Dan tak terasa lagi dua tahun telah lewat.
Hubungan antara Giok Ciu dan Sin Wan akrab sekali, bagaikan seorang kakak dan adik.
Mereka tidak pernah menyinggung-nyinggung tentang pertunangan mereka karena jika hal ini disinggung, maka hanya mendatangkan rasa kikuk dan malu dalam hubungan mereka.
Pada waktu itu, kepandaian Sin Wan dan Giok Ciu sudah mendapat banyak kemajuan karena mendapat gemblengan dari Kwie Cu Ek, yang memiliki kepandaian berbeda dengan kepandaian kakek Sin Wan.
Dengan belajar kepada Kwie Cu Ek, maka Sin Wan telah mempelajari dua macam ilmu silat lihai hingga boleh dibilang ia menang setingkat jika dibanding dengan Giok Ciu.
Tapi dalam hal ginkang atau ilmu meringankan tubuh, ia harus mengakui kalah setingkat oleh gadis yang bertubuh ringan itu, tapi sebaliknya Sin Wan lebih lihai dalam hal ilmu lweekang.
Kwie Cu Ek maklum bahwa kedua anak muda itu telah memiliki ginkang dan lweekang yang luar biasa berkat buah-buah mujijat yang dulu mereka ketemukan dan makan secara kebetulan, maka ahli silat cabang Kun-lun ini menggembleng mereka denga penuh semangat dan tak kenal lelah.
Tujuan satu-satunya dari orang tua ini ialah menurunkan seluruh kepandaian kepada Sin Wan dan Giok Ciu agar kedua anak muda itu dapat bersama-sama pergi dengan dia mencari musuh-musuhnya dan membalas dendam.
Kini boleh dikata kepandaian Sin dan Giok Cu sudah hampir menyusul Kwie Cu Ek, dan usia Sin Wan juga sudah enam belas tahun dan termasuk dewasa.
Pemuda itu bertubuh tinggi sedang, dadanya bidang dengan pinggang kecil.
Wajahnya yang tampan nyata sekali membayangkan keagungan watak dan kehalusan budi, sedangkan lekuk di bawah bibirnya dan sinar mata yang tajam itu menunjukkan sifat ksatria dan gagah berani.
Giok Ciu juga sudah menjadi dewasaa, usianya kurang lebih lima belas tahun.
Gadis ini makin besar makin cantik dan manis.
Sepasang matanya yang bersinar-sinar bagaikan sepasang bintang pagi merupakan bagian yang menarik sekali, sedangkan hidung dan mulu yang kecil dihiasi bibir yang berbentuk indah berwarna merah segar membuat orang takkan dapat bosan menatap wajahnya.
Rambutnya yang gombyok dan hitam dikepang dua merupakan sepasang kuncir itu yang panjang dan hitam dan dua kucir itu bagaikan dua ekor ular melibat-libat dan bergantung di leher dan pundaknya.
Pada suatu sore, seperti biasa Sin Wan berlatih silat dengan Giok Ciu di belakang rumah.
Mereka sedang tekun melatih gerak tipu ilmu pedang yang di sebut Pek-hong-koan-lit atau bianglala Putih Menutup Matahari.
Tipu ini memang sukar digerakkan dan keduanya baru saja menerima pelajaran ini dari Kwie Cu Ek.
Mereka silih berganti gunakan pedang melatih gerakan ini hingga sempurna betul.
"Mari kita berlatih,kau ambilah pedangmu," ajak Sin Wan.
"Baik, kau tunggulah sebentar," jawab Giok Ciu yang lalu pergi ke dalam rumah sambil berlari-lari kecil.
Sin Wan memandang gadis itu dengan gembira.
Ia makin tertarik kepada gadis yang lincah dan gembira ini dan diam-diam ia menaruh rasa asmara yang mesra.
Alangkah bahagianya kalau ia ingat bahwa gadis jelita ini akan menjadi isterinya kelak! Sering kali pada malam hari, di dalam biliknya ia keluarkan sepatu kecil tanda tali perjodohan dari Giok Ciu itu dan mempermainkannya sambil membelainya penuh rasa kasih sayang.
