"Ji Kun, Yan Hwa! Berhenti....!"
Tang Hauw Lam membentak, tangannya bergerak ke depan dan dua orang muridnya itu terpelanting roboh.
"Apa yang hendak kalian lakukan?"
Kedua orang anak itu merangkak menghampiri suhu mereka, berlutut sambil menangis sesenggukan.
"Subo telah mereka bunuh....!"
Ok Yan Hwa mengeluh sambil menangis.
"Subomu gagal, namun tewas sebagai seorang gagah yang mendapat kehormatan besar dari Raja Mongol, dari musuhnya sendiri. Kalian patut berbangga karenanya!"
Kelemahan dua orang muridnya itu membangkitkan semangat Hauw Lam, dan dengan wajah pucat, pipi basah air mata namun sikapnya telah menjadi tenang, mulailah pendekar ini membuka sampul surat dan membaca isinya.
Bibirnya bergerak-gerak, air matanya menetes-netes ketika ia membaca surat Raja Mongol itu. Surat yang menceritakan usaha isterinya membalas dendam kematian Raja Talibu, menceritakan penuh kekaguman dan pujian atas kegagahan Mutiara Hitam, yang seorang diri menyerbu Mongol, mengamuk dan menghadapi pengeroyokan ratusan orang tentara Mongol dengan gagah perkasa, membunuhi ratusan orang perajurit Raja Mongol yang menyambutnya seperti seekor naga sakti mengamuk, dan hanya karena kehabisan tenaga saja akhirnya Mutiara Hitam dapat dirobohkan dan tewas dengan pedang masih di tangan!
"Kami amat kagum dan terharu menyaksikan kegagahan pendekar wanita Mutiara Hitam,"
Demikian penutup surat yang panjang lebar itu.
"Tak dapat kami menganggap orang segagah itu sebagai musuh, bahkan kami jadikan contoh untuk para panglima kami. Sayang bahwa dia mencampur-adukkan urusan perang dengan perasaan pribadi. Kami memperabukan jenazahnya dengan upacara kebesaran dan penuh hormat, dan kami mengirim salam dan hormat kepada Pek-kong-to Tang Hauw Lam yang beruntung sekali dapat menjadi suami seorang wanita sakti yang demikian gagah perkasa."
"Kwi Lan....!"
Ucapan Tang Hauw Lam terdengar sayu dan wajahnya menjadi layu seperti tanaman kekeringan, sinar matanya suram-muram dan tanpa banyak cakap lagi Tang Hauw Lam lalu menggali tanah, dibantu oleh dua orang muridnya yang menangis terus, dan oleh Gu Toan yang berkali kali menarik napas panjang dan menggeleng kepala. Penguburan abu jenazah Mutiara Hitam dilakukan dengan khidmat, dan sampai satu bulan lamanya. Tang Hauw Lam berkabung di dekat kuburan isterinya. Setelah lewat sebulan, dia menyerahkan tempayan emas dan pedang Siang-bhok-kiam kepada Gu Toan sambil berkata,
"Gu Toan, engkaulah satu-satunya orang yang tepat menjadi penjaga kuburan keluarga ini dan karena pusaka-pusaka peninggalan Menteri Kam Liong berada di tanganmu, maka kuserahkan semua ini kepadamu untuk disimpan menjadi satu sebagai benda-benda pusaka keluarga keturunan Suling Emas. Jagalah tanah kuburan ini baik-baik, aku hendak pergi bersama dua orang muridku."
"Jangan khawatir, Tai-hiap. Satu-satunya kewajiban hidupku sekarang adalah menjaga tanah kuburan ini, akan hamba jaga sampai mati. Selama hamba masih hidup, tidak akan ada seorang pun yang dapat mengganggu kuburan atau benda-benda keramat, pusaka peninggalan keluarga majikan hamba."
"Engkau seorang yang bahagia sekali, Gu Toan. Kesetiaan yang merupakan tugas dan dapat dilaksanakan dengan baik merupakan kebahagiaan besar. Selamat tinggal, Gu Toan."
"Selamat jalan, Tang-taihiap. Maafkan kalau hamba lancang memberi nasihat kepada Tai-hiap, hanya ingin hamba memperingatkan bahwa bukan hanya hamba yang mempunyai tugas hidup, melainkan juga Tai-hiap mempunyai tugas suci, yaitu mendidik kedua orang murid Tai-hiap."
