“Eh, Lian Hong, hati-hatilah ........” kata pembesar itu yang amat sayang kepada cucunya ini. Serta merta iapun lalu berlari keluar untuk melihat sendiri siapa adanya hwesio yang berani berlaku kurang ajar itu.
Ketika Lian Hong dan kakeknya tiba di luar, para penjaga telah roboh semua merintih-rintih dengan kepala benjol atau tulang patah.
“Hwesio kurang ajar dari manakah berani main gila di s ini?” teriak Ciok-taijin.
Leng Kok Hosiang menyipitkan matanya ketika ia menyaksikan seorang gadis muda yang amat cantik berdiri di depannya bersama seorang tua yang berpakaian seperti pembesar tinggi. Ia lalu tersenyum-senyum dan berkata.
“Apakah kau yang bernama Ciok-taijin? Kalau kau ingin keluargamu selamat, lekaslah kau suruh keluar jahanam Ong Han Cu yang menjadi mantumu itu!”
“Bangsat gundul bermulut lancang!” tiba-tiba Lian Hong tak dapat menahan marahnya dan cepat ia menerjang dengan pedangnya, melompat maju sambil menusuk dengan gerak tipu Hui-eng-bok-tho (Elang Terbang Menyambar Kelinci). Jai-hwa-sian Leng Kok Hosiang tertawa gembira. “Aduh, masih mudah remaja telah mempunyai gerakan yang demikian indah! Bagus, kau siapakah nona?” tanyanya sambil mengelak cepat dari tusukan Lian Hong.
“Bukalah matamu, setan gundul dan lihatlah baik-baik. Aku adalah puteri dari Ong Han Cu yang hendak mewakili ayah mematahkan lehermu!”
“Lian Hong .....!” Ciok-taijin berseru keras. Ia telah melarang kepada gadis itu untuk memberitahukan kepada siapapun juga bahwa gadis itu adalah puteri dari Ong Han Cu.
Dalam kemarahannya mendengar ayahnya dihina orang ia baru sadar akan kesalahannya, maka dengan gemas ia lalu maju menyerang lagi dengan gerak tipu Merak Sakti Mengangkat Ekornya, yakni gerak tipu yang amat lihai dari ilmu pedang Liong-cu Kiam-hwat. Terkejut jugalah hwesio gendut itu ketika melihat gerakan yang amat cepat dan lihai ini, karena pedang di tangan gadis ini bergerak berputar-putar dan menyerangnya dari berbagai jurusan secara bertubi-tubi.
Lian Hong telah mempelajari ilm u pedang Liong-cu kiam- hwat, akan tetapi oleh karena ia hanya mempelajarinya dari kitab pelajaran ilmu pedang tanpa mendapat bimbingan langsung dari ayahnya, dan pula karena ia memang belum berpengalaman, maka sungguhpun ia dapat melakukan gerakan yang indah dan cepat, namun gerakkannya ini masih kurang isi dan kurang tenaga.
Kalau hanya menghadapi ahli silat tingkat pertengahan saja, belum tentu ia akan kalah, akan tetapi sekarang ia menghadapi Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga) Leng Kok Hosiang yang selain berilmu tinggi, juga sudah banyak pengalaman dalam pertempuran. Apalagi se lama lima tahun hwes io ini telah melatih diri dengan tekun, maka ilmu s ilatnya masih jauh berada di atas tingkat kepandaian gadis itu. Masih baik nasib Lian Hong bahwa hwes io mata keranjang ini tertarik akan kecantikkannya maka hwesio ini tidak menurunkan tangan kejam. Kalau saja Leng Kok Hosiang mempergunakan ilmu pukulan Hek-coa-tok-jiu, tentu gadis ini akan tewas dengan sekali pukul saja. Karena berniat hendak menangkap gadis cantik jelita ini, maka Leng Kok Hosiang hanya mainkan kedua ujung lengan bajunya untuk menangkis serangan-serangan Lian Hong.
