Mendengar suara ini, dua orang gagah itu saling pandang, kemudian mereka segera melangkah ke kiri sampai melalui tiga batang obor.
"Maju melalui sebatang obor...."
Kembali terdengar suara itu.
"Lalu ke kanan melalui empat batang obor....!"
Dituntun oleh suara itu, dua orang gagah itu bergerak sambil terus menangkisi anak panah. Suara itu terus menuntun mereka sampai akhirnya mereka dapat masuk makin jauh dan tidak ada lagi anak panah dapat mencapai mereka. Tak lama kemudian, suara yang memimpin itu membawa mereka tiba di depan pintu rumah di tengah-tengah kelilingan benteng obor! Pintu rumah terbuka dan tampaklah panglima pertama dari Bhutan, yaitu Panglima Sangita yang mengawal raja berburu.
"Masuklah cepat, untung kalian masih dapat tertolong."
Dua orang itu cepat masuk dan daun pintu ditutup lagi oleh Panglima Sangita. Begitu memasuki rumah, dua orang gagah itu terkejut dan girang sekali melihat bahwa Raja Bhutan telah berada di situ, duduk di atas sebuah kursi dalam keadaan sehat dan selamat.
Dan di depan raja itu berdiri seorang laki-laki yang aneh. Laki-laki yang rambutnya panjang riap-riapan, rambut yang sudah putih semua, wajahnya masih kelihatan segar tidak setua rambutnya, sepasang matanya tajam bersinar-sinar aneh penuh wibawa, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi, pakaiannya sederhana dan kelihatannya seperti orang biasa saja. Yang paling menyolok adalah keadaan kakinya. Kaki kirinya buntung sebatas paha, dan dia berdiri bersandar pada sebatang tongkat butut. Juga sikapnya amat menyolok karena dia seolah-olah tidak bersikap hormat kepada Raja Bhutan, melainkan bersikap biasa saja berdiri bersandar tongkat di depan tubuh dan meja di belakangnya. Melihat rajanya, dengan girang Jayin lalu menjatuhkan diri berlutut, dan Tan-ciangkun juga berlutut di depan Raja Bhutan.
"Hamba menghaturkan selamat bahwa paduka masih dalam keadaan selamat!"
Kata panglima itu dengan girang dan bersyukur.
"Berkat pertolongan orang gagah ini,"
Kata Raja Bhutan sambil menunjuk ke arah laki-laki berkaki buntung itu.
"Kami dan Panglima Sangita sudah dikepung musuh dalam rumah ini, dan Panglima Sangita mempertahankan diri mati-matian. Tiba-tiba muncul orang gagah ini yang memukul mundur musuh kemudian membuat benteng obor sehingga musuh tidak dapat masuk ke sini. Bangkitlah kalian dan mari kita rundingkan bagaimana baiknya agar kami dapat pulang ke kota raja."
Setelah mendapat perkenan raja, kedua orang itu bangkit.
"Sri baginda, sahabat ini adalah pengawal kaisar, bernama Tan Siong Khi, dia datang bersama rombongan utusan kaisar."
"Ahhh, sungguh menyesal, Tan-ciangkun. Urusan itu terpaksa ditunda karena kami tertahan di sini. Hal itulah yang membuat kami banyak pikiran dan ingin lekas dapat kembali ke kota raja."
Tiba-tiba mereka semua dikejutkan oleh Tan Siong Khi yang begitu melihat pria buntung itu, segera menjatuhkan diri berlutut di depan laki-laki itu! Baru sekarang dia melihat laki-laki itu, karena tadi dia berlutut menghadap Raja Bhutan.
"Harap taihiap sudi memaafkan saya yang tidak tahu. Kiranya taihiap yang telah menyelamatkan raja!"
Sikap Tan Siong Khi merendah dan juga penuh hormat dan kagum. Laki-laki buntung itu menahan senyumnya dan berkata halus,
"Tan-ciangkun, apa perlunya segala kesungkanan ini? Raja Bhutan sendiri tidak memperkenankan kau berlutut, apa lagi hanya aku! Bangkitlah dan mari kita duduk membicarakan cara untuk menyelamatkan raja dari tempat ini."
