"Jangan banyak cakap.
Kalau kau ada kepandaian dan dapat mencela ilmu silatku, cobalah kau terima dan sambut seranganku ini!" Bu Beng hendak membantah, tapi gadis baju putih itu tak memberi kesempatan padanya untuk bicara, langsung maju menyerang secepat kilat.
Pukulannya selain cepat juga berat dan antep sekali hingga Bu Beng buru-buru berkelit.
Dalam gerakan-gerakan pertama gadisitu gunakan ilmu silat Kim Liong Pai hingga ia makin heran.
Ternyata gadis itu walaupun gerakannya gesit dan tenaganya besar, juga membuat kesalahan-kesalahan dalam gerakannya atau mungkin juga, ilmu silat Kim Liong Pai telah tercampu aduk dengan ilmu silat lain yang tidak kalah lihainya.
Menghadapi ilmu silat cabang sendiri, Bu Beng dengan mudah sekali dapat memunahkan setiap serangan.
Gadis itu menjadi penasaran dan segera merobah gerakannya.
Kini ia menyerang dengan lebih cepat dan tahulah kini Bu Beng bahwa sebenarnya gadis itu mahir sekali ilmu silat Bie jin kun yang gerakan-gerakannya lemas tapi mengandung tenaga dalam yang berbahaya.
Mungkin gadis ini baru sedikit mempelajari ilmu silat Kim Liong Pai dan kepandaian aslinya ialah Bie jin kun itu.
Karena dalam hal ilmu silat Bu Beng sudah digembleng oleh gurunya dan ia mempelajari pula segala macam ilmu silat, maka menghadapi serangan-serangan inipun ia hanya tersenyum sambil berkelit dengan gesitnya.
Tak pernah ia menangkis atau balas menyerang, seakan-akan hatinya tidak tega melukai gadis itu.
Diam-diam ia gembira karena iapun ingin sekali menjajal kepandaian gadis itu.
Kini ia mendapat kenyaraan bahwa gadis itu memiliki ilmu silat yang lumayan juga.
Gadis baju putih itu ketika menyerang berpuluh jurus tapi belum juga dapat menyentuh ujung baju Bu Beng, dan mendengar sorakan-sorakan adik-adiknya yang memang gemar menonton orang bersilat, dengan dibarengi teriakan-teriakan, "Pukul, Ci! Robohkan ia! ah, meleset lagi! Sayang, tidak kena lagi, Ci! Hayo pukul roboh!" maka ia menjadi marah dan gemas bukan main.
Dengan seruan keras ia cabut sepasang pedangnya yang terselip di punggung dan gunakan siang kiam itu menyerang hebat.! "Tahan pedangmu, nona.
Aku tidak ingin berkelahi," mencegah Bu Beng.
"Hm, kalau dengan kanak-kanak berani ya? Kalau benar-benar laki-laki keluarkan senjatamu." Bu Beng buka kedua lengannya sambil angkat pundak.
"Aku tidak ingin berkelahi nona." "Jangan banyak cakap.
Kalau kau tidak mau melayaniku maka kau akan kuanggap laki-laki pengecut." Bu Beng tersenyum.
"Kau memaksa nona.
Apa boleh buat aku bukan pengecut.
Majulah!" gadis itu segera buka serangannya dengan gerakan Burung Kepinis Menyambar Ikan.
Pedang kanannya menusuk kearah tenggorokan Bu Beng sedangkan pedang kiri terputar mengancam untuk membingungkan lawan.
Tapi Bu Beng ganda tertawa saja, dan loncat berkelit.
Gadis itu merangsek maju dengan hati panas, dan Bu Beng terpaksa gunakan ilmu ginkangnya yang hebat untuk melayaninya dengan tangan kosong.
Pemuda itu mengandalkan keringan tubuh dan kegesitan gerakannya untuk meloloskan diri dari bayangan pedang.
Sebenarnya permainan siang kiam gadis itu hebat dan telengas sekali.
Kalau bukan Bu Beng, jangankan bertangan kosong biar bersenjatapun, tidak sembrangan orang dapat menangkan gadis itu.
Tapi kali ini ia bertemu dengan Bu Beng Kiam Hiap yang tingkatnya masih jauh diatasnya, maka dengan mudah saja ia dipermainkan.