Darah kedewasaannya membuat ia sering merindukan gadis calon isterinya itu, tapi pada waktu mereka bertemu muka dan bercakap-cakap, dengan kekerasan hati luar biasa Sin Wan dapat menekan perasaannya dan sedikitpun tidak memperlihatkan sikap yang dapat menyinggung perasaan gadis itu.
Sebaliknya Giok Ciu selalu bergembira dan dengan sikapnya yang jenaka membuat hubungan mereka tidak kaku.
Gadis itu seakan-akan tidak perdulikan atau sudah lupa akan peralian jodoh yang mengikat mereka, tapi Sin Wan sedikitpun tidak menduga betapa pada malam hari, terutama di kala sinar bulan menyerbu masuk kamarnya melalui jendela, gadis itu sering melamun sambil memandang bulan dan tangannya memegang sebatang suling yang telah menjadi licin mengkilap karena sering digosok-gosok dan dibelai-belai! Ketika Giok Ciu masuk ke dalam kebun itu kembali sambil membawa sebatang pedang tajam, Sin Wan telah sadar dari lamunannya dan keduanya lalu berlatih silat pedang.
Kedua pedang mereka saling sambar demikian cepatnya hingga sebentar saja tubuh mereka lenyap tertutup sinar pedang.
Sungguh permainan mereka selain luar biasa, juga indah dipandang.
Gerakan mereka gesit dan cepat, namun di dalam latihan ini walaupun tampaknya pedang mereka saling sambar seakanakan mengancam jiwa, sesungguhnya mereka berlaku sangat hati-hati, dan menjaga jangan sampai mereka berlaku salah tangan! "Bagus!" terdengar seruan orang memuji.
Keduanya berhenti dan memberi hormat kepada Kwie Cu Ek yang memandang dengan girang.
Sebetulnya, pujian orang tua ini tadi bukan ditujukan kepada permainan pedang mereka tapi pujian itu dikeluarkan rasa rasa girangnya melihat betapa di dalam latihan pedang itu tanpa disengaja keduanya memperlihatkan suara hati yang saling mencinta dan menyayangi! Inilah yang membuat Kwie Cu Ek merasa girang dan berseru "bagus" tadi.
"Sin Wan, telah tiba saatnya bagi kita untuk turun gunung dan mencari musuhmu," kata Kwie Cu Ek dengan suara halus.
Sin Wan terkejut dan girang sekali.
Ia buru-buru berlutut dan berkata, "Kwie-peh-peh, terima kasih atas keterangan ini.
Saat ini telah lama teecu tunggu-tunggu!" Karena kebiasaan, maka Sin Wan tetap menyebut "peh-peh" atau uwak kepada Kwie Cu Ek, sedangkan untuk diri sendiri ia menyebut tee-cu atau murid karena ia merasa menjadi murid orang she Kwie ini! Seharusnya ia menyebut gakhu atau "Mertua", tapi ia merasa malu sekali untuk menyebut ayah mertua, dan bersikap purapura belum tahu akan perjodohan itu.
Kwie Cu Ek menghela napas.
"Aku maklum akan ketidaksabaranmu, Sin Wan, tapi segala hal harus dilakukan dengan pertimbangan masakmasak.
Apa lagi dalam hal pembalasan sakit hati ini.
Karena musuhmusuhmu bukanlah lawan ringan dan mudah dikalahkan.
Bahkan sekarang uga aku masih selalu meragukan apakah kita akan sanggup membalas dendam keluargamu." "Ayah, aku tentu ikut, bukan? Serahkan saja musuh-musuh kak Sin Wan, kepadaku, akan kubasmi seorang demi seorang." kata Giok Ciu dengan mata berseri.
Kali ini Kwie Cu Ek tak dapat menerima kegembiraan puterinya.
Ia menghela napas dan berkata," Kalian anak-anak muda memang sudah sepantasnya berhati tabah dan bersemangat besar, tapi hendaknya jangan kau pandang rendah musuh-musuh yang akan kita hadapi.
Kalau kiranya aku tidak merasa telah menjadi makin tua dan berkurang tenaga hingga takut kalau-kalau takkan sempat membantumu lagi, barangkali sekarang aku belum mengijinkan kau pergi menemui musuhmusuhmu.