Raja Bhutan dan dua orang panglimanya, tentu saja terheran-heran. Panglima Tan Siong Khi adalah seorang yang berkedudukan tinggi, selain menjadi pengawal kepercayaan kaisar, juga menjadi pemimpin rombongan utusan kaisar untuk memboyong puteri Bhutan. Akan tetapi pengawal itu berlutut di depan laki-laki buntung yang gagah perkasa ini!
Tentu saja mereka tidak tahu, karena laki-laki itu adalah seorang pendekar sakti di Tiongkok. Dia bukan lain adalah Pendekar Super Sakti, atau Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es yang bernama Suma Han. Tentu saja bukan tidak ada sebabnya mengapa seorang pengawal kaisar sampai memberi penghormatan dengan berlutut. Pendekar Siluman ini adalah mantu kaisar! Isterinya, Puteri Nirahai adalah puteri kaisar yang amat terkenal. Bahkan puteri pendekar luar biasa ini, Puteri Milana, sekarang menjadi seorang puteri di kota raja, cucu kaisar dan telah menikah dengan seorang panglima muda yang berkedudukan tinggi, yaitu Panglima Han Wi Kong. Maka sepatutnyalah kalau pengawal ini berlutut di depan mantu kaisar ini, bukan hanya karena kedudukannya, juga karena kepandaiannya yang amat hebat, membuat Pengawal Tan tunduk dan kagum!
"Harap paduka rundingkan rencana penyelamatan paduka dengan tiga orang gagah ini, saya sendiri hendak meneliti keadaan di luar."
Tiba-tiba pendekar itu berkata dan terpincang-pincang dia menuju ke pintu, membuka pintu dan berdiri di samping pintu, termenung memandang keluar ke arah benteng obor yang dibuatnya. Ketika dia melihat raja dan panglimanya dikepung siang tadi, dia sudah cepat menolong, akan tetapi sukarlah mengalahkan ratusan orang Mongol dan Tibet itu. Tentu saja dia tidak mau memihak dan membunuhi mereka, maka untuk menyelamatkan raja dalam sementara waktu, dia lalu membuat benteng obor itu. Raja Bhutan lalu mengajak kedua panglimanya dan Tan-ciangkun untuk berunding.
"Betapapun juga, besok hari kami harus sudah berada di kota raja. Urusan puteri kami amatlah penting, dan kalau makin terlambat, tentu akan tidak menyenangkan hati kaisar. Ahh, salahku sendiri mengapa pergi berburu menghadapi urusan besar. Dan mengapa manusia-manusia biadab itu tidak dibasmi sejak dahulu!"
"Mereka itu jumlahnya lebih tiga ratus orang, mungkin kini sudah ditambah lagi dan mereka bersembunyi mengurung tempat ini,"
Kata Panglima Sangita yang berusia lima puluh tahun itu.
"Pasukan kita masih menanti agak jauh, dan sudah hamba pesan untuk bergerak pada besok pagi-pagi. Kalau pasukan kita datang, tentu dengan mudah menghancurkan mereka,"
Berkata Panglima Jayin.
"Bagus kalau begitu!"
Kata raja.
"Kita menanti sampai besok pagi."
"Sayang sekali, obor-obor ini tidak akan dapat bertahan sampai besok pagi. Sebentar lagi juga padam karena kehabisan minyak,"
Tiba-tiba terdengar suara halus tenang, suara Pendekar Siluman dan suara ini pula yang tadi "menuntun"
Jayin dan Tan Siong Khi sampai di rumah itu. Mereka terheran, kecuali Tan-ciangkun, betapa orang buntung itu dapat mendengarkan percakapan mereka, padahal dia sendiri jauh di ambang pintu depan dan kelihatan termenung memandang keluar.
"Ah, kalau begitu bagaimana?"
Raja bertanya khawatir.
"Bagaimana kalau kita bertiga menerjang keluar, kemudian seorang di antara kita lari memanggil pasukan?"
Jayin mengusulkan.
"Tidak baik,"
Kata Tan-ciangkun.
