Kisah Si Bangau Merah Chapter 26

NIC

"Pencuri itu sendiri yang menawarkan barang perhiasannya kepada hamba, dan dia pula yang mengaku bahwa perhiasan itu milik Yang Mulia Siang Hong-houw. Karena hamba ingin berbakti kepada Paduka, maka hamba lalu menyerangnya, membunuhnya, membawa kepalanya sebagai bukti dan hendak mengembalikan kotak terisi perhiasan ini kepada Yang Mulia Siang Hong-houw!"

Kata Ciang Sun dengan penuh semangat. Kaisar Kian Liong mengangguk-angguk dan menoleh kepada permaisurinya. Wanita cantik itu mengerutkan alisnya, sejak tadi matanya tidak pernah meninggalkan buntalan kuning yang bulat itu. Kaisar memberi isarat kepada pengawal pribadinya.

"Bawa peti itu mendekat sini dan buka agar kami dapat melihat isinya. Siang Hong-houw tentu akan mengenal apakah benar peti berisi perhiasan itu miliknya."

Pengawal memberi hormat, lalu mengambil buntalan kain merah yang ditaruh di atas lantai depan Ciang Sun, membawanya mendekat dan membuka buntalan itu. Siang Hong-houw tentu saja segera mengenal peti hitam kecil miliknya dan tahulah ia apa yang terjadi. Tentu pembantunya yang setia itu telah terbunuh dan ia bergidik melirik ke arah buntalan kain kuning. Dan ia pun segera dapat menggunakan kacerdikannya untuk menduga apa yang terjadi. Penolakannya untuk menyetujui rencana pembunuhan atas diri Kaisar itulah yang menjadi sebabnya. Tentu Mo Si Lim dibunuh untuk di jadikan korban, agar seorang pembunuh dapat menyelundup masuk! Ia melirik ke arah Ciang Sun yang kebetulan juga melirik kepadanya, kemudian ia menangkap sinar mata berkilat dari orang kurus itu ke arah Kaisar. Ia pun dapat menduga. Orang ini pembunuh kejam! Kaisar terancam.

"Buka peti itu,"

Kata Kaisar dan pengawal membukanya. Nampaklah isi peti itu. Perhiasan yang berkilauan dan gemerlapan.

"Hong-houw, milikmukah perhiasan itu?"

Tanya Kaisar Kian Liong. Siang Hong-houw mengangguk. Kaisar Kian Liong mengerutkan alisnya dan marah kepada pencuri yang berani mengambil barang perhiasan permaisurinya yang tercinta.

"Buka buntalan itu. Kami ingin melihat siapa yang berani mencurinya!"

Pengawal lalu mengham-piri buntalan kuning dan membukanya. Nampaklah kepala Mo Si Lim dengan mata melotot. Siang Hong-houw mengeluarkan seruan tertahan.

"Dia.... Muslim, thai-kam yang setia!"

Teriaknya.

"Sribaginda, orang ini tentu pembunuh yang berbahaya! Memang hamba menyuruh Muslim untuk menjual perhiasan itu, perhiasan yang dulu hamba bawa dari Sin-kiang, untuk diberikan kepada fakir miskin di Sin-kiang karana hamba mendengar mereka hidup sangsara. Sama sekali bukan perhiasan yang hamba dapatkan dari Paduka, melainkan milik hamba pribadi. Akan tetapi, Muslim dibunuh.... orang ini tentu penjahat. Mungkin dia mempunyai niat jahat terhadap Paduka!"

Tiba-tiba Siang Hong-houw meloncat ke dekat Sribaginda. Ia seorang wanita yang pernah belajar ilmu silat dan cepat ia sudah mencabut pedang yang tergantung di dekat kursi singasana Kaisar. Ciang Sun marah sekali ketika mendengar betapa Siang Hong-houw yang tadinya diharapkan akan membantunya, dan yang bahkan telah menyatakan dukungannya terhadap Thian-li-pang, kini tiba-tiba membuka rahasianya dan menggagalkan kesempatan yang diperolehnya untuk menyelundup ke dalam istana Kaisar agar dapat membunuh Kaisar. Dia maklum bahwa saatnya hanya sekarang. Kalau dia tidak bertindak sekarang, akan terlambat karena dia tentu akan ditangkap dan dihukum.

"Hidup Thian-li-pang! Mampuslah Kaisar penjajah Mancu!"

Teriakan ini melengking nyaring mengejutkan semua. orang sehingga para pengawal tertegun dan tidak bergerak ketika Ciang Sun melompat ke arah Sribaginda Kaisar. Biarpun dia bertangan kosong, namun dengan nekat dia meloncat dan menyerang, ke arah Kaisar. Akan tetapi, Siang Hong-houw sudah memutar pedangnya, merupakan perisai di depan Kaisar sehingga serangan Ciang Sun itu tentu saja tidak berhasil, bahkan terpaksa dia meloncat ke samping. Selagi dia hendak menyerang Hong-houw untuk merampas pedang, kini para pengawal sudah menyerbu dan mengeroyoknya.

