam bentuk kesenangan merupakan permainan nafsu dan selalu membosankan. Nafsu tak pernah mengenal batas tak pernah mengenal kepuasan yang mutlak, selalu meraih dan menjangkau yang belum dicengkramnya. Oleh karena itu, kita cenderung untuk mengagumi dan menikmati sesuatu yang baru kita dapatkan. Namun kalau sesuatu yang baru itu menjadi sesuatu yang lama, akan pudarlah keindahannya sehingga kita tidak mampu menikmatinya lagi. Itulah sebabnya mengapa orang kota dapat menikmati keindahan di alam pegunungan, sebaliknya orang dusun di pegunungan dapat menikmati keindahan kota! Orang kota akan bosan dengan keadaan di kota, sebaliknya orang dusun juga bosan akan keadaan di dusun. Baik orang kota maupun orang dusun selalu mengejar yang tidak mereka miliki.

Pengejaran ini memang menjadi sifat nafsu daya rendah. Dan pengejaran inilah sumber penyebab kesengsaraan. Kalau tidak tercapai apa yang kita kejar, kecewa dan duka menindih batin kita. Kalau tercapai apa yang kita kejar, hanya sebentar saja kita menikmatinya, kemudian kita merasa bosan atau juga kecewa karena yang kita capai itu tidaklah seindah yang kita bayangkan semula ketika kita mengejarnya. Karena itu, orang bijak-sana tidak akan mengejar sesuatu yang tidak dimilikinya, tidak menginginkan sesuatu yang bukan milik-nya. Kalau sudah begitu, dia akan menikmati segala yang dimilikinya sebagai yang terindah dan terbaik. Segala keindahan terletak di dalam keadaan batin kita sendiri, bukan terletak di luar badan. Sepiring masakan termahal, akan terasa hambar di mulut kalau batin sedang keruh,

Sebaliknya sebungkus nasi dengan kecap termurah akan terasa nikmat di mulut kalau batin sedang jernih. Hal-hal yang paling sederhana pun akan terasa nikmat dan indah bagi panca-indra kita kalau batin kita dalam keadaan jernih. Dan batin yang jernih adalah suatu keadaan, bukan hasil buatan pikiran. Keadaan batin yang jernih timbul oleh kekuasaan Tuhan, dan kita hanya dapat menyerah dan pasrah dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Kalau sudah begitu, apa pun yang terjadi kepada diri kita, kita terima dengan penuh rasa syukur dan dengan penuh keyakinan bahwa semua itu sudah dikehendaki Tuhan dan Tuhan tahu apa yang baik bagi kita! Tidak mabok oleh keadaan yang kita anggap menyenangkan, tidak mengeluh oleh keadaan yang kita anggap tidak menyenangkan.

Penyerahan total kepada Tuhan menimbulkan kewaspadaan dan kebijaksanaan sehingga kita dapat melihat bahwa di dalam segala peristiwa terkandung kekuasaan Tuhan sehingga sebaliknya dari mabok kesenangan dan mengeluh kesusahan, kita meneliti untuk menemukan hikmahnya dalam setiap peristiwa. Setelah sesaat berdiri seperti patung menikmati keindahan alam di sekelilingnya, Gangga Dewi menarik napas panjang, sepanjang mungkin sehingga tubuhnya dapat menampung hawa udara yang bersih dan segar sejuk. Beberapa lamanya ia berlatih pernapasan untuk membuang semua hawa kotor dari dalam tubuh, menggantikannya dengan hawa udara yang jernih dan mengandung kekuatan mujijat itu. Tiba-tiba Gangga Dewi menangkap pundak Yo Han dan menariknya sambil meloncat ke belakang.

"Singgg....!"

Sebuah benda mengkilat menyambar lewat.

"Ada apakah, Bibi?"

Tanya Yo Han, Gangga Dewi melepaskan Yo Han di belakangnya dan ia pun melangkah ke depan, menjauhi tebing. Yo Han mengikuti dari belakang dan kini dia tidak bertanya lagi karena dia sudah melihat pula munculnya tiga orang itu. Seorang di antara mereka adalah Ang I Moli, hal ini dapat dilihat dengan jelas walaupun mereka itu masih agak jauh, karena pakaiannya yang serba merah.

"Itu mereka!"

Teriak Ang I Moli yang tadi menyambitkan senjata rahasianya yang beracun berupa jarum dan yang telah dielakkan oleh Gangga Dewi.

"Akhirnya kita dapat menemukan mereka!"

Kini tiga orang itu telah tiba di depan Gangga Dewi yang seolah melindungi Yo Han yang berada di belakangnya.

