Ternyata pada kira-kira tengah hari tadi, sebarisan tentara berkuda dan bersenjata lengkap menyerbu kampung itu, dipimpin oleh Suma cian-bu dan lima orang gagah, yakni Siauw-san Ngo-sinto atau Lima Golok Malaikat dari Gunung Siauw-san.
Mereka hendak menangkap Kang-lam Ciuhiap Bun Gwat Kong, tapi kakek yang gagah perkasa itu melawan hebat.
Pertempuran seru terjadi dan orang-orang kampung yang jujur dan setia kawan ketika melihat betapa empek itu dikeroyok, lalu maju membantu.
Tapi mereka bukanlah tandingan para tentara yang terlatih hingga sebentar saja belasan orang roboh mandir darah.
Kang-lam Ciu-hiap dengan senjata suling mengamuk bagaikan seekor naga sakti.
Seorang pemuda yang berhasil menonton pertempuran itu sambil bersembunyi, menuturkan beriktu.
Rombongan penyerbu itu terdiri dari dua puluh anggauta tentara dibawah pimpinan seorang tinggi besar yang brewokan dan mengaku bahwa Suma-cian-bu, yakni kapten Suma.
Kapten Suma itu bersenjatakan sepasang pedang.
Di antara mereka terdapat lima orang tosu atau pendeta yang semua berbaju kuning dan rambutnya diikat ke atas.
Mereka ini langsung menuju ke rumah Kang-lam Ciu-hiap.
Kakek yang gagah itu dengan tenang dan sedikitpun tidak jeri menyambut kedatangan mereka di luar rumahnya.
"Ha, ha! Kang-lam Ciu-hiap! Sungguh aku beruntung sekali karena ternyata kau masih hidup hingga memberi kesempatan kepadaku untuk membunuhmu!" kata Kaptem Suma itu sambil meloncat turun dari kudanya.
"Memang benar kata-katamu bahwa aku masih hdiup, Sum-cianbu.
Tapi tentang membunuh itu masih merupakan teka-teki siapa tahu, barangkali akulah yang akan berhasil membunuhmu." "Hm, orang she Bun! Kau seorang yang berdosa tetapi masih berani membuka mulut besar!" menegur seorang diantara kelima tosu itu."Tahukah kau akan dosa-dosamu?" Kang-lam Ciu-hiap memandang ke arah tosu itu dengan pandang mata menghina.
"Bukankah aku berhadapan dengan Siauw-san Ngo-sinto yang terkenal? Kenapa kalian orang-orang pertapa meninggalkan tempat pertapaan dan bersatu dengan anjing-anjing penjilat kaisar ini? Apakah kalian juga telah diberi makanan lezat? Marahlah tosu tertua mendengar sindiran ini.
"Bun Gwat Kong! Ajalmu telah berada di depan mata, kau masih berani menghina orang! Kau telah memberontak dan membunuh banyak pembesar-pembesar negeri, mengikuti jejak anak mantumu yang juga menjadi pemberontak! Apakah dosa ini tidak terlalu besar dan kejam sehingga terpaksa kami turun gunung untuk menghajarmu?" "Sudahlah, sudahlah kalau negeri sedang kacau, memang selalu muncul tikus-tikus seperti kalian.
Ternyata hanya namanya Siauw-san Ngo-sinto besar, tapi orang-orangnya tak berjiwa bersih!" Kelima tosu itu dengan marah lalu mencabut golok masing-masing.
Golok mereka kecil dan panjang tapi gemerlapan karena tajamnya.
Kemudian mereka maju mengepung Kang-lam Ciu-hiap yang hanya bersenjatakan suling bambu di tangan! Maka terjadilah pertempuran yang luar biasa serunya! Dengan suling bambunya Kang-lam Ciu-hiap ternyata dapat bertahan dan melindungi dirinya dari seranganserangan maut yang berpancaran dari golok kelima lawannya.
Melihat betapa orang tua gagah itu dalam berpuluh jurus belum juga dapat dirobohkan, Suma-cianbu sendiri maju dengan sepasang pedang atau siang-kiamnya.