Pada saat itu dari jauh datang berlari seorang wanita tua yang membawa tongkat.
Tindakan kakinya ringan dan larinya cepat sekali hingga diam-diam Bu Beng terkejut.
Ia melihat orang tua itu duduk diatas sebuah akar pohon di dekat mereka dan diam saja menonton perkelahian itu.
Gadis yang menyerangnya dengan sengit itu agaknya tak melihat kedatangan orang tua itu karena gerakannya memang ringan sekali.
Tapi kedua anak kecil itu ketika melihat perempuan tua bertongkat tahu-tahu duduk disitu segera lari menghampiri dan memeluknya.
Hati Bu Beng bimbang juga.
Ternyata perempuan tua yang berkepandaian tinggi itu masih keluarga mereka.
Ah, ia harus menyimpan tenaga untuk menghadapinya jika hal itu terjadi nanti.
Pada saat ia berpikir demikian, tiba-tiba gadis baju putih itu menggerakkan kedua pedangnya menusuk dada dengan tipu Wanita Cantik Tawarkan Arak.
Sepasang pedangnya yang meluncur ke dada Bu Beng, sebuah ditusukkan dan yang satu lagi dibacokkan kebawah.! Menghadapi serangan ini, Bu Beng berlaku cepat.
Tubuhnya berkelit kesamping dan sekali menggerakkan tangan kearah pergelangan gadis itu, sekejap kemudian pedang kanan gadis itu pindah tangan.!
"Bagus, bagus!" terdengan wanita tua itu memuji.
Tapi gadis itu menjadi penasaran sekali.
Dengan nekat ia gunakan sebilah pedangnya untuk menyerang kembali.
Bu Beng menggunakan pedang yang dirampasnya untuk menangkis dengan main mundur.
Tiba-tiba sebuah sinar hitam menyela diantara mereka dengan membawa angin keras dibarengi bentakan orang.
"Cin Eng, mundurlah.
Seharusnya kau tahu diri dan tidak berlaku nekat!" mendengar bentakan ini, gadis itu berloncat mundur dan berdiri dengan tunduk dan wajah merah.
Melihat keadaannya itu, timbul rasa iba di hati Bu Beng, maka segera ia maju menghampiri dan memberi hormat, lalu sambil mengangsurkan pedang yang dirampasnya kepada pemiliknya, ia berkata halus, "Nona, maafkan aku yang rendah telah berlaku kurang ajar.
Terimalah pedangmu kembali, nona." Cin Eng mengangkat kepala memandangnya, tapi ia tertunduk kembali dengan muka merah dan mulut cemberut.
"Ha, ha!" wanita tua itu tertawa terkekeh-kekeh.
"Cin Eng, orang telah berlaku mengalah dan baik kepadamu, hayo terima kembali pedangmu!" dan gadis itu kembali mentaati perintah itu dan terima kembali pedangnya dari tangan Bu Beng tanpa berani memandang pemuda itu.
"Anak muda, kau gagah juga dan kepandaianmu lumayan.
Majulah dancoba kau tahan tongkatku yang lapuk ini." Bu Beng menjuru hormat.
"Aku yang muda mana berani berlaku tidak sopan." "Hm, jangan sungkan-sungkan, anak muda.
Dengan mudah kau dapat mengalahkan puteriku.
Maka, mau tak mau kau harus melayani aku yang tua ini beberapa jurus.
Aku hanya ingin mengukur dalamnya kepandaianmu, jangan kau takut.
Aku takkan berlaku kejam padamu." Panas juga hati Bu Beng karena terang sekali orang memandang ringan kepadanya, bahkan ia disangka takut! Maka ia majukan kaki selangkah dan setelah berkata, "Maaf," ia cabut pedang pendeknya yang disembunyikan di belakang punggung dalam bajunya.
Pedang pendek ini bukanlah pedang sembarangan.
Ia dapat merampasnya dari seorang kepala perampok kenamaan setelah mengadu jiwa mati-matian.
Pedang ini disebut Hwee hong kiam dan tajamnya luar biasa serta terbuat daripada logam yang jarang terdapat dank eras melebihi baja tulen.
