Namun janji telah diucapkan dan banyak saksi mendengarkan janji ini. Lagi pula, puterinya agaknya sudah suka kepada pendekar muda itu dan iapun merasa jerih untuk mengingkari janjinya terhadap Ong Han Cu.
Maka pernikahan lalu dilangsungkan dengan amat sederhana. Masih besar harapan hati pembesar itu untuk memberi bimbingan kepada mantunya agar mantu ini suka mempelajari ilmu tulis menulis dan kelak bisa diberi kedudukan yang akan mengangkat derajatnya. Akan tetapi bagaimanakah hasilnya?
Ong Han Cu adalah seorang pemuda yang semenjak kecilnya dididik dalam kegagahan dan kedua orang tuanyapun adalah pendekar-pendekar ilmu silat yang ternama di kalangan kang-ouw, maka tentu saja ia tidak tahan untuk duduk di belakang meja dan mengerahkan otak untuk menghafal huruf- huruf yang amat sukar baginya itu. Ia lebih suka keluar rumah dan berpesiar dari pada harus mengeram diri di dalam kamarnya. Karena inilah maka usaha mertuanya sia-sia belaka dan seringkali ia mendapat teguran dan marah dari mertuanya.
Isterinya, yakni Ciok Bwe Kim, yang melihat betapa ayah ibunya seringkali marah-marah, bersedih dan amat kecewa melihat suaminya, terpaksa memberi nasehat kepada suaminya agar suka merobah cara hidupnya dan dapat menyesuaikan diri sebagai mantu bangsawan. Akan tetapi inipun sia-sia belaka. Sifat yang gagah dalam batin Ong Han Cu tidak membolehkan dia berlaku pura-pura dan melakukan sesuatu yang tak sesuai dengan jiwanya.
Demikianlah, disamping isterinya yang cantik jelita, di dalam gedung yang besar dan mewah, dan berjalan di atas tumpukan harta, Ong Han Cu tidak menemui kebahagiaan rumah tangga. Ia amat mencinta isterinya, akan tetapi pertentangan-pertentangan watak atau kebiasaan hidup membuat ia merasa seakan-akan hidup di dalam neraka.
Apalagi sete lah setahun kemudian isterinya melahirkan seorang anak perempuan. Mertuanya makin kecewa dan seringkali secara berterang menyatakan kekecewaannya ini di depan mantunya. Ong Han Cu menahan sabar seberapa bisa, akan tetapi kian lama kian beratlah perasaan itu menekan hatinya. Setelah puterinya berusia setengah tahun, ia menyatakan kepada isterinya untuk pergi merantau menghibur diri dan melakukan tugas sebagai seorang pendekar dan berdarma bakti kepada rakyat yang sengsara.
Mertuanya yang mendengar niatnya ini menjadi marah sekali dan melarang dia pergi. Akan tetapi Ong Han Cu memaksa sehingga terjadilah percekcokan mulut yang pertama kalinya.
“Hiansai (mantu laki-laki)!” Bangsawan she Ciok itu menegur marah. “Ingatlah baik-baik. Kau bukanlah seorang pemuda liar lagi yang bebas merdeka dan boleh berbuat apa saja di luar rumah, boleh hidup secara liar dan kasar mengandalkan ketajaman pedang dan kekerasan tangan. Kau adalah mantu dari seorang teetok, dan ingatlah bahwa nama mertuamu berada di atas pundakmu pula. Kalau kau main berandalan-berandalan di luar, dan ada orang yang mengenalmu sebagai mantuku, bukankah itu berarti bahwa kau akan mengotori dan mencemarkan namaku?” “Gakhu!” jawab Ong Han Cu yang sudah marah, “Ingatlah bahwa dulu gakhu (ayah mertua) memungut mantu kepadaku karena aku pandai bermain pedang. Kalau dulu tidak ada aku yang gakhu anggap liar dan berandalan, apakah keluarga Ciok masih dapat diharapkan hidup lagi?”