Kedua mata pendekar itu menjadi basah. Teringat ia akan pesan terakhir isterinya ketika hendak pergi. Masih berkumandang di telinganya pesan terakhir isterinya,
".... andaikata aku tewas dalam tugas pribadiku ini, kau pimpinlah baik-baik kedua orang murid kita, dan aku akan selalu menantimu dengan setia di pintu gerbang akhirat, suamiku."
Biarpun dua titik air mata membasahi bulu matanya, Tang Hauw Lam memaksa diri tersenyum penuh syukur kepada Gu Toan, mengangguk dan berkata,
"Terima kasih, Gu Toan. Aku akan melakukan tugasku sebaik mungkin, karena aku yakin bahwa kebahagiaan menantiku di pintu gerbang akhirat. Selamat tinggal!"
Sambil menggandeng tangan kedua muridnya. Tang Hauw Lam berkelebat lenyap dari situ, diikuti pandang mata Si Bongkok yang mengangguk-angguk dan menghela napas panjang.
Berlindung di bawah cuaca senja yang suram, tubuh Han Ki berkelebat naik ke bukit karang dan menyelinap di antara batu-batu karang, menghampiri guha besar yang dianggap tempat keramat oleh penduduk Pulau Nelayan. Setelah tiga hari tinggal di pulau itu, akhirnya pada senja hari ini ia dapat menyelundup ke tempat keramat dan terlarang itu. Tidak ada seorang pun mengetahui akan perbuatannya ini, bahkan Maya dan Siauw Bwee juga tidak mengetahui. Dia ingin menyelidiki tempat keramat itu karena ia menduga bahwa tentu kunci rahasia keadaan para penghuni Pulau Nelayan yang penuh rahasia dan tentu ada hubungannya dengan Bu Kek Siansu, akan dapat ia temukan di dalam guha keramat terlarang itu.
Biarpun kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi, namun Han Ki berlaku hati-hati sekali. Seluruh penghuni Pulau Nelayan yang hidupnya amat sederhana itu memiliki kepandaian hebat sehingga kalau dia tidak hati-hati tentu akan terlihat oleh mereka. Dia tidak takut ketahuan, hanya tidak ingin dia menyinggung hati orang-orang yang bodoh akan tetapi amat ramah itu, tidak mau menyakiti hati pihak tuan rumah yang bersikap baik kepadanya. Kakek yang menjadi orang tertua itu sudah berpesan agar dia jangan melanggar daerah terlarang itu, kalau sampai dia ketahuan mendatangi tempat itu, bukankah ia akan merasa malu sekali?
Guha itu sudah mulai gelap, akan tetapi dia sudah mempersiapkan lilin yang dibuatnya dari lemak ikan. Setelah memasuki guha itu, Han Ki menyalakan lilin dan mulailah ia dengan penyelidikannya. Guha itu ternyata cukup besar dan tepat seperti dugaannya, gua itu merupakan terowongan. Ia masuk terus dan betapa girang hatinya ketika ia melihat sebuah ruangan seperti kamar yang keadaannya sudah rusak dan dinding batunya banyak yang longsor. Akan tetapi di sudut kamar ia melihat sebuah peti hitam. Peti yang amat tua, sebagian tertimbun batu dan tanah. Dibukanya peti itu dan isinya adalah kitab yang sudah amat tua, sebagian sudah lapuk. Han Ki mengambil sebuah kitab yang ditulis dengan huruf-huruf indah, lalu menaruh lilin di atas peti dan mulai membuka-buka kitab.
"Inilah yang kucari!"
Serunya girang.
Ia duduk di atas lantai batu dekat peti dan mulai membaca. Huruf-huruf itu adalah huruf yang sudah agak kuno, akan tetapi Han Ki dapat membacanya dan menangkap artinya. Memang benar seruannya tadi. Kitab itu adalah kitab catatan yang menceritakan keadaan nenek moyang penghuni. Pulau Nelayan. Agaknya kitab-kitab itu tidak ada gunanya bagi para penghuni di situ karena tiada seorang pun di antara mereka dapat membaca. Dengan penuh perhatian Han Ki membaca isi kitab yang ditulis rapi dan indah itu. Dan ia menjadi kaget sekali, juga girang karena ternyata dugaannya tidak keliru bahwa penghuni Pulau Nelayan itu masih mempunyai hubungan dengan Bu Kek Siansu! Kiranya mereka itu adalah keturunan orang-orang yang mengungsi dari Pulau Es di jaman dahulu.
