Biarpun Im-yang Seng-cu bicara penuh gairah dan semangat, Suma Hoat mendengarkan dengan sikap dingin dan melanjutkan menyumpit dan makan potongan daging.
"Tidak ada sangkut-pautnya dengan aku,"
Jawabnya.
"Apa?"
Im-yang Seng-cu membelalakkan matanya.
"Jai-Hwa-sian, kalau benar kau Jai-hwa-sian, salahkan pendengaranku selama ini bahwa di samping.... eh.... kebiasaanmu yang tidak terpuji, engkau adalah seorang pendekar yang selalu siap mengulurkan tangan menentang kejahatan?"
Mendengar ini, Suma Hoat menunda sumpitnya dan memandang tajam.
"Im-yang Seng-cu, tentang kebiasaanku, itu adalah urusan pribadi. Dan tentang sifat pendekar, aku bukan seorang pendekar, akan tetapi aku bukan pula seorang yang suka mencampuri urusan permusuhan orang lain, sedangkan aku belum tahu siapa salah dan siapa yang benar."
Im-yang Seng-cu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aih-aihh...., sampai begitu jauhkah engkau mengerti tentang keadaan di dunia kang-ouw dan kerajaan?"
"Aku tidak ada urusan dengan kerajaan dan dunia kang-ouw."
"Kalau begitu, engkau perlu mengerti. Dengarlah baik-baik,"
Im-yang Seng-cu lalu menceritakan pendirian Siauw-lim-pai tentang pertentangan-pertentangan yang timbul antara Kerajaan Sung dan banyak pembesar-pembesar daerah yang hendak berdiri sendiri. Kemudian ia menambahkan.
"Nah, siapakah yang tidak kagum akan kebijaksanaan Kian Ti Hosiang, Ketua Siauw-lim-pai yang sakti itu? Akan tetapi sekarang, lima orang cecunguk tadi hendak merusak pendiriannya yang bijaksana itu. Si Tosu hendak menyamar sebagai tosu Hoa-san-pai membunuh ketua cabang Siauw-lim-si, hal ini berarti mereka hendak mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai. Kemudian, dua orang perwira tadi hendak menyamar sebagai perwira-perwira Sung, ini berarti orang-orang ini hendak melawan Kerajaan Sung dan membantu para pemberontak! Tidak kasihankah engkau kepada pendeta-pendeta Siauw-lim-pai yang tidak berdosa dan tidak sayangnya engkau kalau melihat pendirian yang bijaksana itu menjadi berantakan?"
Suma Hoat tertarik sekali. Dia sudah mendengar bahwa di antara para tokoh besar, kedudukan Ketua Siauw-lim-pai, Kian Ti Hosiang, amatlah tinggi dan kesaktiannya dapat disejajarkan dengan paman tuanya. Menteri Kam Liong. Dia sudah mendengar pula bahwa Menteri Kam telah tewas dikeroyok pasukan kerajaan di bawah pimpinan ayahnya sendiri, hal yang amat menyesalkan hatinya.
"Im-yang Seng-cu, bagaimana engkau bisa tahu bahwa mereka tadi hendak membasmi para hwesio kelenteng Siauw-lim-si?"
Yang ditanya tertawa,
"Biarpun dalam hal ilmu kepandaian aku masih kalah jauh dibandingkan denganmu, akan tetapi agaknya tentang dunia kang-ouw aku lebih tahu. Mereka bicara tentang keledai-keledai gundul yang berarti hwesio, dan di kota Lo-kiu ini satu-satunya kelenteng yang memiliki hwesio-hwesio lihai hanyalah kelenteng Siauw-lim-si di sebelah barat kota. Dan percakapan mereka tadi cocok dengan keadaan pada waktu ini. Sudahlah, kalau memang engkau tidak memiliki kegagahan biar aku sendiri yang akan membela para hwesio Siauw-lim-pai!"
Suma Hoat tersenyum dingin.
"Silakan!"
Im-yang Seng-cu menenggak araknya, lalu bangkit berdiri dengan sikap marah.
"Sebaiknya mulai saat ini, julukanmu dirubah menjadi Jai-hwa-kwi (Setan Pemetik Bunga) saja! Selamat tinggal!"
Im-yang Seng-cu lalu meninggalkan Suma Hoat dan pergi dengan cepat, memanggul tongkat dan buntalan pakaiannya. Tak lama kemudian, Suma Hoat juga meninggalkan restoran itu setelah membayar makanan yang dipesannya tadi. Im-yang Seng-cu yang maklum bahwa seorang diri saja dia akan kurang kuat untuk menghadapi lima orang lihai yang hendak menyerang Siauw-lim-si, maka ia lalu langsung pergi ke kuil itu yang berada di sebelah barat, di ujung kota.
"Saya mohon bertemu dengan Gin Sim Hwesio yang mengepalai kuil ini,"
Katanya kepada penjaga kuil. Penjaga kuil itu, seorang hwesio muda, memandang Im-yang Seng-cu penuh kecurigaan dan menjawab,
"Suhu sedang bersamadhi, tidak boleh diganggu. Kalau Sicu hendak bersembahyang, siauw-ceng dapat melayani Sicu."
