Ular hidup itu bisa mulur dan mengkeret, amat sukar diduga perkembangannya. Angin pukulan yang menyambar-nyambar disertai bau amis dan berbisa, membayangkan teraga sin-kang yang mujijat, bercampuran dengan hawa ilmu hitam dan hawa beracun. Di samping ini, masih banyak sekali orang yang mengeroyok Suling Emas dari kanan kiri dan belakangnya.
Mendapat lawan Tok-sim Lo-tong yang lihai ditambah banyak pengeroyok itu sama sekali tidak membikin gentar hati Suling Emas, akan tetapi yang membuat ia khawatir sekali adalah keadaan Lin Lin. Ia maklum bahwa betapapun lihainya Lin Lin dengan ilmu warisan dari Kim-lun Seng-jin, namun gadis itu masih jauh belum cukup kuat untuk menandingi seorang lawan yang seperti Toat-beng Koai-jin, seorang di antara Thian-te Liok-koai.
"He, Toat-beng Si Lembu Edan, tidak malukah kau melawan seorang gadis cilik? Hayo kau sekalian maju mengeroyokku"
Bentak Suling Emas seraya mainkan sulingnya sedemikian rupa sehingga gulungan sinar sulingnya itu menahan semua pengeroyok. Akan tetapi, kiranya malah Lin Lin yang menjawab,
"Siapa gadis cilik? Aku bukan kanak-kanak lagi. Monyet gundul liar menjemukan, jangan dengarkan dia, hayo kau layani pedangku kalau memang berani"
Lihat, ujung pedangku akan mendodet perutmu yang gendut kebanyakan makan itu"
Lin Lin menerjang hebat sambil memutar pedangnya dan dengan hati-hati, karena maklum akan kelihaian lawan, ia mainkan ilmunya Khong-in-liu-san sambil mengerahkan tenaga sakti dengan Ilmu Khong-in-ban-kin. Toat-beng Koai-jin yang tadinya memandang rendah dan menyerbu gadis itu sambil tertawa-tawa, diam-diam kaget juga karena ini. Biarpun ia kelihatan buas dan liar seperti orang hutan, namun dalam hal ilmu silat di dunia kang-ouw, sebagian besar telah dikenalnya, maka ia mengenal pula Ilmu Khong-in (Awan Kosong) ini.
"Heh, kau murid Kim-lun Seng-jin? Bagus, tentu gurih dagingmu dibakar setengah matang. Heh-heh"
Tiba-tiba kakek liar ini menyambar dua orang pengeroyok suling Emas, memegang pada kakinya dan menggunakan dua "senjata hidup"
Ini menerjang Lin Lin. Lin Lin kaget setengah mati. Terpaksa ia menggerakkan pedang menangkis.
"Crak"
Crak"
Darah menyembur karena tubuh dua orang itu terbabat putus oleh pedangnya. Kakek itu tertawa-tawa dan.. menggelogok darah yang tersembur keluar itu ke dalam mulutnya, seperti orang kehausan minum air es. Kemudian ia melemparkan dua mayat itu dan sekali lagi ia menyambat kaki dua orang pengeroyok.
Lin Lin meramkan matanya melihat kakek itu minum darah, wajahnya menjadi pucat dan kakinya menggigil. Tapi kembali Toat-beng Koai-lojin sudah menerjagnya dengan dua "senjata hidup". Lin Lin kewalahan, terpaksa kembali ia menangkis dan kembali dua orang itu mati seketika dengan perut dan dada terbelah. Tangan Lin Lin yang memegang pedang gemetar dan sebelum ia tahu apa yang terjadi, tiba-tiba kakek itu telah menubruknya dan sebuah ketukan keras pada pergelangan tangannya membuat Lin Lin terpaksa melepaskan pedangnya. Tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas dan ia sudah disambar oleh Toat-beng Koai-jin yang tertawa terkekeh-kekeh sambil membawa lari tubuh Lin Lin yang lemas.
"Toat-beng Koai-jin, kalau kau mengganggu dia, aku bersumpah akan menyiksamu dan memotong-motong dagingmu sekerat demi sekerat"
Bentakan Suling Emas ini keras sekali dan tiba-tiba sulingnya melakukan gerakan-gerakan aneh sekali, begitu halus akan tetapi mengandung kekuatan yang bukan main sehingga dalam sekejap mata enam orang pengeroyok terguling roboh sedangkan Tok-sim Lo-tong sendiri terdorong mundur sampai lima langkah.
