Ia merasa seakan-akan suara tawa riang dan bening itu merupakan cahaya dan membuatnya gembira sekali.
Dengan cepat ia menuju kearah datangnya suara itu.
Ternyata olehnya bahwa yang tertawa-tawa gembira adalah dua orang anak laki-laki dan perempuan berusia kurang lebih enam tahun.
Mereka sambil tertawa mengejar seekor kelinci yang lari kesana kemari dengan gesitnya.
Tapi kedua anak itu lebih gesit, seorang mencegat disana, seorang pula mencegat disini, Hingga akhirnya binatang berbulu putih itu kelelahan dan hanya mendekam di tengah-tengah sambil terengah engah dan tubuhnya menggil seakan-akan kedinginan.
Sepasang telinganya yang panjang bergerak-gerak kebawah keatas dengan lucunya.
Bu Beng heran dan kagum melihat gerakan kedua anak itu.
Jelas baginya bahwa kedua anak itu mempunyai gerakan yang terlatih dan pasti mereka adalah murid-murid seorang ahli silat yang pandai.
Tiba-tiba anak perempuan itu meloncat dan tangannya menyambat.
Sambil tertawa girang ia melihatbetapa kelinci itu bergerak-gerak hendak meloloskan diri, tapi percuma karena tangan kecil yang memegang kedua telinganya itu kuat sekali hingga ia hanya dapat menggerak-gerakkan kedua kakinya yang tergantung dan kaki depannya bergerak-gerak seakan-akan orang main silat.
"Cin Lan, lepaskan ia, kasihan.
Telinganya tentu sakit kau gantung demikian rupa," tegur anak laki-laki itu.
"Mengapa kasihan? Tampaknya lucu!" jawab anak yang perempuan, "Biar kubawa pulang, kuberikan pada twaci agar dimasak.
Hm, alangkah sedapnya nanti." "Jangan, Cin Lan.
Kasihan dia.
Aku tak suka daging kelinci.
Lihat itu matanya seperti matamu.
Sebentar lagi ia menangis." Digoda demikian, si gadis kecil melempar kelinci itu ke tengah gerombolan pohon kecil.
Binatang itu segera lari cepat dan menghilang dibawah rumput alang-alang.
Anak perempuan itu dengan muka merah menghadapi kakaknya.
"Kau ini bisanya menggoda saja.
Awas nanti kuberitahukan Cici agar kau dijewer sampai merah biru telingamu." "Sudahlah jangan marah.
Lebih baik kita berlatih karena kalau Cici datang melihat kita belum latihan, barangkali telinga kita berdua akan dijewer sampai putus.
Kau tahu, bagaimana halusnya tangan Cici, kalau sudah menjewer telinga ampun sakitnya bukan main." "Baiklah, Han ko tapi kau jangan nakal lagi.
Mari kita latih pelajaran kemarin.
Gerakan jurus keempat masih terasa sukar bagiku." Semenjak tadi Bu Beng mengintai dari belakang pohon dengan hati gembira.
Ia suka sekali kepada kedua anak kecil yang mungil itu.
Yang laki-laki cakap berwajah tampan, daun telinganya lebar dan matanya bersinar, tapi bibir dan pandangan matanya memperlihatkan kesabaran dan kebijaksanaan.
Terang bahwa kelak anak ini akan menjadi seorang yang mulia dan bijaksana.
Anak perempuan yang dipanggil Cin Lan itupun mungil sekali.
Wajahnya cantik jelita dengan mata yang lebar, jika ketawa nampak dua lekuk manis di kanan kiri mulutnya.
Tapi menurut pandangan Bu Beng, pandangan mata anak perempuan itu ketika marah tampak kejam dan jahat, sungguhpun setelah tertawa lenyaplah sifat itu dan terganti sifat yang halus menyenangkan.
Kini setelah melihat kedua anak itu bertanding main silat terkejutlah Bu Beng.
Karena ternyata kedua anak itu mainkan tipu-tipu gerakan dari Kim Liong Pai! Murid siapakah kedua anak ini? Demikian Bu Beng tak habis terheran-heran.