Im-yang Seng-cu menjadi tidak sabar menyaksikan pandang mata hwesio muda itu mengandung kecurigaan, maka katanya keras,
"Aku mempunyai urusan penting sekali dengan Gin Sim Hwesio, urusan yang menyangkut persoalan jatuh bangunnya Siauw-lim-si ini, dan juga termasuk urusan mati hidupmu. Harap jangan banyak curiga dan lekas minta Gin Sim Hwesio keluar menemuiku!"
Alis hwesio itu berkerut. Tamu ini biarpun aneh dan tidak bersepatu, usianya hanya sebaya dengan dia, mengapa sikapnya begini angkuh?
"Maaf Sicu,"
Jawabnya dengan sikap yang sopan namun keras.
"Urusan jatuh bangunnya Siauw-lim-si adalah tanggung jawab kami sendiri, adapun urusan mati hidup siauwceng adalah urusan Tuhan. Sicu tidak ada hubungannya dengan itu. Kami di sini selalu mengutamakan hidup suci dan damai, dan hanya melayani orang-orang yang ingin menikmati sinar kasih Sang Budda dan bersembahyang."
Bukan main jengkelnya hati Im-yang Seng-cu melihat kekerasan hati hwesio muda itu. Diam-diam ia memaki diri sendiri yang suka mencampuri urusan orang. Apakah dia keliru dan Jai-hwa-sian yang benar? Dia penasaran dan berkata lagi,
"Engkau sungguh terlalu curiga dan keras kepala! Katakanlah kepada suhumu bahwa aku Im-yang Seng-cu mohon bertemu!"
Sepasang mata hwesio itu terbelalak. Hwesio-hwesio Siauw-lim-pai bukanlah pendeta-pendeta sembarangan dan telinga serta mata mereka tajam, pengertian mereka tentang dunia kang-ouw luas karena hwesio-hwesio Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga terkenal di dunia kang-ouw. Sambil menjura hwesio itu berkata,
"Omitohud..., kiranya orang gagah Im-yang Seng-cu yang datang? Maafkan Sicu, Siauw-ceng rasa bahwa Siauw-lim-pai tidak mempunyai urusan apa-apa dengan Hoa-san-pai."
"Aku tidak datang sebagai utusan Hoa-san-pai, melainkan karena maksud pribadi, dan yang hendak kubicarakan adalah hal penting yang menyangkut keselamatan Siauw-lim-pai, bukan hanya mengenai kuil ini, melainkan mengenai Siauw-lim-pai seluruhnya. Lekas kau beritahukan kepada suhumu sebelum terlambat."
Tiba-tiba dari sebelah dalam terdengar suara. halus,
"Siapakah yang ingin berjumpa dengan pinceng?"
Im-yang Seng-cu memandang. Yang bicara itu adalah seorang hwesio tinggi, kurus yang usianya sudah empat puluh tahun lebih, bersikap gagah dan tangan kirinya membawa seuntai tasbeh. Ia cepat menjura dan bertanya.
"Apakah aku berhadapan dengan Gin Sim Hwesio yang mengepalai kuil ini?."
"Benar, Sicu."
Hwesio itu berkata dan balas menjura dengan hormat.
"Aku adalah Im-yang Seng-cu, ada urusan penting mengenai kuil ini hendak kusampaikan kepada Losuhu."
"Omitohud.... ! Pinceng merasa menerima kehormatan besar sekali dengan kunjungan seorang pendekar kang-ouw yang ternama seperti Sicu. Silakan masuk dan mari kita bicara di ruangan dalam."
Setelah mereka memasuki ruangan dalam yang sederhana namun bersih sekali, dan duduk berhadapan, Im-yang Seng-cu lalu berkata, wajahnya serius,
"Gin Sim Hwesio, Siauw-lim-pai terancam bahaya besar. Malam nanti, kuil ini akan diserbu, semua penghuninya akan dibunuh dan mungkin kuilnya akan dibakar!"
Hwesio tinggi kurus itu menerima berita ini dengan sikap tenang-tenang saja sungguhpun sinar keheranan dan tidak percaya terpancar dari kedua matanya.
"Omitohud! Sungguh luar biasa sekali berita yang Sicu bawa ini. Siapakah yang begitu gatal tangan hendak melakukan hal-hal hebat itu? Kami selamanya tidak bermusuhan dengan siapa juga, kami bersahabat dengan semua golongan...."
"Aku mengerti Losuhu!"
Im-yang Seng-cu memotong tak sabar.
"Aku tahu sikap bijaksana yang menjadi pegangan Siauw-lim-pai, dan aku kagum serta menghargai sikap yang diambil oleh ketua kalian, Kian Ti Hosiang-locianpwe yang terhormat. Akan tetapi, justeru sikap diam tidak mencampuri dan tidak memusuhi siapa-siapa itulah yang menjadi sebab ancaman yang akan dilakukan orang malam nanti."