Dan kini kakek itu mulai sibuk dan terdesak hebat, karena kepandaian kapten ini tidak dibawah seorang dari para tosu-tosu itu.
Akan tetapi, Kang-lam Ciu-hiap benar-benar meperlihatkan bahwa nama besarnya bukanlah kosong belaka.
Ia mengamuk bagaikan seekor naga terluka.
Beberapa orang anggauta tentara yang mencoba untuk mengeroyoknya dan berusaha mencari pahala telah roboh dibawah totokan sulingnya.
Tapi musuh terlalu banyak dan Kalng-lam Ciu-hiap telah mendapat beberapa luka dibadannya.
Kemudian terdengar jerit ngeri dari dalam rumah dan kakek itu yang mengenal jerit anak perempuannya, segera berseru nyaring dan ia meloncat ke dalam rumah, di kejar oleh lawan-lawannya.
Alangkah kaget kakek itu ketika melihat betapa anaknya telah roboh mandi darah dan di dekatnya berdiri soerang anak buah rombongan itu sambil memegang goloknya yang berlumuran darah.
Dalam marahnya Kang-lam Ciu-hiap mengayun sulingnya dan pembunuh anaknya itu robohlah sambil berteriak ngeri, tapi Kang-lam Ciu-hiap masih belum puas.
Ia kerjakan kedua kakinya dan sulingnya untuk memukul dan mendendang sehingga orang itu andaikata mempunyai sepuluh nyawa tentu kesepuluh nyawanya juga akan terbang pergi meninggalkan raganya! Akan tetapi pada saat itu Suma-Cianbu dan kelima tosu yang lihai telah masuk rumah pula dan dalam keadaan terdesak di tempat sempit itu akhirnya robohlah Kang-lam Ciuhiap Bun Gwat kong, kakek yang gagah perkasa itu! Sementara itu, orang-orang kampung yang melihat betapa Bun didatangi penyerbu-penyerbu lalu bersiap dan berusaha membantu.
Akan tetapi mereka bukanlah lawan para anggauta tentara pemerintah asing yang telah terlatih dan sebentar saja belasan orang dapat dirobohkan dan yang lainnya lari bersembunyi.
Maka sebentar saja penuhlah pekarangan rumah keluarga Bun dengan tubuh-tubh luka dan mayat bergelimpangan.
Pemandangan yang mengerikan sekali! Setelah menjatuhkan malapetaka di kampung itu, rombongan Sumacianbu segera meninggalkan kampung itu sambil membawa beberapa orang yang telah terbinasa oleh Kang-lam Ciu-hiap dalam amukannya tadi.
Biarpun para para penyerbu telah pergi lama, orang-orang yang telah terbinasa oleh Kang-lam Ciu-hiap dalam amukannya tadi.
Biarpun para penyerbu telah pergi lama,orang-orang kampung masih belum juga berani keluar dari tempat persembunyian mereka sampai Sin Wan dan Giok Cu datang! Mendengar betapa lihainya musuh-musuh yang datang, maka Giok Ciu yang cerdik tahu mengapa empek gagah itu sengaja menyuruh Sin Wan pergi, karena kalau pemuda itu berada disitu, tentu takkan terluput dari kematian juga.
Ketika orang-orang masih sibuk mengurus semua jenasah dan berkabung, malam hari itu datanglah Kwie Cu Ek ke kampung itu.
Ia merasa terkejut sekali ketika Giok Ciu dan Sin Wan berlutut sambil menangis dengan sedih.
Orang gagah itu menggertak gigi dan membangunkan kedua anak itu.
"Suma Kan Hu, kau binantang kejam! Dan kalian Siauw-san Ngo-sinto pertapa-pertapa busuk.
Perbuatan kalian ini sungguh keterlaluan.
Aku Kwie Cu Ek bersumpah hendak mengadu jiwa dengan kalian!" Hui-houw Kwie Cu Ek berseru keras dengan muka merah karena marahnya, dan suaranya yang keras menyeramkan penuh hawa marah itu di selingi isak tangis Sin Wan dan Giok Ciu hingga semua orang yang berada disitu tak dapat menahan turunnya air mata mereka.