Kalau murid dari cabangnya yang mengajar kedua anak itu, mengapa gerakannya demikian kacau? Tipu-tipu gerakan ini walaupun banyak mengambil dari Kim Liong Pai, tapi harus diakui ada bedanya, atau beda dalam variasinya.
Karena heran dan ingin sekali tahu, Bu Beng menghampiri mereka.
Dua anak itu berhenti main silat dan memandang Bu Beng dengan curiga.
Pakaian Bu Beng memang dapat mencurigakan hati kanak-kanak, karena pakaian warna kuning itu sudah bertambal sana sini bahkan di bagian pundak kiri robek belum ditambal hingga nampak kulit pundaknya yang putih dengan tulang pundak menonjol.
"Anak baik, siapakah guru kalian? bagus sekali permainanmu," Tanya Bu Beng ramah.
Tapi anak perempuan itu segera mundur dan berbisik kepada kakaknya.
"Han ko, hati-hati, ini tentui sebangsa penjahat seperti yang diceritakan Cici." Bu Beng tertawa geli mendengar ini.
"Eh aku bukan penjahat.
Aku suka sekali melihat permainan silatmu tadi.
Tapi ada beberapa bagian yang kaku dan salah.
Tadi ketika kau mainkan tipu naga mas memburu mustika kaki kirimu salah duduknya, seharusnya agak ditarik serong ke kiri," katanya kepada anak perempuan itu.
Kemudian ia berkata kepada anak laki-laki yang memandangnya dengan mata tajam.
"Dan kau, Siauw ko ketika kau menangkis dengan Naga Mas Sabetkan Ekor tadi, tangan kirimu yang menganggur seharusnya dikerjakan untuk balas menyerang dengan tipu Naga Mas Leletkan Lidah karena kedudukan lawanmu kosong bagian pinggang kanan." "Eh, orang kuarang ajar!" tiba-tiba gadis kecil itu mendamprat, "Kau lancing sekali berani mencela ilmu silat kami yang diturunkan oleh Cici!" Bu Beng ketawa gembira melihat kelincahan dan kegalakan nona cilik itu.
"Oh, jadi kalian diberi pelajaran oleh Cici kalian sendiri?." "Apa kau berani bilang bahwa twaci kami salah pula dalam memberi pelajaran?" Tanya anak laki-laki itu penasaran.
"Memang salah.
Kalau Cicimu yang mengajar, maka ia juga salah." "Hm, sobong bener kau! twaci mendapat pelajaran dari supek, apakah kalau begitu supek juga slah?" Tanya anak perempuan itu.
Bu Beng mengangguk sambil tersenyum.
"kalau memang begini cara mengajarnya, supekmu itu juga salah!" "Kurang ajar!" gadis kecil itu berteriak marah dan dengan cepat ia layangkan kepalannya yang kecil memukul perut Bu Beng.
Bu Beng tertawa gelid an timbul kegembiraannya.
"Baik, baik mari berlatih agar dapat kemajuan." Ia berkelit sambil berkata, "Nah, ini kelitan Naga Mas Putar tubuh." Anak laki-laki ketika melihat adiknya menyerang segera ikut membantu dan sebentar kemudian Bu Beng sikeroyok oleh kedua anak itu.
Bu Beng sambil berkelit dengan mulut tersenyum gembira selalu memberi petunjuk.
Ia sebutkan kesalahan-kesalahan gerakan anak-anak itu dan sebutkan nama gerakannya sendiri sambil mengelak atau menangkis perlahan.
Ternyata kedua anak itu bersemangat besar karena biarpun sudah merasa lelah, namun masih saja mendesak.
Disamping menyerang, merekapun perhatikan petunjuk-petunjuk dari Bu Beng dan dasar otak mereka berdua cerdik merekan seakan-akan terbuka mata mereka dan dapat menangkap kesalahan-kesalahan sendiri.
Tiba-tiba terdengar seruan nyaring.
"He, orang kasar Dari mana berani mengganggu kedua adikku?" Mendengar seruan ini Bu Beng meloncat mundur dua kali dan memandang.