"Kwiep-peh-peh, sebenarnya urusan balas dendam ini hanya tanggung jawab teecu seorang.
Harap saja peh-peh dan adik Giok Ciu tidak ikut mencapaikan hati dan membahayakan keselamatan diri.
Biarlah teecu sendiri yang pergi melakukan pembalasan.
Teecu akan merasa sangat berdosa bila sampai terjadi apa-apa atas diri peh-peh atau Giok Ciu." "Sin Wan! Omongan apakah yang kau ucapkan ini?" tiba-tiba Kwie Cu Ek membentak marah sambil melototkan matanya yang bundar besar, tapi ia dapat menekan perasaannya dan berkata lagi perlahan, "Aku mengerti maksudmu yang baik, Sin Wan.
Tapi ketahuilah, biarpun tidak untuk membelamu, aku Kwie Cu Ek bukanlah orang yang dapat melihat terjadinya perkara penasaran ini dengan berpeluk tangan saja.
Aku telah bersumpah di dalam hati untuk mengadu jiwa dengan binatangbinatang she Suma dan kelima bangsat dari Siauw-san.
Mereka ini memang lihai, tapi kurasa kita akan dapat menghadapi mereka." Sin Wan lalu menghaturkan terima kasih dan menyatakan maaf telah menyinggung kehormatan dan kegagahan orang itu yang sebenarnya bukan menjadi maksudnya.
"Cuma saja," demikian ia melanjutkan.
"Bukan maksud teecu untuk merendahkan adik Giok Ciu, tapi kalau bisa lebih baik adik Giok Ciu jangan ikut melakukan perjalanan dan tugas yang sangat berbahaya ini." Giok Ciu yang tadinya duduk di atas pot kembang kosong tiba-tiba meloncat berdiri dan sepasang ali matanya bergerak-gerak dan mulutnya ditajamkan sambil menatap wajah Sin Wan.
"Apa?" serunya marah.
"Enak saja kau mau meninggalkan orang! Apa kau kira aku takut menghadapi bahaya? Apakah kau merasa takut ketika dulu kita bersama memasuki gua ular itu? Kak Sin Wan, jangan kau bicara seperti itu, aku akan marah kepadamu!" Kwie Cu Ek tersenyum melihat lagak anaknya.
"Sin Wan, Giok Ciu harus turut, karena betapapun juga ia merupakan tenaga pembantu yang boleh diandalkan.
Kurasa, binatang she Suma dan kelima tosu siluman dari Siauw-san itu takkan sanggup mengalahkan kita bertiga.
Asal saja disana tidak terdapat orang-orang kuat lain, pasti mereka itu akan roboh di tangan kita dan sakit hatimu terbalas." "Nah, apa kataku?" Giok Ciu berkata riang, lalu bertanya, "Kapan kita berangkat ayah?" Sin Wan dan Kwie Cu Ek kagum juga melihat ketabahan hati Giok Cu karena sikap gadis kecil itu seakan-akan bukan hendak menjumpai musuh-musuh kuat, tapi bagaikan hendak pergi pelesir dan bertamasya saja! "Bersiaplah, anak-anak.
Besok pagi-pagi kita berangkat." Malam hari itu Sin Wan tidak dapat tidur.
Ia meramkan mata dan membayangkan kembali peristiwa pembunuhan besar-besaran di kampungnya dulu.
Terbayanglah ibu dan kakeknya yang mandi darah, dan bayangan ini membuat ia menggeretakkan gigi dan ingin sekali segera berhadapan dengan musuh-musuhnya untuk menuntut balas! Kemudian ia teringat akan Giok Ciu dan ayahnya.
Alangkah baik mereka itu hingga semenjak pertemuan pertama telah melepas budi yang besar sekali.
Ia bersumpah di dalam hati bahwa ia tentu hendak membahagiakan hidup Giok Ciu, gadis yang ia cinta dan yang telah melepas budi besar kepadanya dan bahkan besok pagi hari bersikukuh hendak ikut ia membalas dendam kepada musuh-musuhnya, dan gadis itu rela ikut menempuh bahaya! Mengingat ini semua, tak terasa pula kedua mata pemuda itu basah dengan air mata ang terdorong oleh rasa terharu, duka, dan girang.