Kalau tidak terpakasa, jarang sekali Bu Beng keluarkan senjata ini.
tapi kali ini ia tahu bahwa wanita tua ini bukanlah orang sembarangan dan bahwa tongkatnya itu tentu lihai sekali.
"Ha, bagus! Nah sambutlah tongkatku!" wanita tua itu tak sungkan lagi maju menyerang.
Tongkatnya yang berwarna hitam menyambar berat mendatangkan angin dingin.
Bu Beng gunakan pedangnya menangkis dan merasa betapa berat tenaga dalam wanita tua itu.
Namun wanita itupun diam-diam terkejut karena anak muda itu ternyata bertenaga tidak lebih bawah darinya.
Wanita itu gunakan tipu-tipu ilmu toya Siauw lim si yang hebat dicampur dengan gerakan ilmu golok Kun lun.
Biarpun ia mempunyai ilmu silat yang hebat sekali dan pengalamannya yang berpuluh tahun itu mebuat gerakannya tetap dan kuat, namun baru bergebrak beberapa jurus saja ia merasa heran dan kaget.
Karena ilmu pedang Bu Beng sangat membingungkannya.
Bu Beng keluarkan tipu-tipu Kim Liong Pai yang sudah dikombinasikan sedemikian rupa dengan tipu-tipu Hoa San Pai hingga merupakan gerakan-gerakan tersendiri yang sangat lihai dan tak terduga datangnya! Tak heran bahwa sebentar saja perempuan itu terdesak dan hanya dapat menangkis saja.
Pada suatu desakan, Bu Beng menggunkan pedang pndeknya menusuk dada lawan.
Tusukan ini cepat sekali, tapi biarpun terdesak, nenek itu masih dapat memutar tongkatnya menangkis pedang yang ujungnya sudah hampir mengenai kulitnya itu.
Tak tersangka-sangka Bu Beng cepat sekali merobah arah pedangnya ke kiri dan membabat lengan lawan! Nenek itu menjerit kaget dan menggunakan jaln satu-satunya yang masih mungkin ia lakukan, yakni melepaskan tongkat dan menggelinding pergi sejauh dua tombak lebih.
Bu Beng rangkapkan kedua tangan.
"Maaf, maaf." Nenek itu berdiri cepat dengan muka pucat.
Ia belum bebas sama sekali dari rasa terkejut.
Tiba-tiba wajahnya berubah girang dan dengan terkekeh-kekeh ia jemput tongkatnya lalu menghampiri Bu Beng.
"Anak muda, kau sungguh gagah perkasa.
Ketahuilah, aku adalah Hun Gwat Go yang disebut orang si Tongkat Terbang.
Tapi sekarang aku sudah tua hingga tak pandai memainkan tongkat lagi, buktinya dengan begitu saja aku terpaksa melepaskan tongkatku.
Hi, hi hi!" Bu Beng tak senang mendengar suara tertawa terkekeh-kekeh ini, tapi karena orang berkata dengan ramah, ia terpaksa tersenyum juga.
"Dan ini adalah Cin Eng, anakku.
Kedua anak kecil itu Cin Land an Cin Hai.
Dan kau sendiri siapakah anak muda?" "Saya bernama Bu Beng." Kedua anak kecil itu tertawa mendengar nama Tak Benama ini dan nenek sendiri memandang heran.
Tapi karena Bu Beng memandangnya dengan wajah bersungguh-sungguh dan sinar matanya menyambar tajam, ia tak berani bertanya lagi.
"Bu Beng Taihiap, kami persilakan mampir dipondok kami," katanya kemudian, "Perkenalan ini harus kita pererat.
Sudah lama aku ingin berjumpa dengan seorang hohan di jaman ini.
dan kebetulan ini hari berjumpa dengan kau yang pantas sekali kami hormati." Sebenarnya Bu Beng tidak suka mampir, tapi demi melihat kearah Cin Eng yang menggunakan mata burung hongnya memandang dengan tajam padanya, ia menyanggupi dan beramai-ramai mereka menuju ke rumah nenek itu yang berada di sebelah kampung tak jauh dari situ.
Ketika mereka memasuki sebuah rumah pondok besar tapi yang keadaanya miskin, si nenek berkata kedalam rumah.
"Tianglo silakan keluar, ini ada tamu agung datang!" Bu Beng memandang ke pintu tengah dengan tajam dan waspada.