Juga di dalam kitab itu dituturkan sejelasnya tentang kerajaan kecil di Pulau Es, yaitu raja sakti seperti dewa yang menjadi nenek moyang gurunya Bu Kek Siansu. Menurut catatan dalam kitab itu, di jaman dahulu, ratusan tahun yang lalu, seorang pangeran pelarian dari daratan bersama keluarganya menduduki Pulau Es dan membangun sebuah istana di situ. Pangeran ini amat sakti dan bersama para pengikutnya ia tinggal di Pulau Es sebagai seorang raja kecil. Mereka hidup aman tenteram dan penuh kebahagiaan di pulau itu, para pengikutnya membentuk keluarga-keluarga yang hidup aman dan tidak kekurangan sesuatu. Karena kesaktian raja ini, tidak ada golongan atau kerajaan lain yang berani mengganggu Pulau Es dan sekitarnya. Raja ini tinggal di Pulau Es turun-temurun dan ilmu kepandaiannya pun menjadi ilmu warisan yang turun-temurun dipelajari anak cucunya.
Akan tetapi, pada waktu keturunan ke empat berkuasa menjadi raja dan keluarga di Pulau Es sudah mulai berkembang, terjadilah malapetaka yang amat dahsyat di pulau itu. Badai taufan mengamuk, tak tertahankan oleh manusia yang bagaimana kuat pun, menyapu habis Pulau Es berikut semua penghuninya! Seluruh keluarga raja dan para pengikutnya yang berada di pulau itu habis dan terbasmi semua! Hanya beberapa orang yang kebetulan sedang tidak berada di pulau, yaitu yang sedang berlayar menangkap ikan, mereka inilah yang tidak terbasmi habis. Perahu-perahu mereka pun diamuk badai, dan sebagian besar di antara mereka pun lenyap ditelan badai, akan tetapi ada belasan orang, tujuh laki-laki dan lima wanita, dilemparkan badai sehingga perahu mereka terdampar di sebuah pulau kosong. Dua belas orang inilah yang menjadi nenek moyang para penghuni Pulau Nelayan!
Di antara mereka itu terdapat seorang yang berkepandaian tinggi, yang telah menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari keluarga raja, maka tidaklah mengherankan apabila ilmunya itu ia wariskan kepada anak cucunya sehingga sampai sekarang para penghuni Pulau Nelayan itu memiliki ilmu kepandaian tinggi! Mungkin karena makin lama makin tidak membutuhkan, makin lenyaplah pengetahuan baca tulis, bahkan pakaian serta watak mereka menjadi sederhana sekali sungguhpun ilmu silat mereka amat lihai! Han Ki tertarik sekali. Mengertilah ia kini bahwa memang ada hubungan antara para penghuni pulau ini dengan gurunya, hanya bedanya, kalau para penghuni pulau ini adalah keturunan para pengungsi yang terlepas dari bencana maut itu, adalah Bu Kek Siansu merupakan satu-satunya keturunan keluarga raja yang terbebas dari maut. Mendadak terdengar suara gerengan aneh dan Han Ki cepat meloncat sambil mengelak ketika ada angin menyambar ke arah kepalannya.
Sebuah tangan berkuku panjang mencengkeram ke arah kepalanya dengan kecepatan yang mengerikan. Han Ki berhasil mengelak, akan tetapi sebuah tangan lain mencengkeram dada. Kembali ia mengelak dan tiba-tiba dua buah kaki menendangnya secara berbareng. Serangan bertubi-tubi itu amat cepat datangnya, cepat dan juga kuat sekali dibarengi suara menggereng seperti binatang buas. Han Ki tersedak dan meloncat mundur, kakinya tanpa disengaja menyentuh peti sehingga terguling. Ketika ia menoleh ke arah penyerangnya, ia berseru kaget dan mencabut pedang. Penyerangnya adalah manusia bertubuh satu berkepala dua, berkaki empat dan berlengan empat! Dan kini orang aneh itu menyerang lagi dengan amat hebatnya. Han Ki cepat mengelak dan mengelebatkan pedangnya untuk menangkis dan menakut-nakuti.