Ki Cong lalu melangkah maju dan tangan kakinya bergerak, menampar dan menendang. Lima orang itu jatuh bangun lalu mereka melarikan diri tunggang langgang, meninggalkan kuda tunggangan Bi Sian. Sejenak dua orang muda remaja itu saling pandang dan dalam pandang mata Bi Sian ada sinar kagum. Tak disangkanya pemuda yang nakal itu memiliki ke-beranian dan kegagahan!
"Terimakasih...."
Katanya lirih, agak malu-malu mengingat bahwa tadi pemuda itu memperkenalkan ia sebagai tunangannya kepada para penjahat. Ki Cong tersenyum bangga, lalu mendekati gadis cilik itu.
"Sian-moi, perlu apa berterimakasih? Sudah semestinya kalau aku membela dan melindungimu, kalau perlu dengan jiwa ragaku, bukankah engkau ini tunanganku dan calon isteriku?"
Berkata demikian, Ki Cong mendekat dan tangannya lalu memegang lengan Bi Sian dengan mesranya. Merasa betapa lengannya diraba dengan mesra, meremang rasanya bulu tengkuk Bi Sian dan iapun menarik tangannya dengan renggutan, dan iapun melangkah mundur, alisnya berkerut.
"Aku tidak minta pertolonganmu, dan aku bukan tunanganmu!"
Bentaknya marah.
"Aihh, jangan bersikap seperti itu kepadaku, calon suamimu, Sian-moi. Ingat, antara orang tua kita sudah setuju akan perjodohan kita...."
"Aku tidak perduli! Aku tidak sudi!"
Kembali Bi Sian membentak.
"Sian-moi, jangan begitu. Mengapa engkau membenci aku? Apakah aku tidak menang segala-galanya dibandingkan anak bongkok itu?"
Tiba-tiba sepasang mata yang jeli itu mengeluarkan sinar kemarahan yang seperti bernyala.
"Jangan menghina paman Sie Liong! Aku sayang padanya dan dia sepuluh kali lebih baik dari padamu!"
Karena pertolongannya tadi agaknya tidak mendatangkan perasaan berterimakasih dan bersukur dari gadis cilik itu, Ki Cong menjadi penasaran dan dia berkata dengan kasar,
"Sian-moi, engkau sungguh tidak tahu budi! Kalau tidak ada aku, apa yang terjadi padamu? Bukan saja kuda dan pakaianmu diambil orang, mungkin juga engkau telah diperkosa! Dan engkau sedikitpun tidak berterimakasih kepadaku!"
"Hemm, sudah kukatakan aku tidak minta pertolonganmu dan tadi aku sudah bilang Terimakasih. Mau apa lagi?"
"Setidaknya engkau harus memberi ciuman Terimakasih!"
Kata Ki Cong yang tiba-tiba menangkap lengan gadis cilik itu dan hendak merangkul dan mencium. Akan tetapi Bi Sian menggerakkan tangannya.
"Plakkk!"
Pipi pemuda remaja itu kena ditampar sampai merah. Ki Cong menjadi marah.
"Kau memang tidak tahu Terimakasih!"
Lalu dia menangkap kedua pergelangan tangan Bi Sian. Gadia cilik itu meronta-ronta, akan tetapi ia kalah tenaga dan kini Ki Cong sudah berhasil merangkulnya, mendekap dan mencari muka anak perempuan itu dengan hidungnya. Akan tetapi Bi Sian meronta dan membuang muka ke kanan kiri sehingga ciuman yang dipaksakan oleh Ki Cong itu tidak mengenai sasaran. Tiba-tiba nampak ada tongkat bergerak ke arah kepala Ki Cong dan memukul kepala penuda remaja itu.
"Tokk!"
Seketika kepala itu menjendol sebesar telur ayam dan Ki Cong berteriak mengaduh sambil meraba kepalanya yang rasanya berdenyut-denyut. Dia melepaskan rangkulannya pada Bi Sian dan membalik. Ketika dia melihat seorang kakek jembel yang tua berdiri sambil memegang sebatang tongkat butut, dia marah sekali.
"Kau.... kau berani memukul aku?"
Bentaknya sambil melangkah maju mendekati kakek tua renta itu dengan sikap mengancam. Kakek yang rambutnya putih riap-riapan dan pakaiannya tambal-tambalan itu adalah Koay Tojin. Dia kebetulan saja lewat di bukit itu dan sejak tadi melihat apa yang terjadi, kemudian mengemplang kepala Ki Cong dengan tong-katnya. Kini dia tertawa terkekeh-kekeh.