"Kita bertiga tentu takkan dapat melawan mereka, dan kalau kita bertiga roboh, berarti sia-sia belaka. Lawan terlalu banyak. Andaikata kita bertiga dapat menyelamatkan diri, bagaimana dengan sri baginda?"
Kini semua mata yang diliputi kekhawatiran itu tertuju kepada Pendekar Siluman yang masih berdiri membelakangi mereka.
"Taihiap, bagaimana baiknya?"
Tiba-tiba sri baginda berkata kepada Pendekar Siluman.
"Harap taihiap suka menolong kami, dan kelak hadiah apa yang taihiap minta tentu akan kami penuhi!"
Tan-ciangkun cepat memberi isyarat dengan gelengan kepala kepada Raja Bhutan, dan raja ini agaknya maklum akan kesalahannya, maka dia cepat berkata lagi,
"Maksud kami, kami tidak akan melupakan budi kebaikan taihiap yang amat berharga itu."
Tubuh yang berkaki satu itu berputar dan sepasang mata yang lembut namun tajam sekali berkata, seolah-olah berkata kepada dirinya sendiri, tidak menjawab langsung ucapan Raja Bhutan itu,
"Dapatkah disebut perbuatan baik apabila perbuatan itu dilakukan dengan pamrih sesuatu sebagai pendorongnya? Tidak ada pamrih baik atau buruk, yang ada hanya pamrih saja, keinginan untuk memperoleh sesuatu, baik berupa harta benda, kedudukan, nama besar, atau keinginan untuk menjadi baik dengan perbuatan baik. Perbuatan seperti itu bukan baik, melainkan palsu dan munafik. Perbuatan barulah benar apabila dilakukan tanpa disadari sebagai suatu perbuatan baik, tanpa dorongan kewajiban atau apa saja, melainkan wajar dan polos penuh kasih."
Raja Bhutan tercengang, juga merasa terpukul. Kiranya laki-laki yang cacat ini, selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga memiliki kebijaksanaan luar biasa!
"Taihiap, bagaimana sebaiknya untuk dapat menyelamatkan Sri Baginda Bhutan yang menjadi calon besan kaisar kita?"
Tiba-tiba si jenggot Tan Siong Khi bertanya.
"Kita menunggu sampai api obor padam."
Pendekar Siluman berkata tenang sambil terpincang-pincang masuk dan kembali dia bersandar pada meja.
"Dalam keadaan gelap, lebih mudah bagi kalian bertiga untuk menerjang keluar dan menyelamatkan diri. Aku akan berusaha untuk membawa sri baginda keluar."
Setelah berkata demikian Pendekar Siluman bersandar kepada meja dan tongkatnya, memejamkan kedua matanya seolah-olah tidur sambil berdiri!
Melihat sikap ini, tidak ada yang berani menegur atau membantah. Raja mengangguk dan kedua orang panglima itu segera menjaga di luar pintu, menunggu sampai obor kehabisan minyak dan padam seperti yang direncanakan Pendekar Siluman tadi. Raja, Tan-ciangkun dan Pendekar Siluman masih berada di dalam rumah. Rumah kecil ini memang merupakan bangunan yang khusus dibangun di situ untuk tempat raja beristirahat apabila sedang melakukan olah raga berburu binatang. Maka biarpun kecil, cukup kuat dan lengkap. Keadaan menjadi tegang. Api unggun dalam tempat api yang bernyala di depan raja hampir padam dan raja tidak mempedulikannya. Ketegangan menghilangkan rasa dingin. Tiba-tiba raja terkejut, juga Tan-ciangkun kaget menengok ketika tiba-tiba pintu luar dibuka oleh Panglima Sangita yang berteriak,
"Sudah ada di antara obor yang padam!"
Semua mata kini memandang kepada Pendekar Siluman, mengharapkan petunjuk. Karena memang mereka semua, termasuk Raja Bhutan, hanya mengandalkan kemampuan pendekar itu untuk dapat keluar dari tempat itu dengan selamat. Sikap pendekar yang selalu tenang itu menimbulkan harapan besar. Dia menghadapi tiga orang gagah itu, dua Panglima Bhutan dan seorang pengawal kaisar, lalu berkata,