"Hi-hik, bermain thioki tanpa taruhan tidak menyenangkan. Siapa kalah harus menebus kekalahannya dengan minum secawan arak wangi!"
Kata Si Baju Hijau. Meeka mulai bermain thioki sambil bercakap-cakap dan bersendau gurau, atau lebih tepat lagi, kedua orang gadis itu yang bercakap-cakap dan bersendau gurau sedangkan Swi Liang hanya men-dengarkan dan kadang-kadang tersenyum saja. Karena dia tidak ingin dilolohi arak sehingga rahasianya dapat terbuka, maka Swi Liang bermain sungguh-sungguh sehingga dia jarang kalah dan yang kebagian minum arak adalah kedua orang gadis itulah! Mereka bermain terus sampai menjelang tengah malam dan akhirnya arak dalam guci kecil itu habis!
"Ahhh, hawanya panas sekali ....!"
Kata Si Baju Hijau.
"Bukan panas, hanya engkau terlalu banyak minum maka terasa panas,"
Kata Swi Liang.
"Hemm, mungkin... aihhh, gerahnya."
Si Baju Hijau membuka kancing bajunya dan mengebut-ngebut dengan kipas. Swi Liang menelan ludah, matanya memandang ke arah dada yang hanya tertutup pakaian dalam yang tipis sehingga membayangkan tonjolan-tonjolan yang memikat hati. Karena pandang matanya selalu tertarik ke arah dada Si Baju Hijau, maka permainan Swi Liang menjadi kalut dan sekali ini dia kalah. Akan tetapi arak telah habis!
"Wah, Enci Liang-cu jarang kalah, sekarang telah kalah araknya habis. Mana dia bisa menebus kekalahannya?"
Kata Si Baju Merah cemberut.
"Hi-hik, kalau arak habis dia harus membayar dengan ciuman!"
Kata Si Baju Hijau.
"Hi-hi-hik, benar! Dia harus didenda dengan ciuman dan mulai sekarang, taruhannya dirobah. karena arak habis, siapa kalah harus membayar dengan ciuman!"
Kata Si Baju Merah. Kedua orang gadis itu dari kanan kiri lalu menyerbu dan mencium pipi Swi Liang dengan hidung mereka. Swi Liang memejamkan kedua matanya!
"Eh.... eh...., kalian ini bagaimana? Ihh... malu, kan....?"
Katanya gelagapan.
"Enci Liang-cu, mengapa kau begitu kejam? Kita bertahun-tahun dikurung di tempat ini dan hanya dapat menyaksikan orang lain bermain cinta. Bertemu dengan pria pun merupakan hal yang tak mungkin bagi kita. Apa salahnya di antara kita saling menghibur dan saling mencumbu? Sekedar menghilangkan rindu......"
Kata Si Baju Merah.
Permainan dilanjutkan dan makin lama Swi Liang makin terseret oleh gelora nafsu berahinya sendiri. Ketika dia menang dan harus mencium, dia tidak mencium seperti biasa dengan hidung kepipi, melainkan mencium mulut dua orang gadis itu dengan mulutnya! Dua orang gadis itu mengeluh dan balas mencium sehingga tanpa diperintah lagi permainan kartu itu bubar dan dilanjutkan dengan permainan saling mencumbu, saling peluk dan saling cium antara tiga orang itu!
"Aihh, Enci Liang-cu... kau hebat sekali..."
Keluh Si Baju Hijau.
"Enci Liang-cu... kalau saja engkau seorang pria..."
Bisik Si Baju Merah
"Kalian senang?"
Swi Liang berkata, terengah-engah sedikit.
"Matikanlah lampunya, barangkali di dalam gelap aku akan dapat pian-hoa (bermain rupa) menjadi pria, siapa tahu?"
Sambil terkekeh genit, Si Baju Hijau meniup pandam lampu di meja dan mereka bertiga pindah ke pembari-ngan, melanjutkan permainan mereka yang mengasyikkan hati mereka itu. Mereka merasa semakin bebas setelah keadaan di dalam kamar itu menjadi gelap, mereka dapat mencurahkan seluruh nafsu mereka tanpa malu-malu lagi. Tak lama kemudian terdengar jerit tertahan, disusul teriakan-teriakan yang lebih menyerupai bisikan kaget bercampur girang,
"Eh... kau...?"