"Aku! Memukulmu? Heh-heh-heh, yang memukul adalah tongkat ini, bukan aku!"
"Jembel tua busuk! Mana bisa tongkat memukul sendiri kalau tidak kau pukulkan?"
"Siapa bilang tidak bisa?"
Koay Tojin mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi dan berkata,
"Tongkat, orang menghinamu, dikatakannya engkau tidak bisa memukul sendiri. Tunjukkan bahwa engkau bisa memukul anjing dan orang kurang ajar, coba hajar pantatnya beberapa kali!"
Sungguh aneh sekali. Tongkat itu melayang terlepas dari tangan Koay Tojin, melayang di udara lalu menukik turun dan menghantam pantat Ki Cong.
"Plakk!"
Ki Cong berteriak kesakitan dan mencoba untuk menangkap tongkat, akan tetapi sia-sia dan kembali tongkat itu menghajar pantatnya. Ki Cong kini menjadi ketakutan setengah mati dan sambil berteriak-teriak diapun lari tunggang langgang ke bawah bukit setelah tongkat itu menghajar pantatnya beberapa kali. Melihat ini, Bi Sian tertawa senang sekali. Iapun terheran-heran melihat betapa ada tongkat dapat memukuli orang kurang ajar. Kini tongkat itu sudah kembali ke tangan si kakek jembel. Bi Sian mendekati.
"Kakek yang aneh, sungguh hebat sekali tongkatmu itu! Apakah itu tongkat pusaka, tongkat wasiat?"
"Heh? Pusaka? Wasiat? Ini tongkat butut, heh-heh-heh!"
Bi Sian makin mendekat, sedikitpun tidak merasa takut atau jijik kepada kakek jembel yang terkekeh-kekeh dan menyeringai seperti orang gila itu.
"Kakek yang baik, maukah engkau memberikan tongkat itu kepadaku?"
"Tongkat ini? Tongkat butut ini? Heh-heh, boleh saja...."
Bi Sian gembira bukan main dan menerima tongkat butut itu dari tangan Koay Tojin. Ia meneliti tongkat itu, akan tetapi hanya sebatang tongkat biasa saja, sebuah potongan ranting pohon yang sudah kering dan kotor. Ia mencoba untuk menggerak-gerakkan tongkat itu, akan tetapi biasa saja, tidak ada keanehannya.
"Kakek yang baik, maukah engkau mengajarkan aku caranya membuat tongkat ini terbang dan memukuli orang kurang ajar? Aku ingin sekali belajar ilmu itu."
Kakek itu tertawa bergelak.
"Belajar ilmu memukul orang dengan tongkat? Untuk apa?"
"Wah, banyak sekali kegunaannya, kek. Pertama, untuk melindungi diriku sendiri. Ke dua, dapat kupergunakan untuk melindungi paman kecilku yang bongkok."
"Paman kecil bongkok?"
"Ya, pamanku Sie Liong itu kecil-kecil sudah bongkok dan menjadi bahan hinaan orang. Si kurang ajar Ki Cong tadi juga menghinanya!"
"Sie Liong.... anak.... bongkok?"
Koay Tojin berkata lambat dan seperti mengingat-ingat.
"Benar, kek! Apakah engkau pernah melihatnya? Dia melarikan diri dari rumah ayah, sudah berbulan-bulan, entah berada di mana, aku rindu sekali padanya. Kek, bolehkah aku belajar ilmu itu?"
Koay Tojin mengelus jenggotnya lalu tiba-tiba menjumput seekor kutu busuk di lipatan bajunya dan memasukkan kutu itu ke bibirnya.
"Engkau benar mau menjadi muridku? Bukan hanya memainkan tongkat itu, bahkan menpelajari ilmu-ilmu yang akan membuat engkau menjadi orang paling lihai di dunia ini?"
"Mau, kek! Aku mau sekali!"
Kata Bi Sian girang karena ia mendapatkan perasaan bahwa ia berhadapan dengan orang sakti, seperti yang pernah ia dengar dari ayahnya. Ayahnya pernah bercerita bahwa di dunia ini terdapat orang yang memiliki ilmu tinggi sehingga kepandaiannya seperti dewa saja. Untuk beberapa detik Koay Tojin seperti kehilangan kesintingannya dan sepasang matanya yang mencorong itu menelusuri seluruh tubuh Bi Sian dengan penuh selidik. Kemudian, sikapnya yang sinting kembali lagi.
