Suling Emas Naga Siluman Chapter 06

NIC

Ketika tiba di atas tebing jurang dan melihat keadaan dua orang sahabatnya, Ciok-tosu terbelalak, menghampiri mayat mereka dan menangislah tosu ini. Dengan hati penuh duka dia lalu menguburkan dua mayat sahabatnya itu. Sampai matahari turun ke barat, barulah dia selesai menggali lubang dan menguburkan mayat dua orang tosu Kun-lun-san itu. Tubuhnya terasa nyeri semua dan hampir kehabisan tenaga. Maka dengan terhuyung-huyung dia lalu kembali ke dalam guha, tanpa menutupkan batu bundar karena tenaganya sudah habis. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu malam itu dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ciok-tosu sudah berada di depan makam dua orang sahabatnya. Dia mengepal tinju dan mengamang-amangkan tinjunya itu ke jurusan puncak gunung.

"Mahluk biadab, aku bersumpah akan membalaskan kematian dua orang sahabatku!"

Setelah berkata demikian Ciok Kam lalu pergi meninggalkan tempat itu, terus mendaki lereng itu menuju ke barat, membawa pedangnya yang tinggal sebuah dan juga membawa pedang Hok Ya Cu untuk melengkapi pedangnya sehingga kini dia mempunyai lagi sepasang pedang, sungguhpun ukuran dan beratnya tidak sama. Alam di sekeliling, tempat itu masih indah seperti biasa, tidak terpengaruh oleh peristiwa itu. Akan tetapi bagi pandangan Ciok-tosu, sama sekali tidak berobah.

Keindahan alam yang tadinya mempesona itu kini baginya berobah menjadi keadaan yang liar dan buas penuh ancaman maut, dan dipandangnya dengan sinar mata penuh dendam kebencian dan kemarahan di samping rasa takut yang besar. Pada waktu itu, seperti telah diceritakan di bagian depan. Pegunungan Himalaya dibanjiri pengunjung yang terdiri dari orang-orang kang-ouw bermacam-macam golongan, baik dari golongan bersih maupun golongan sesat. Berbondong-bondong mereka datang mendaki Pegunungan Himalaya, ada yang datang dari timur langsung mendaki pegunungan itu, ada yang melalui Negara Bhutan atau Nepal, mendaki dari selatan, dan ada pula yang datang dari utara. Pada suatu pagi, dari arah utara berjalan serombongan orang melalui dataran tinggi yang berlapis pasir, berjalan terseok-seok kelelahan menuju ke selatan.

Mereka terdiri dari belasan orang dan melihat gerak-gerik mereka, kebanyakan dari mereka itu tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, atau setidaknya merupakan ahli-ahli silat yang tidak gentar menghadapi kesukaran dan bahaya. Memang demikianlah adanya. Dua belas orang di antara mereka adalah serombongan piauwsu (pengawal-pengawal bayaran) dari perusahaan ekspedisi Pek-i-piauw-kiok (Perusahaan Pengawalan Baju Putih). Baju mereka semua memang berwarna putih, dengan sulaman sebatang senjata rahasia Hui-to (pisau terbang) di dada kiri, sungguhpun celana mereka bermacam-macam warnanya. Sulaman pisau terbang itu bukan sekedar hiasan belaka karena memang semua anggauta Pek-i-piauw-kiok mempunyai keahlian melemparkan pisau sebagai senjata rahasia dengan lontaran cepat, kuat dan tepat.

Diantara dua belas orang ini terdapat pemimpinnya, seorang piauwsu yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh kurus namun memiliki sepasang mata yang tajam dan gerak-geriknya menunjukkan bahwa dia adalah seorang ahli silat yang pandai dan seorang yang telah memiliki banyak pengalaman. Piauwsu ini adalah pemimpin Pek-i-piauw-kiok sendirli bernama Lauw Sek, dan julukannya adalah Toat-beng Hui-to (Pisau Terbang Pencabut Nyawa) karena memang dia seorang ahli yang pandai dalam penggunaan senjata ini dan dialah yang melatih semua anak buahnya sehingga mereka semua mahir melontarkan pisau terbang. Sebelas orang anak buahnya itu merupakan anggauta piauw-kiok pilihan yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi karena saat itu Lauw-piauwsu sedang melakukan tugas yang amat penting.

