Cinta Bernoda Darah Chapter 70

NIC

Tiba-tiba matanya memandang ke dalam dan wajahnya berseri-seri, lalu disambungnya kata-kata yang terputus tadi,

"Nah, itu dia.. merekalah yang kucari.."

Tanpa mempedulikan para penyambut lagi, juga tidak peduli lagi kepada Bok Liong, Lin Lin terus saja menerobos masuk dan dengan langkah lebar ia menuju ke deretan kursi tamu kehormatan di mana terdapat Suling Emas dan Sian Eng. Tentu saja sikap Lin Lin yang lancang dan "blusukan"

Tanpa aturan ini menarik perhatian para tamu. Bahkan Beng-kauwcu Liu Mo sendiri menoleh kepada Suling Emas yang duduk tak jauh dari situ. Tampak Suling Emas menggerak-gerakkan bibir seperti berbisik-bisik kepada ketua Beng-kauw itu. Sementara itu, Sian Eng sudah menyambut adiknya dan mereka berpelukan sambil bercakap-cakap. Kemudian Suling Emas berkata lirih.

"Lin Lin, harap tahu aturan sedikit. Beri hormat kepada Sri Baginda dan Ketua Beng-kauw"

Sian Eng yang lebih mengenal aturan daripada Lin Lin, segera menarik tangan adiknya itu, memberi hormat kepada Raja Nan-cao dan Beng-kauwcu yang diterima oleh mereka dengan sikap manis namun dingin. Lin Lin mengerling ke arah kakek berjubah kuning itu, terpesona oleh mutiara di jidat dan gagang tongkat. Ia melangkah maju, memandang teliti dan bertanya.

"Kauwcu, apakah ini yang disebut orang ya-beng-cu?"

Sian Eng hendak mencegah namun sudah terlambat dan ia memandang khawatir. Suling Emas menundukkan mukanya yang berubah merah, entah marah entah malu. Sejenak Beng-kauwcu Liu Mo tertegun, dan Raja Nan-cao yang duduk di sebelah kirinya menahan gelak tawa. Ketua agama itu yang mengharap agar gadis ini menjadi puas dan segera mengundurkan diri, mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Lin Lin tadi. Akan tetapi ternyata Lin Lin tidak segera mundur, malah menjadi makin berani.

"Kauwcu, bagus sekali ya-beng-cu itu, ya, dan besar, pula terang. Wah, senang ya punya mustika seperti itu? Kalau masuk ke tempat gelap tidak usah membawa lampu"

Raja Nan-cao tidak dapat menahan ketawanya.

"Ha-ha, berdekatan dengan dara seperti ini, hidup akan lebih panjang. Nona, kalau kau suka berjanji selamanya akan berada di sini, kami suka memberi hadiah beberapa butir ya-beng-cu kepadamu."

Wajah Lin Lin berseri, akan tetapi keningnya lalu berkerut.

"Wah, senang sekali.. tapi, selamanya di sini? Tidak mungkin"

"Lin Lin, jangan kurang ajar. Mundur kau"

Suling Emas membentak lirih. Lin Lin menengok kepadanya, cemberut dan meruncingkan mulut mengejek, lalu menjura kepada Raja Nan-cao dan Ketua Beng-kauw.

"Terima kasih atas keramahan Ji-wi"

Ia lalu melangkah lebar mendekati Suling Emas, duduk di sampingnya dan menghujani dengan pertanyaan-pertanyaan.

"Bagaimana kau bisa bertemu dengan Enci Eng? Mengapa kau membiarkan saja aku diculik orang? Kau tahu, aku hampir dipanggang hidup-hidup dan dagingku yang setengah matang dimakan, tahu? Hiiihhhhh, hampir aku mengalami bencana paling hebat. Bayangkan saja, dibakar hidup-hidup dan kau enak saja jalan-jalan bersama Enci Eng.."

"Hush, Lin-moi. Omongan apa itu? Kau tidak tahu, aku dan Taihiap sendiri hampir tertimpa bencana. Jangan sembarangan kau menyalahkan orang lain."

Lin Lin menatap wajah Suling Emas yang tidak menengok kepadanya.

"Betulkah? Ah, kalau begitu maaf, ya? Sri Baginda dan Kauwcu di sini amat baik dan aneh. Apakah kau banyak tahu tentang mereka? Ingin aku mendengar cerita tentang Beng-kauw, agama apakah itu?"