Melihat cara mereka berlari mendaki dengan amat cepat itu, tahulah Gangga Dewi bahwa dua orang yang datang bersama Ang I Moli itu pun bukan orang-orang lemah. Ia memandang dengan penuh perhatian. Dua orang itu adalah laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun. Yang seorang bertubuh gendut dengan perut seperti perut kerbau dan mukanya bulat, sedangkan yang kedua bertubuh kecil katai seperti anak berusia balasan tahun, akan tetapi mukanya penuh keriput dan kelihatan jauh lebih tua datipada usia sebenarnya. Mereka itu mengenakan jubah pendeta dengan rambut digelung ke atas seperti kebiasaan yang dilakukan para tosu (pendeta To). Tosu yang gendut dengan muka seperti kanak-kanak selalu tersenyum cerah akan tetapi sinar matanya kejam itu tertawa.

"Ha-ha-ha, Moli! Engkau mengganggu ketenangan kami, mengajak kami berlari-lari mengejar, kiranya yang kau cari hanya seorang bocah seperti itu, dapat kita temukan ratusan orang banyaknya di pasar, tinggal pilih. Kenapa susah-susah?"

"Hemmm, engkau mana tahu? Sudahlah, anak itu urusanku, aku mengajak kalian untuk menghadapi perempuan asing ini!"

Kata Ang I Moli.

"Moli, engkau bilang bahwa engkau tidak mampu mengalahkan perempuan ini? Aneh sekali! Apa sih keahliannya?"

Kata pula tosu yang katai kecil memandang rendah Gangga Dewi. Gangga Dewi menegakkan kepalanya dan sepasang matanya mencorong penuh kemarahan, memandang kepada tiga orang itu dengan sikap angkuh.

"Ang I Moli, engkau sungguh seorang iblis betina yang tidak tahu malu! Anak ini tidak sudi ikut denganmu karena engkau jahat, cabul dan keji, dan engkau hendak memakannya, hendak membunuhnya dengan minum darahnya. Aku mencegah terjadinya kekejaman itu dan hanya menghajarmu agar engkau menyadari kesesatanmu. Kiranya sekarang engkau datang mengajak dua orang kawanmu! Hemm, agaknya memang sudah sepantasnya orang macam engkau yang berwatak iblis ini dibasmi dari permukaan bumi!"

"Kwan Suheng dan Kui Suheng, kalian hadapi perempuan asing itu, biar aku yang akan menangkap bocah itu!"

Ang I Moli berseru.

"Heh-heh-heh, Moli Sumoi (Adik Seperguruan) yang baik. Kenapa harus repot-repot? Biar kami menundukkan mereka agar mereka menyerah dengan suka rela, tidak perlu merepotkan dan melelahkan badan,"

Kata tosu gendut.

"Benar, kami akan tundukkan mereka dengan sihir!"

Kata tosu katai. Mereka adalah suheng (kakak seperguruan) Ang I Moli dalam perkumpulan Pek-lian-kauw, yang gendut bernama Kwan Thian-cu, yang katai bernama Kui Thian-cu.

Kini keduanya melepas ikatan rambut sehingga rambut mereka riap-riapan, dan Kwan Thian-cu mencabut golok, Kui hian-cu mencabut pedang. Akan tetapi mereka tidak menggunakan senjata itu untuk menyerang, melainkan mereka memegang senjata itu lurus di depan muka seperti mencium senjata itu. Mata mereka terpejam, mulut berkemak kemik membaca doa, tangan kiri membuat gerakan melingkar-lingkar di depan dada, kemudian telunjuk kiri membuat coret-coret di udara seperti sedang melukis atau menuliskan sesuatu. Kemudian dengan senjata mereka di kedua tangan, mereka membuat gerakan menyembah ke atas, lalu ke bawah, lalu ke empat penjuru. Barulah mereka membuka mata memandang kepada Gangga Dewi dan Yo Han, dan kini Si Katai mengeluarkan suara yang terdengar penuh wibawa.

"Dengar dan lihatlah, perempuan berkerudung kuning, dan engkau anak laki-laki! Semua kekuatan hitam di empat penjuru membantu kami! Kekuasaan langit dan bumi melindungi kami! Kalian berdua akan tunduk dan menurut kepada kami, melakukan apa saja yang kami perintahkan! Sanggupkah kalian?"

Gangga Dewi terkejut bukan main. Ia merasa betapa bulu tengkuknya meremang, tanda bahwa ada hawa atau kekuatan yang tidak wajar sedang menyerang dan mempengaruhinya. Kata-kata yang keluar dari mulut Si Katai itu menembus hatinya. Ia tahu bahwa dua orang tosu itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang lihai dan ia pernah melatih diri dengan menghimpun kekuatan batin untuk menolak pengaruh sihir. Ia sudah mengerahkan tenaga itu, akan tetapi ada dorongan yang amat kuat membuat ia terpaksa membuka mulut.

"Aku sang.... sang...."

Posting Komentar