"Ihhhhh.. ilmu apakah ini..?"
Tok-sim Lo-tong berseru kaget, akan tetapi ia mendesak lagi, dibantu oleh para pengeroyok yang nekat, menghalangi Suling Emas mengejar Toat-beng Koai-jin. Memang hebat gerakan Suling Emas tadi. Dalam kemarahan dan kegelisahannya melihat Lin Lin tertawan, ia tadi mainkan jurus dari ilmu silat yang ia terima dari Bu Kek Siansu.
Girang hatinya melihat hasil ini, dan tahulah ia bahwa ilmu silat sastra ini sama sekali tidak dikenal Tok-sim Lo-tong sehingga tentu saja hasilnya amat baik. Cepat sulingnya bergerak lagi, membuat huruf KOK (Negara). Huruf ini mengandung gerakan dalam yang rumit, akan tetapi dilingkari garis-garis segi empat yang melengkung. Kembali empat orang pengeroyok roboh dan ketika tubuh Suling Emas melayang dalam pembuatan gerakan melingkar, tahu-tahu ia telah bebas dari pengepungan dan cepat ia berkelebat mengejar ke arah larinya Toat-beng Koai-jin. Akan tetapi yang dikejar telah lenyap, tidak tampak bayangannya lagi. Suling Emas memasuki kota Ban-sin, langsung menuju ke rumah Ouw-kauwsu, seorang guru silat di kota itu yang dikenalnya. Ouw-kauwsu terkejut dan girang bukan main melihat munculnya pendekar sakti ini. Cepat ia menjura dengan hormat dan dengan wajah berseri-seri ia berkata.
"Wah, tak pernah mimpi siauwte akan menerima kehormatan besar dengan kunjungan Taihiap "
"Ouw-kauwsu, ada urusan penting. Maaf, aku ingin singkat saja. Tahukah kau di mana aku dapat menjumpai Toat-beng Koai-jin? Lekas, sekarang juga"
Berubah wajah Ouw-kauwsu, terang bahwa dia menjadi ketakutan.
"Memang.. memang kulihat dia dalam bulan ini berada di Ban-sin, biasanya dia di.. di dalam kuil.."
"Heh-heh-heh, Suling Emas. Tak usah repot-repot, aku sudah berada di sini"
Tiba-tiba terdengar suara keras dan parau. Suling Emas dan Ouw-kauwsu cepat memutar tubuh dan.. kiranya manusia iblis yang dijadikan bahan percakapan itu telah berada di situ, duduk nongkrong di atas tiang melintang dekat langit-langit rumah sambil menggerogoti daging dari tulang paha, entah paha apa"
Dan pada saat itu juga, terdengar suara orang mengomel,
"Nanti dulu.. tenanglah, kau ajak aku berlari-lari. Kalau betul dia Suling Emas, mau apa? Mau suruh dia tiup suling? Eh, tidak enak memasuki rumah orang seperti ini. Heee, tuan atau nyonya rumah. ke mana kalian? Wah, agaknya rumah kosong.."
Munculiah orangnya yang berkata-kata itu. Kiranya dia seorang kakek pendek, kumis dan jenggotnya jarang, sikapnya lucu dan selalu terkekeh. Di belakangnya berjalan seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Sian Eng. Begitu memasuki ruangan itu, kakek lucu ini melihat Suling Emas dan Ouw-kauwsu berdongak memandang ke atas. Ia pun ikut memandang dan tiba-tiba ia berseru kaget.
"Eh, eh, anak nakal.. kenapa kau naik ke sana? Hayo turun lekas.. wah, kalau jatuh bisa pecah punukmu. Turun.. turun.."
Ia menggapai-gapai tangannya menyuruh turun. Akan tetapi Toat-beng Koai-jin hanya memandang sambil menyeringai dan melanjutkan kesibukannya yaitu menggerogoti daging.
"Kau tidak turun? Celaka.. wah, aku paling ngeri melihat orang jatuh dari tempat tinggi.. hayo turunlah.."
Ia lalu menghampiri tiang dan mulailah ia memanjat ke atas seperti seorang kanak-kanak memanjat pohon kelapa. Setelah ia tiba di atas, hampir sama tingginya dengan tempat di mana Toat-beng Koai-jin duduk nongkrong matanya terbelalak ketakutan.