Akan tetapi, Liong-cu kiam-hwat benar-benar hebat dan sukar sekali diketahui perobahan gerakannya. Ketika pedang di tangan Lian Hong menusuk ke arah tenggorokan hwes io itu dan ditangkis dengan kebutan ujung lengan baju kanan, tiba- tiba pedang itu dirobah gerakannya dan membabat ke bawah memapaki lengan hwesio itu. Gerakan ini demikian cepatnya dan tidak terduga-duga sama sekali sehingga hampir saja tangan hwesio itu kena terbabat. Ia berseru keras dan menarik lengannya, akan tetapi ujung lengan bajunya masih kena babatan pedang sehingga putus.
Bukan main marahnya Leng Kok Hosiang melihat hal ini. Dengan berseru keras ia lalu menubruk maju, mainkan kedua tangannya dan menyerang dengan ilmu pukulan Eng-jiau-kang (Pukulan Kuku Garuda). Serangan ini hebat sekali, Lian Hong masih berusaha mengelak, akan tetapi gerakan tangan hwesio itu lebih cepat lagi sehingga lengan kanannya kena dicengkeram. Sambil berteriak kesakitan, Lian Hong terpaksa melepaskan pedangnya dan sesaat kemudian, ia te lah terkena tiam-hwat (ilmu menotok) dari hwes io yang lihai itu sehingga tubuhnya menjadi lemas dan dipondong oleh lawannya.”
“Lepaskan cucuku!” Ciok-taijin berseru sambil memerintahkan para penjaga untuk menyerbu.
Leng Kok Hosiang tertawa terbahak-bahak. “Ha, ha, ha, biarpun aku tidak berhasil membinasakan Ong Han Cu, sebagai gantinya aku telah mendapatkan puterinya yang cantik molek!” Setelah berkata demikian, ia menggerakkan tangan kirinya ke arah Ciok-taijin. Biarpun tangannya tidak mengenai tubuh pembesar itu, namun Ciok-taijin segera menjerit ngeri dan roboh pingsan. Ternyata bahwa ia terkena pukulan Hek-coa Tok-jiu yang ganas dari Leng Kok Hosiang.
Hwesio itu dengan sengaja melakukan pukulan itu karena selain hal ini dapat mencegah para penjaga yang sibuk menolong pembesar itu menghalangi perginya, juga ia dapat membuat hati musuh besarnya menjadi lebih sakit lagi. Kemudian ia lalu melompat keluar dari pekarangan itu sambil memondong tubuh Lian Hong.
Akan tetapi baru saja ia tiba di pintu pekarangan itu, tiba- tiba di pintu itu muncul seorang tosu (pendeta To) yang memegang kebutan di tangan kanan dan sebuah kipas di tangan kiri. Tosu ini berdiri menghadang di tengah jalan, menggerakkan kipasnya sambil berkata.
“Siancai ..... Leng Kok Hosiang sudah tua bangka masih tetap mengambil jalan hitam!” Baru saja ia menutup mulutnya, tubuh tosu yang tinggi kurus ini bergerak bagaikan seekor burung melayang dan kebutannya menyambar ke arah kepala hwesio gendut itu.
Sejak melihat tosu itu, wajah Leng Kok Hosiang berobah dan ketika kebutan itu menyambar ke arah kepalanya, cepat ia mengelak jauh dan melepaskan tubuh Lian Hong yang terguling di atas tanah. Kemudian ia melompat ke depan tosu itu dengan mata merah dan wajahnya menakutkan sekali.
“Ouwyang Sianjin, kalau kau hendak mencampuri urusanku, terpaksa aku mengadu jiwa denganmu!” bentak hwes io itu dengan marah.
Tosu itu tersenyum tenang, “Penjahat gundul, kau mengenal namaku akan tetapi tidak tahu bahwa aku adalah sute (adik seperguruan) dari Pat-jiu kiam-ong Ong Han Cu!”