Untuk memudahkan pengurusannya, maka semua jenasah yang berjumlah tujuh belas orang itu dikumpulkan di satu rumah dan disitulah semua orang berkumpul dan bersembahyang.
Pada keesokan harinya, dengan iringan ratap tangis mereka yang ditinggalkan, semua jenasah dikebumikan.
"Tia-tia, marilah kita bertiga mencari pembunuh-pembunuh itu dan menghajar mereka!" kata Giok Ciu kepada ayahnya.
"Benar kata-kata Giok Ciu, Kwie peh-peh.
Aku harus mencari mereka dan membikin perhitungan!" kata Sin Wan penuh semangat.
Tapi Kwie Cu Ek menggeleng-gelengkan kepala.
"Kalian bicara mudah saja.
Lawan-lawan ini bukanlah orang lemah.
Kita bertiga belum tentu bisa menangkan mereka, apalagi mereka berada di tengah-tengah pahlawan-pahlawan kaisar yang berkepandaian tinggi.
Sekarang belum waktunya membalas denam.
Sin Wan, kau ikutlah dengan kami ke tempat tinggalku dan disana kau harus berlatih silat lebih lanjut.
Kalau kepandaianmu sudah mencukupi barulah kau boleh turun gunung membalas sakit hati, dan percayalah, aku dan Giok ciu tentu akan menyertaimu.
Akupun gatal-gatal tangan untuk menghajar mereka, tapi segala hal lebih baik dilakukan dengan perhitungan masak-masak.
Tahukah kau bahwa dengan menyuruh kau pergi hingga terbebas dari kematian adalah hal yang disengaja oleh kakek dan ibumu? Dan tahukah kau mengapa mereka lakukan hal itu? Tak lain agar kelas kau dapat membalas dendam ini! Dan kalau kau sekarang pergi membalas dendam lalu tidak berhasil bahkan kau sendiri terbinasa, bukankah itu sama dengan menyia-nyiakan pengharapan dan maksud ibu dan kakekmu?" Sin Wan menundukkan kepala dan ia merasa betapa tepat dan benar sekali omongan orang tua itu.
Maka ia mengalah dan hanya berkata, "Terserah kepadamu, Kwie peh-peh semenjak sekarang, tidak ada orang lain yang pantas saya taati selain kau orang tua!" Dengan ujung lengan bajunya Sin Wan menyusut air matanya.
"Nah, begitulah seharusnya, Sin Wan.
Nah bersiaplah dan sekarang juga kita pindah ketempatku." Dengan hati terharu Sin Wan lalu minta diri dari semua orang kampung sambil bertangis-tangisan, dan ia hanya membawa pakaian dan barang seperlunya saja.
Diam-diam ia mencari sepatu kecil yang dipesankan ibunya itu dan ia memasukkan itu ke dalam buntalannya.
Giok Ciu calon isterinya? Hanya kedukaan peristiwa hebat itulah yang membuat ia tidak perhatikan kenyataan ini dan membuatnya seakan-akan lupa akan hal itu.
Tapi ini ada baiknya karena sikapnya terhadap Giok Ciu jadi tidak malu-malu lagi.
Barang-barang lainnya ia berikan kepada orang-orang kampung.
Kemudian, ketika mereka hendak berangkat, Sin Wan berkata keras kepada semua orang kampung yang mengantarnya, "Saudara-saudaraku sekalian.
Dengarlah aku janji dan sumpahku.
Aku Bun Sin Wan, bersumpah bahwa kelak aku harus pergi mencari pembunuh-pembunuh yang menjatuhkan malapetaka kepada kita ini.
Aku berjanji hendak membalaskan sakit hati kalian, maka kalian hendaknya suka menenteramkan hati dan jangan penasaran." Maka berangkatlah mereka dengan jalan cepat ke atas gunung tempat kediaman Kwie Cu Ek dan anaknya.
Dan semenjak hari itu, Sin Wan dan Giok Ciu mempergiat pelajaran silat mereka dibawah pimpinan Kwie Cu Ek yang dalam kelihaian ilmu silat tidak kalah jika dibandingkan dengan Kang-lam Ciu-hiap.