“Hiansai, kau se lalu menggali hal-hal yang sudah lalu. Pertolonganmu dulu adalah hal kebetulan saja dan sudah menjadi kehendak Thian pula kau berjodoh dengan puteri tunggalku. Akan tetapi, kau harus menurut kehendakku. Apakah kau buta dan tidak dapat melihat bahwa segala usahaku ini untuk kebaikanmu? Untuk kebaikan isterimu dan anakmu? Kalau kau sampai menjadi pandai, dan menduduki pangkat tinggi, siapakah yang akan bahagia? Kau dan anak isterimu, kami orang-orang tua hanya ikut merasa senang saja!”
“Aku tidak suka memegang jabatan! Aku tidak suka duduk dibelakang meja sampai punggungku bongkok! Aku tidak suka hidup mewah berlebih-lebihan di rumah gedung sedangkan rakyat jelata banyak yang kelaparan kedinginan!”
“Bagus, jadi apa kehendakmu?” membentak Ciok-taijin yang sudah menjadi marah sekali.
“Aku hendak merantau untuk beberapa bulan lamanya, atau bahkan sampai satu dua tahun!”
“Baik, kalau begitu, pergilah dan jangan kau kembali ke sini lagi! Aku tidak mau mengaku kau sebagai anak mantu lagi!” bentak bangsawan itu.
Terkejutlah Ong Han Cu mendengar ini dan terdengar isak tangis isterinya. Dengan tenang Ong Han Cu lalu menghampiri isterinya dan sambil memegang pundak isterinya dengan mesra, ia berkata,
“Bwee Kim, isteriku. Marilah kau dan anak kita ikut kepadaku. Kita keluar dari rumah gedung ini dan akan kuperlihatkan kepadamu bahwa kehidupan di luar gedung besar ini lebih menyenangkan!”
Akan tetapi isterinya memandangnya dengan air mata bercucuran. Bwee Kim adalah seorang puteri bangsawan yang semenjak kecilnya hidup di gedung besar itu. Bagaimana ia dapat mengikuti suaminya keluar dari situ tanpa tujuan? Bagaimana ia t idak merasa ngeri dan takut diajak merantau di dunia yang penuh kejahatan ini? Kalau teringat akan pengalamannya ketika dirampok dulu, ia masih menggigil ketakutan. Apalagi kini ia sudah mempunyai seorang anak. Bagaimanakah nasib anaknya kelak?
“Bwe Kim!” kata Ciok-taijin dengan suara keras. “Kau boleh memilih. Kalau kau mau pergi dengan suamimu, jangan kau kembali lagi ke rumah ini. Sebaliknya kalau kau memilih tinggal di sini, berarti kau bercerai dengan suamimu!”
“Ayah .....!” Bwe K im hanya dapat mengeluh dengan wajah pucat dan pikiran bimbang sekali.
“Isteriku, apakah susahnya memilih hal yang demikian mudah? Kau adalah isteriku, isteriku yang tercinta, dan ibu dari pada Lian Hong anak kita yang mungil. Tentu saja kau akan ikut padaku! Apakah artinya gedung besar kedudukan tinggi kalau bercerai dari suami? Dan akupun akan menderita kalau harus berpisah darimu!”
Sampai lama Bwe Kim dalam keadaan bimbang ragu dan hanya dapat menangis sehingga Ong Han Cu yang beradat keras menjadi hilang kesabarannya.
“Bwe Kim, berlakulah sedikit gagah dan ambilah keputusan!” tegurnya. “Pilihlah mana yang lebih berat, menjadi anak berbakti atau menjadi isteri setia!”