Ia tertegun dan untuk sejenak seakan-akan napasnya berhenti.
Bu Beng bukanlah seorang pemuda yang mudah saja terpesona oleh paras cantik.
Tapi ketika matanya memandang gadis berpakaian putih yang berdiri dihadapannya sambil bertolak pinggang dan matanya bercahaya tajam dan marah itu, ia rasakan semangatnya melayang-layang.
Wajah dan potongan tubuh gadis itu menarik hatinya benar dan diam-diam ia bandingkan gadis itu dengan gadis yang selalu memenuhi alam mimpinya.
Karena sudah berusia lebih dari dua puluh lima tahun, sebagai seorang pemuda yang sehat, sering kali Bu Beng mengenangkan dan mimpikan seorang gadis yang sesuai dan cocok dengan selera hatinya.
Dan gadis ini mememnuhi segala-galanya.
Gadis itu berusia paling banyak sembilan belas tahun, tubuhnya ramping padat, sepasang matanya merupakan bintang bercahaya indah, hidungnya mancung mulutnya kecil dengan bibir bagaikan gendewa terpentang dan berwarna merah, rambutnya terurai ke belakang dan diikat dengan kain putih, sebagian rambut terurai kejidat menambah kemanisannya.
Baju dan celana putih dari kain kasar dan sepatu putih pula menutupi tubuhnya.
Sungguhpun ia berdandan sederhana sekali namun kesederhanaannya ini bahkan menonjolkan kejelitaan yang asli.
Karena orang yang ditegurnyaa dari tadi bengong saja sambil memandang bagikan patung hidup, gadis itu merasa malu dan wajahnya menjadi merah.
Ia marah sekali melihat kekurang ajaran orang.
"He, bangsat! ada apa kau pandang orang saja dan tak menjawab kata-kataku.
Apakah kesalahan kedua adikku ini hingga kau seorang dewasa sampai mengajak mereka berkelahi? Pengecut besar, tidak malu berkelahi dengan anak-anak kecil." Bu Beng makin kagum, karena setelah marah, ternyata wajah itu makin cantik saja.
Tapi kata-kata yang pedas itu membuatnya sadar.
Segera ia rangkapkan tangan memberi hormat.
"Siocia, maafkan aku seorang perantauan yang tak tahu adapt.
Harap jangan salah sangka, kedua adikmu tadi bukan sedang berkelahi dengan aku, tapi kami bertiga hanya sedang main-main dan berlatih saja." Gadis itu memandang adik perempuannya.
"Cin Lan, benarkan kalian tidak berkelahi tadi!" Dengan keringat di sekujur badan dan napas masih terengah-engah, Cin Lan menjebikan bibir kearah Bu Beng dan berkata.
"Siapa yang main-main? Coba Cici lihat, apakah aku kelihatan seperti orang main-main? Keringatku sampai membasahi semua pakaian, dan lihat Han ko itu, ia masih terengah-engah kelelahan! kalau Cici tidak keburu datang memisah, sekarang kami berdua tentu telah dapat menggebuk mampus padanya!" "Huh!" gadis itu menegur, tapi mau tak mau ia terpaksa bersenyum mendengar kejumawaan adiknya itu.
"Sungguh bukan maksudku mengajak mereka berkelahi nona.
Coba kau Tanya Siauw ko ini benar-benarkah kami tadi berkelahi?" Anak laki-laki itu memandang Cicinya dengan matanya yang jujur dan berkata ragu-ragu.
"Aku sendiri tidak tahu, tapi dia ini memberi petunjuk-petunjuk dan membetulkan kesalahan-kesalahan gerakan kami." "Membetulkan kesalahan gerakanmu?" Cicinya bertanya heran.
"Ya, Ci, bahkan kau sendiri juga dicelanya, juga supek dikatakannya salah mengajar!" kata nona cilik yang nakal itu.
"Apa katamu?" gadis itu memandang marah kepada Bu Beng.
"Ah, bukan begitu maksudku, nona..." membela Bu Beng.