“Begitukah?” teriak hwes io itu dengan kaget dan juga cemas, “Bagus, kalau begitu kau harus mampus!” Ia lalu melangkah maju dan menyerang dengan ilmu pukulan Hek- coa Tok-jiu yang lihai dan ganas. Tosu tua ini maklum akan kelihaian ilmu pukulan ini, maka ia berlaku amat hati-hati. Dengan kipasnya yang mengandung tenaga lweekang tinggi ia selalu mengelak dan menangkis tenaga Racun Ular Hitam yang jahat itu, sedangkan kebutannya tiada hentinya menyambar-nyambar ke arah jalan darah lawan untuk melakukan totokan-totokan berbahaya.
Sementara itu, Bwe Kim yang juga sudah berlari keluar dan kini memeluk puterinya menangis sedih karena ia tidak tahu bagaimana harus mengobati puterinya yang tubuhnya lemas tak dapat bergerak lagi itu. Sedangkan keadaan Ciok-taijin lebih mengkhawatirkan lagi. Orang tua ini napasnya tinggal satu-satu, mukanya berobah hitam, tanda bahwa ia telah terkena racun pukulan Hek-coa Tok-jiu yang lihai.
Menghadapi sepasang senjata Ouwyang Sianjin yang lihai, Leng Kok Hosiang menjadi sibuk juga. Pukulan-pukulan Hek- coa Tok-jiu yang telah dilatihnya selama lima tahun itu ternyata tidak berhasil merobohkan lawan ini, selalu kena dielakkan atau ditangkis oleh gerakan kipas itu.
Ia menjadi marah sekali dan juga penasaran dan hal inilah yang membuat ia akhirnya menderita kekalahan. Ia tidak tahu bahwa sebenarnya Ouwyang Sianjin juga sangat terkejut dan gelisah menghadapi pukulan yang luar biasa lihainya ini. Sungguhpun kipasnya dapat melindungi dirinya, namun hawa pukulan itu telah menyerang pernapasannya dan membuatnya pening kepala.
Akan tetapi kemarahan dan kegemasan hwesio itu membuat permainannya menjadi agak kacau. Hal ini tidak terlepas dari pandangan mata Ouwyang Sianjin yang tajam, maka ia tidak mau mensia-siakan kesempatan baik ini dan cepat menyerang dengan kebutannya. Setelah bertubi-tubi melakukan serangan-serangan, akhirnya ia berhasil menotok jalan darah koan-goan-hiat di pundak kanan hwesio itu. Leng Kok Hosiang berteriak keras dan sebelah tangannya menjadi lumpuh.
“Ouwyang Sianjin! B iarlah kali ini aku mengaku kalah, akan tetapi hati-hatilah kau dan muridmu kalau kelak bertemu dengan aku!” Ia lalu melompat pergi dengan cepat.
Ouwyang Sianjin tidak mau mengejar karena ia sendiripun perlu mengatur pernapasannya dan mengusir hawa busuk yang menyerangnya tadi sehingga untuk beberapa lama ia berdiri diam bagaikan patung sambil meramkan matanya. Akhirnya pernapasannya menjadi bersih kembali dan ia lalu membuka matanya.
Di depannya telah berlutut Bwe Kim sambil menangis. Agaknya sudah semenjak tadi perempuan ini menangis dan minta tolong kepadanya, akan tetapi tadi ia tidak mendengarnya sama sekali karena seluruh pancainderanya dipusatkan untuk pembersihan napasnya.
“Totiang, tolonglah .....tolonglah ayah dan anakku ...” berkali-kali Bwe Kim berkata, sedangkan para penjaga yang tidak terluka hanya berdiri dengan mata terbelalak, kagum menyaksikan pertempuran yang terjadi tadi.
“Tenanglah ... tenanglah, toanio,” kata tosu itu, “biarlah kuperiksa keadaan mereka.” Ia lalu diantar masuk ke dalam gedung itu karena Ciok-taijin dan Lian Hong telah dibawa masuk dan direbahkan ke dalam kamar masing-masing.
Ketika memeriksa keadaan Lian Hong, tosu itu tersenyum. “Nona ini tidak apa-apa, hanya terkena totokan. Ia cukup
kuat dan terlatih untuk menghadapi derita kecil ini.” Ia lalu