Akhirnya Bwe Kim dapat juga menjawab. “Suamiku ......
mengapa kau tidak mau menurut omongan ayahku? Mengapa kau membiarkan aku berada dalam keadaan bingung? Bagaimana aku harus memilih, suamiku? Tentu saja aku ingin sekali menjadi seorang anak yang berbakti, sama besarnya dengan keinginanku untuk menjadi seorang isteri yang setia dan menyinta. Akan tetapi, kedua hal ini bagiku sekarang masih belum menyamai besarnya keinginanku untuk melihat anak kita hidup dengan pantas dan berbahagia. Aku tidak perdulikan lagi keadaanku, akan tetapi bagaimanakah dengan Lian Hong anak kita? Aku tidak bisa melihat dia hidup terlantar, tidak berumah, tidak berpendidikan, jauh kesenangan dan jauh dari kedudukan serta nama baik. Ah, bagaimanakah aku harus memilih ?”
“Nah, Han Cu, kau dengarlah baik-baik ucapan isterimu ini!” kata Ciok-taijin yang kini tidak menyebut “anak mantu” lagi. “Kalau kau memiliki pribudi, tidak mengingat kepentingan diri sendiri saja, kau tentu suka pula berkorban untuk anakmu. Bapak macam apakah kau ini yang hendak menyeret anak isterimu ke dalam jurang kemiskinan dan kesengsaraan?”
Ong Han Cu menggigit bibirnya. Ia maklum bahwa percuma saja ia membantah. Orang-orang kaya ini, bangsawan- bangsawan ini takkan dapat mengerti bagaimana orang-orang yang miskin dapat hidup berbahagia. Bagi orang-orang seperti ini ukuran bahagia hanya diukur dengan ukuran harta dan dipertimbangkan dengan timbangan pangkat. Ia maklum bahwa kalau ia memaksa tinggal terus di s itu akhirnya mereka akan bentrok juga sehingga rumah tangganya akan makin hancur. Maka ia lalu mengambil keputusan tetap dan berkata.
“Baiklah, Bwe Kim. Kalau begitu, biarlah aku pergi dan kau bersama Lian Hong tinggallah bersama orang tuamu yang kaya raya. Harap kau suka merawat dan mendidik Lian Hong baik-baik!”
“Hm, kau keras kepala sekali, Han Cu!” kata Ciok-taijin. “Kalau kau memaksa, akupun berkeras pula dan kau tidak boleh kembali menjadi mantuku! Ingatlah ini baik-baik!”
“Tidak apa, kalau memang demikian yang dikendaki. Menjadi mantu berbeda dengan menjadi budak belian. Aku tidak sudi menjadi mantu dengan ikatan yang sedemikian rupa sehingga aku tidak boleh bergerak sedikitpun juga!”
Isterinya hanya dapat menangis dan memeluk Lian Hong yang masih kecil. Setelah Ong Han Cu pergi, Ciok-taijin lalu mengumumkan perceraian anaknya dengan mantu itu untuk menjaga agar sepak terjang Ong Han Cu di luaran tidak akan mencemarkan dan mempengaruhi nama dan kedudukannya. Ciok Bwe Kim hanya dapat menangis di dalam kamarnya. Apakah daya seorang wanita muda seperti dia?
Lima tahun lewat dengan cepat sekali akan tetapi banyaklah terjadi perobahan dalam waktu lima tahun itu. Kalau dulu para bangsawan menganggap ilmu silat hanya sebagai permainan orang-orang kasar dan liar belaka, kini ilmu silat merupakan mode yang mulai meresap di kalangan bangsawan.
Hal ini terjadi oleh karena banyaknya perampokan yang terjadi di waktu itu dan setelah beberapa kali terjadi perampokan pada orang-orang bangsawan, maka mereka barulah merasa sadar akan pentingnya ilmu kepandaian silat. Mulailah mereka memanggil guru-guru silat untuk memberi latihan kepada putera-putera mereka, bahkan diam-diam ada pula yang memberi didikan kepada puteri-puteri mereka setelah dikalangan kang-ouw muncul beberapa orang pendekar wanita yang gagah perkasa.
Ternyata bahwa Liang Hong mewarisi sifat seperti ayahnya yakni suka akan ilmu s ilat. Mendengar bahwa beberapa orang kawan-kawannya juga belajar ilmu silat, ia merengek-rengek kepada ibunya minta agar supaya ia diberi pelajaran ilmu s ilat pula.