Dia bersama sebelas orang anak buahnya bertugas mengawal pengiriman barang-barang berharga milik seorang pedagang dari Katmandu di Nepal yang dipikul oleh empat orang dan sebagian dipanggul pula oleh para anggauta piauw-kiok. Barang-barang berharga ini dikirim dari Ceng-tu di Se-cuan untuk dibawa ke rumah pedagang itu di Nepal dan tentu saja untuk biaya pengiriman dan pengawalan ini, si saudagar membayar mahal sekali kepada Lauw-piauwsu, Perjalanan itu amat jauh, sukar dan juga penuh bahaya dan hanya rombongan piauwsu seperti yang dipimpin oleh Lauw-piauwsu itu sajalah yang berani menerima pekerjaan berat itu. Di dalam rombongan itu terdapat pula seorang gadis kecil bersama kakeknya yang sudah tua namun yang juga memiliki kekuatan yang mengagumkan.

Kakek ini jelas memiliki kepandaian silat yang kuat, dapat dibuktikan dengan cara dia mendaki jalan-jalan yang sukar dan mendakl, dan kadang-kadang dia masih harus menggendong cucunya sambil membawa buntalan bekal mereka berdua. Gadis kecil itu berusia kurang lebih dua belas tahun, seorang gadis yang mungil dan manis, lincah jenaka dan memiliki watak bengal dan pemberani. Hanya di waktu melewati jurang-jurang yang berbahaya sajalah maka dia tidak membantah kalau kakeknya memondongnya. Akan tetapi kalau hanya melewati jalan-jalan kasar dan sukar saja tanpa ada bahaya mengancam, anak ini berjalan mendahului kakeknya. Sebentar saja anak perempuan itu dikenal oleh semua anggauta rombongan dan disebut Siauw Goat (Bulan Kecil).

Memang, kelincahan anak itu, kejenakaan dan kegembiraannya, membuat dia seperti menjadi sang bulan yang menerangi kegelapan malam dan mendatangkan keindahan dengan suaranya yang nyaring, nyanyiannya yang merdu, tariannya yang gemulai dan gerak-geriknya yang lincah jenaka. Tidak ada seorang pun di antara rombongan itu yang mengetahui nama selengkapnya dari Si Bulan Kecil. Mereka mendengar kakek itu menyebut "Goat"

Kepada anak perempuan itu, maka mereka lalu menyebutnya Siauw Goat. Bahkan anak itu pun hanya tersenyum manis saja disebut seperti itu, dan kalau ada yang iseng-iseng bertanya, dia pun mengaku bahwa namanya "Goat". Kakek itu pendiam sekali, tidak pernah mau bicara kalau tidak perlu. Ketika ada orang menanyakan, dia hanya menjawab pendek bahwa namanya hanya terdiri dari satu huruf, yaitu "Kun".

Maka terkenallah dia sebagai Kun-lopek atau Kakek Kun! Semua orang menduga bahwa tentu ada rahasia yang menarik di balik riwayat kakek ini. Selain Kun-lopek dan Siauw Goat, terdapat pula seorang sastrawan yang juga pendiam seperti kakek itu dan keadaannya lebih aneh lagi karena dia sama sekali tidak mau menerangkan namanya! Akan tetapi tidak ada orang yang berani mendesak untuk bertanya kepadanya, karena diam-diam Lauw-piauwsu, kepala rombongan pengawal bayaran itu yang berpengalaman dan bermata tajam, sudah membisikkan kepada semua orang bahwa sastrawan itu adalah seorang yang tentu memiliki kepandaian amat tinggi dan agaknya merupakan seorang di antara orang-orang kang-ouw yang datang ke Pegunungan Himalaya untuk mencari pedang kerajaan yang dicuri orang.