"Bunuh penjahat itu!"

Siang Hong-houw berseru dan ia lalu menggandeng Kaisar, cepat-cepat dilarikan masuk ke dalam. Ciang Sun mengamuk. Akan tetapi, yang mengeroyoknya adalah para pengawal dalam yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi, bahkan di antara mereka terdapat pula panglima-panglima yang menjadi jagoan istana, maka dalam waktu singkat saja dia telah roboh dan tewas! Cepat para pengawal menyingkirkan mayatnya, juga menyingkirkan kepala Mo Si Lim, dan ada yang menyimpan peti hitam kecil untuk kelak disampaikan kepada Siang Hong-houw.

Tentu saja peristiwa itu menggagalkan rencana orang-orang Thian-li-pang untuk membunuh Kaisar, bahkan menggagalkan pula usaha mereka mendapatkan sumbangan dari Siang Hong-houw. Dan di lain pihak, Puteri Harum berjasa besar dan Kaisar semakin percaya kepadanya. Namun, peristiwa itu pun diam-diam membuat Siang Hong-houw menjadi bersedih sekali. Bukan saja bersedih karena kehilangan pembantunya yang setia, Muslim, akan tetapi juga bersedih karena ia terpaksa harus melakukan dua hal yang bertentangan dan meresahkan batinnya sendiri. Di satu pihak, ia mendukung Thian-li-pang yang ia tahu merupakan perkumpulan para patriot yang hendak mengusir penjajah Mancu, bangsa yang juga telah membasmi suku bangsanya sendiri, bahkan yang telah membunuh ayahnya dan suaminya.

Akan tetapi di lain pihak, ia bersetia kepada Kaisar Kian Liong yang telah menjadi suaminya dan yang secara pribadi bersikap amat baik dan penuh kasih sayang kepadanya. Peristiwa ini demikian mengguncang hati Sang Puteri sehingga semenjak terjadinya peristiwa itu, ia tidak pernah sehat lagi, sakit-sakitan. Ia hidup dengan batin merana sampai kurang lebih delapan tahun dan dalam tahun 1788 meninggal dunia karena penyakit akibat penderitaan batin ini, dalam usia yang belum tua benar. Demikianlah keadaan kota raja dan istana Kaisar Kian Liong pada waktu itu. Dalam usia tuanya, Kian Liong mengalami kemunduran dalam pemerintahannya dan pemberontakan-pemberontakan timbul di daerah-daerah perbatasan. Biarpun demikian, dia merupakan satu di antara kaisar-kaisar di Cina yang paling lama memegang tampuk kerajaan, yaitu selama enam puluh tahun (1736-1796).

"Alangkah indahnya pemandangan alam di pegunungan ini, Yo Han!"

Seru Gangga Dewi. Yo Han yang berhenti melangkah pula, memandang kepada wanita itu. Seorang wanita yang nampak gagah berdiri dengan perkasa, cantik dan agung, wajah berseri dan kedua pipi kemerahan tanda sehat. Angin pegunu-ngan bersilir mempermainkan rambut halus yang terlepas dari ikatan dan bermain di depan dahi. Mulut wanita itu tersenyum cerah dan pandang matanya membelai tamasya alam yang terbentang luas di depan mereka, di bawah sana. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Yo Han diselamatkan dari tangan Ang I Moli oleh Gangga Dewi,

Dan kini Yo Han melakukan perjalanan bersama Gangga Dewi, membantu wanita Bhutan ini untuk mencari Suma Ciang Bun karena Yo Han merasa yakin bahwa Suma Ciang Bun akan dapat memberitahu kepada Gangga Dewi di mana ayah wanita itu berada. Yo Han ikut melayangkan pandang matanya ke bawah sana. Bagaikan sebuah lukisan mujijat, tamasya alam itu terbentang luas di depan kakinya. Seperti dilukis dengan indahnya lereng bukit itu. Memang indah sekali, akan tetapi Yo Han merasa heran mengapa Gangga Dewi begitu kagum melihat keindahan alam itu. Bagi dia, dimana-mana terdapat keindahan alam itu, biarpun berbeda-beda keadaannya, namun dia selalu menemukan keindahan dimana pun, seperti melihat seribu macam bunga, bentuk dan warnanya berbeda-beda, namun setiap tangkai bunga mengandung keindahan agung!

"Aku sudah mendengar bahwa Pegunungan Tapa-san memiliki tamasya alam yang amat indah. Baru sekarang aku menyaksikan kebenaran berita itu. Betapa bahagianya Suma Ciang Bun itu hidup di tempat yang memiliki lingkungan seindah ini."

Posting Komentar