"Kau mau? Benar-benarkah? Tidak mudah, nona cilik! Pertama, engkau harus ikut ke manapun aku pergi, dan aku tidak mempunyai rumah, tidak mempunyai apapun, dan kau harus bersedia hidup seperti anak jembel seperti aku!"
"Apa sukarnya? Aku bersedia!"
Jawab Bi Sian dengan penuh semangat. Ia teringat kepada paman kecilnya yang tentu hidup sebagai jembel pula. Dan tidak mungkin akan mati kelaparan kalau menjadi murid seorang yang demikian sakti seperti pengemis tua ini.
"Dan untuk waktu yang tidak sedikit! Sedikitnya tujuh tahun engkau harus mengikuti aku, atau sampai aku mati!"
"Aku setuju!"
"Dan mentaati semua perintahku!"
"Setuju!"
"Ha-ha-ha-ha...."
Kakek itu tertawa bergelak, berdiri sambil memegangi perut yang terguncang, kepalanya menengadah dan mulutiya ternganga. Melihat ini, Bi Sian ikut tertawa, akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba saja kakek itu yang tadinya menengadah kini membungkuk, dan menjatuhkan diri di atas rumput lalu menangis.
"Hu-hu huuhhh...."
Tentu saja Bi Sian tidak mau ikut nenangis, melainkan ikut duduk di atas rumput, sejenak memandang kakek yang menangis tersedu-sedu itu dengan bengong. Karena kakek itu tidak juga berhenti menangis, ia menjadi tidak sabar dan mengguncang lengan kakek itu dengan tangannya. Kakek ini tentu gila, ia mulai curiga, akan tetapi tidak merasa takut, melainkan geli.
"Kek, kek, kenapa menangis?"
Tiba-tiba kakek itu menghentikan tangisnya, memandang kepada Bi Sian dengan muka yang basah air mata, matanya kemerahan, kemudian dia mewek lagi dan menangis terisak-isak. Tangis, seperti juga tawa, memang mempunyai daya tular yang ampuh. Biarpun tadinya Bi Sian tidak mau ikut menangis, kini melihat betapa tangis kakek itu tidak dibuat-buat, melainkan menangis sungguh-sungguh tanpa disadarinya lagi air matanya mulai keluar dari kedua matanya, menetes-netes menuruni kedua pipi. Bi Sian terkejut sendiri ketika menyadari akan hal ini. Cepat ia menghapus air mata dari kedua pipinya dan memegang lengan kakek itu, mengguncangnya dan bertanya.
"Hei, kakek, kenapa kau menangis? Kenapa? Aku jadi ikut menangis, maka aku ingin tahu apa yang kita tangiskan seperti ini. Orang tertawa atau menangis harus ada sebabnya, kalau tanpa sebab kita bisa dianggap orang gila!"
Tiba-tiba saja kakek itu berhenti menangis dan kini dia tertawa. Melihat anak perempuan itu memandangnya dengan mata terbelalak, diapun berkata sambil mencela.
"Kenapa kita tidak boleh tertawa dan menangis tanpa sebab? Kita tertawa atau menangis menggunakan mulut kita sendiri, tidak meminjam mulut orang lain, apa perduli pendapat orang lain?"
"Tapi kau tertawa dan menangis tanpa memberitahu sebabnya, sungguh membikin aku menjadi bingung, kek. Biasanya orang yang menangis dan tertawa tanpa sebab hanya orang-orang yang miring otaknya, dan aku yakin engkau bukan orang sinting."
"Ha-ha-ha-ha, kau kira orang sinting itu jelek? Di dunia ini, mana ada orang yang tidak sinting? Aku tertawa karena hatiku gembira mendapatkan seorang murid yang baik seperti engkau. Dan aku menangis karena aku harus mewariskan ilmu-ilmu kepadamu. Hu-hu-huuhhh...."
Kembali dia menangis. Bi Sian mengerutkan alisnya.
"Sudahlah, kek. Jangan menangis. Kalau memang engkau tidak rela mewariskan ilmu-ilmu kepadaku, sudah saja jangan menjadi guruku."