"Sssttt, kau lihat. Banyak tamu memandang kita. Bukan waktunya bicara. Kau lihat dia itu, Siang-mou Sin-ni, tapi mana kakakmu Bu Sin?"

Lin Lin teringat akan kakaknya, menengok. Sejenak ia menatap wajah cantik yang namanya amat terkenal sebagai seorang di antara Liok-koai dan ia tercengang. Wanita begitu cantik jelita, rambutnya hitam panjang, biarpun bebas riap-riapan namun harus diakui amat indah, malah menonjolkan kecantikan aseli. Wanita seperti itu disebut iblis jahat? Dan diakah yang menahan kakaknya, Bu Sin?

"Aku akan tanya kepadanya"

Lin Lin sudah bangkit dari kursinya, hendak langsung menghampiri Siang-mou Sin-ni dan bertanya terang-terangan tentang kakaknya. Melihat ini, Suling Emas menggerakkan tangannya, memberi isyarat kepada Sian Eng. Sian Eng maklum dan cepat ia pun berdiri dan menyambar lengan adiknya, terus ditarik dekat dan diajak duduk di kursi sebelahnya.

"Lin Lin, jangan bikin kacau. Kita ini tamu, malah tamu yang tidak diundang. Kita harus menghormati tuan rumah yang begitu ramah. Kalau kau bikin ribut, kan memalukan sekali? Biarlah kita serahkan kepada Taihiap. Pula, wanita itu lihai bukan main, jangan kau berlaku sembrono."

Lin Lin dapat dibujuk dan mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing semenjak berpisah. Tentu saja Sian Eng tetap merahasiakan perasaan hatinya terhadap Suma Boan. Ia hanya menceritakan bahwa Suma Boan mengajaknya ke Nan-cao karena di tempat ini tentu akan muncul kakaknya, yaitu Kam Bu Song.

"Betulkah itu? Wah, kalau begini hebat. Dia.."

Ia mengerling ke arah Suling Emas.

"dia ini berjanji akan mencarikan musuh besar kita di sini. Kalau betul di sini kita bisa bertemu dengan Kakak Kam Bu Song, berarti sekali tepuk mendapatkan dua ekor lalat. Apalagi kalau Kakak Bu Sin selamat dan dapat muncul pula. Alangkah baiknya."

"Karena itu, kita menanti gerakan Taihiap, jangan bertindak sendiri secara sembrono. Jangan-jangan malah akan menggagalkan semuanya."

Pada saat itu, dari luar terdengar suara orang tertawa dan Kauw Bian Cinjin muncul mengiringkan seorang kakek pendek yang menimbulkan tertawa itu. Kiranya dia ini adalah Gan-lopek, kakek lucu itu. Tidak hanya tingkah lakunya dan sikapnya yang lucu, akan tetapi yang membuat para tamu tertawa adalah benda yang dibawanya. Ia membawa sebuah pigura, akan tetapi bukanlah lukisan yang berada di atas kain putih, melainkan kain putih yang kosong. Akan tetapi mulutnya tiada hentinya mengoceh.

"Aku membawa sumbangan terindah untuk Beng-kauwcu. Lukisan terindah tiada bandingnya di seluruh dunia"

Sambil berkata demikian ia mengacung-acungkan pigura itu di tangan kanan dan sepoci tinta bak hitam di tangan kiri.

Kauw Bian Cinjin agaknya mengenal tokoh ini, maka biarpun kakek pendek itu kelihatannya malah tidak normal otaknya, ia menyambut penuh kehormatan malah ia antarkan sendiri sampai di ruangan tengah, baru ia tinggalkan keluar pula. Sambil tertawa ha-hah-he-heh Empek Gan menoleh ke kanan kiri, mengangguk-angguk kepada para tamu seperti tingkahnya seorang pembesar yang memasuki ruangan di mana para hadirin menghormatinya, kemudian ia melangkah langsung ke hadapan Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao. Akan tetapi ia tidak segera maju memberi hormat, melainkan menengok ke kanan kiri dengan sinar mata mencari-cari. Sikapnya yang seperti orang tolol ini memancing gelak tawa para tamu muda. Akan tetapi Gan-lopek tidak peduli, lalu ia mengomel.

"Di mana sih ditaruhnya meja sembahyang? Paling penting aku harus menghormat abu jenazah Pat-jiu Sin-ong, mendiang orang tua yang hebat itu"

Posting Komentar