"Kau makan apa itu? Hiiiiihhh, daging itu masih mentah. Lihat ada darahnya, wah-wah, kau memang bocah nakal. Bisa kembung perutmu. Eh, bukankah kau ini si nakal Toat-beng Koai-jin? Ya, kukenal punukmu itu. Ihhh, tentu daging manusia yang kau makan. Wah, serem.. serem.."
Bagaimanakah Sian Eng bisa datang bersama kakek pendek yang lucu ini dan siapakah gerangan kakek itu? Seperti telah kita ketahui, Sian Eng pergi bersama Suma Boan ke gedung indah milik adik Suma Boan yang bernama Suma Ceng. Seperti telah diduga oleh Sian Eng, setelah berada di dalam kamar berdua dengan bekas kekasih kakaknya ini, ia mendengar banyak tentang diri Bu Song. Kiranya cerita yang ia dengar dari Suma Ceng tiada bedanya dengan yang sudah didengarnya dari Suma Boan, hanya tentu saja, dari mulut Suma Ceng terdengar berlainan. Terang bahwa nyonya muda cantik ini benar-benar mencintai Bu Song.
"Dia meninggalkan aku.."
Suma Ceng mengakhiri ceritanya sambil menghapus air matanya.
"Tapi.. untung Boan-ko menolongnya dan ia tidak sampai tewas. Aku dipaksa kawin.. sekarang sudah tiga orang anakku.. suamiku baik terhadapku.. aku berusaha melupakannya sedapat mungkin, tapi.. tapi.."
Kembali ia menangis perlahan.
"yang menyedihkan hatiku, aku tidak tahu bagaimana nasibnya sekarang, di mana ia berada.. kalau saja dia sudah menikah dengan gadis lain dan hidup bahagia.. akan terobatilah hatiku.."
Sian Eng ikut menangis. Terharu hatinya mendengar cerita yang menyedihkan tentang asmara gagal yang diderita nyonya muda ini dan kakaknya.
"Betapapun juga, kau sudah berumah tangga, sudah berputera, harap jangan memikirkan kakakku lagi,"
Kata Sian Eng.
"Dan kurasa kakakku juga berusaha melupakan peristiwa itu.."
"Tak mungkin. Bu Song takkan dapat melupakan aku, sampai mati pun takkan ia dapat melupakan aku. Kami.. kami.. ah.."
Kembali nyonya muda itu menangis sedih.
"Siapa tahu.. ia malah telah membawa cinta kasihnya ke balik kubur.."
Terisak-isak ia kini.
"kalau aku tahu.. ah, aku pun lebih baik mati.."
Terkejut juga hati Sian Eng. Bukan main. Kiranya cinta kasih antara mereka itu sudah demikian hebat.
"Enci, harap kau tenangkan hatimu. Kakakku Bu Song belum mati dan besok aku diajak oleh Suma-kongcu menyusulnya. Aku akan sampaikan pesanmu kepadanya kalau aku bertemu dengan kakakku, akan kubujuk dia supaya menikah dengan gadis lain."
"Betulkah? Benar-benar Boan-ko tahu di mana adanya Bu Song? Hati-hati, Adik Sian Eng.. dia.. kakakku itu.."
Melihat keraguan ini, Sian Eng timbul curiga.
"Ada apa dengan kakakmu?"
"Dia baik, baik sekali kepadaku dan aku amat sayang kepadanya. Kami hanya berdua saudara dan dia amat sayang pula kepadaku. Tapi.. tapi.. ah, bagaimana aku bisa membiarkan adik Bu Song menjadi korban? Adik Sian Eng, terus terang saja, betapapun sayangku kepada kakakku, akan tetapi harus kuakui bahwa dia itu.. dia mudah terjatuh oleh wanita cantik. Dan kau amat cantik, adikku, kau cantik menarik. Aku khawatir kalau-kalau kau menjadi korbannya. Sudah terlalu banyak gadis-gadis tak berdosa jatuh ke tangan kakak kandungku. Kau adik Bu Song, aku harus memperingatkanmu, jangan kau bergaul dengannya. Kecuali.."
Wajahnya menjadi bersinar.
"ah, alangkah baiknya. Kecuali kalau ia betul-betul cinta kepadamu dan mau mengambilmu sebagai isteri. Ah, benar. Ini bagus sekali. Aku gagal berjodoh dengan Bu Song, sekarang sebagai gantinya adiknya berjodoh dengan kakakku, bukankah ini baik sekali?"
Merah wajah Sian Eng.