"Hemm, diamlah sayang....."
Terdengar suara Swi Liang dan selanjutnya kamar itu sunyi, tidak terdengar keras lagi sehingga kalau didengar dari luar kamar, seolah-olah tiga orang "gadis"
Itu sedang tidur pulas, padahal tentu saja keadaanya jauh dari pada itu, bahkan sebaliknya. Menjelang pagi, terdengar suara Si Baju Hijau, suara yang berbisik dan agak serak karena semalam tidak tidur rupanya,
"...engkau.... setiap malam harus menemani kami.... ya, koko yang baik?"
"....harus, kalau tidak.... hemm, kami akan melaporkan bahwa kau adalah seorang pria sejati......"
Bisik pula Si Baju Merah dengan nada manja mengancam.
Sunyi mengikuti kata-kata bisikan itu, kemudian terdengar jerit tertahan dan tak lama kemudian, tampak Swi Liang dalam pakaian seperti liang-cu, meloncat keluar dari dalam kamar itu memondong tubuh dua orang pelayan itu yang sudah menjadi mayat! Dengan tergesa-gesa Swi Liang membawa dua mayat itu ke kebun, menggali lubang, mengubur dengan cepat sekali, kemudian kembali ke kamarnya dengan badan penuh keringat dan muka pucat. Akan tetapi hatinya lega dan diam-diam dia menyesali perbuatannya sendiri.
Mengapa dia begitu lemah sehingga tidak dapat menahan diri terjatuh ke dalam rayuan dua orang gadis cantik itu? Dia terpaksa membunuh mereka, sungguhpun hal itu dilakukannya dengan perasaan penuh penyesalan. Tugasnya lebih penting dan kalau sampai gagal, dia akan tewas, akan mati konyol. Dengan membuka rahasianya kepada dua orang gadis itu, keadaannya tentu saja terancam hebat. Belum apa-apa dua orang gadis itu telah "memerasnya"
Untuk setiap malam melayani mereka dengan ancaman akan dibuka rahasianya! Tentu saja dia terpaksa harus membunuh mereka demi keselamatan dirinya sendiri.
Lenyapnya dua orang pelayan itu hanya menimbulkan sedikit keributan di istana bagian puteri. Betapapun juga, mereka itu hanyalah dua orang pelayan dan akhirnya Yang Kui Hui hanya memerintah-kan para pengawal untuk melakukan pengejaran karena dikira bahwa mereka itu tentu melarikan diri, dan kalau sampai dapat ditangkap agar supaya dijatuhi hukuman berat. Mengertilah kini Swi Liang bahwa dia harus cepat-cepat turun tangan kalau tidak mau terjadi gangguan lain lagi. Mulailah dia mendekati Yang Kui Hui, membantu pada setiap kali ada kesempatan, membantu para pelayan yang memandikan selir jelita itu, menggosok punggungnya, mengeringkan tubuhnya dan mengenakan pakaiannya.
Bahkan pada suatu malam, ketika Yang Kui Hui merebahkan diri seorang diri dengan mata merem melek seperti seekor kucing malas, ia mendekatinya, berlutut dan menggunakan tangannya untuk memijit-mijit kaki selir itu dengan perlahan, meniru perbuatan pelayan yang suka memijit tubuh selir itu. Jantungnya berdebar keras sekali. Nafsu hatinya ditekannya keras sekali dia merasa betapa api berahi telah membakar dadanya dan api itu menyala dari ujung jari tangannya yang bersentuhan dengan kulit kaki yang halus lunak dan hangat.
"Ehhmmm...."
Yang Kui Hui menggeliat seperti seekor kucing dan membuka sedikit matanya untuk melihat siapa yang memijit kakinya. Matanya terbuka agak lebar dan tersenyum.
"Aihhh, kiranya engkau, Liang-cu? Engkau pandai pula memijit? Ahhhh, tanganmu kuat sekali, nah, kau lanjutkanlah, tubuhku memang sedang pegal-pegal....."
Dan selir itu sudah memejamkan matanya kembali rebah terlentang di depan Swi Liang.