Maka semua orang tidak ada yang berani banyak cakap, dan memandang kepada sastrawan itu dengan segan dan juga takut bukan tanpa kecurigaan. Namun, sastrawan itu tidak peduli, dia seperti tenggelam dalam lamunannya sendiri. Usianya masih muda, kurang lebih dua puluh tahun, wajahnya tampan dan sikapnya gagah biarpun gerak-geriknya amat halus. Semuda itu dia sudah kelihatan pendiam dan sering kali muram wajahnya, begitu serius seperti wajah seorang kakek saja! Pakaiannya sederhana, pakaian yang biasa dipakai oleh sastrawan atau orang yang bersekolah, dengan jubah yang agak longgar dan lebar. Dugaan Lauw-piauwsu dan sikap sastrawan muda ini yang amat pendiam membuat orang lain dalam rombongan itu tidak berani banyak bicara dengan dia. Selain Kakek Kun, Siauw Goat dan sastrawan ini, terdapat pula beberapa orang pedagang, yang karena mendengar akan adanya orang-orang kang-ouw di Pegunungan Himalaya,

Tidak berani melakukan perjalanan tanpa teman dan ikut bersama rombongan piauwsu yang mereka andalkan, dengan membayar uang jasa sekedarnya. Jumlah para pedagang ini ada tiga orang sehingga dengan rombongan piauwsu, rombongan mereka semua berjumlah delapan belas orang ditambah pula empat orang pemikul barang-barang kawalan. Jadi semua ada dua puluh dua orang. Tiga orang pedagang keliling itu adalah orang-orang yang bertubuh gendut-gendut dan mereka sudah mandi keringat karena sejak tadi jalan mendaki terus. Napas mereka juga sudah kempas-kempis. Beberapa kali sambil berjalan mereka minum air dari tempat air mereka, akan tetapi karena minum ini keringat mereka menjadi semakin membanjir keluar.

"Ahhh.... kami sudah lelah sekali.... apakah sebaiknya tidak mengaso dulu, Lauw-piauwsu?"

Seorang di antara mereka mengeluh.

"Paman dari tadi minum terus sih, maka banyak keringat dan badan menjadi semakin berat saja!"

Tiba-tiba Siauw Goat mencela sambil tersenyum menggoda. Pedagang gendut itu pura-pura melotot.

"Ah, kau Siauw Goat, aksi benar! Seolah-olah kau sendiri tidak lelah!"

Siauw Goat mencibirkan bibirnya yang mungil, lalu mengangkat dada dan bertolak pinggang.

"Aku tidak selelah Paman! Buktinya, hayo kita berlomba lari!"

Tantangnya. Tentu saja yang ditantang hanya menyeringai. Jalan biasa di tempat pendakian itu sudah payah, apalagi diajak berlumba lari. Dan memang anak perempuan itu masih nampak gesit.

"Sedikit lagi."

Kata Lauw-piauwsu.

"kita mengaso di hutan depan sana itu."

Dia menuding ke depan dan memang di sebelah depan, masih agak jauh, nampak gerombolan pohon hijau lebat. Matahari sudah naik tinggi, panasnya memang tidak seberapa karena hawa di situ sejuk dan sinar matahari masih terlapis kabut,

Akan tetapi berjalan mendaki terus-menerus sejak tadi memang amat melelahkan dan pohon-pohon di depan itu seperti melambai-lambai membuat orang ingin lekas-lekas mencapai tempat itu untuk melempar diri di bawah pohon yang rindang. Agaknya karena ingin memamerkan dan membuktikan bahwa dia tidak selelah pedagang gendut itu. Siauw Goat sudah berjalan cepat setengah berlarian menuju ke depan, karena dara ini pun senang sekali melihat hutan di depan itu setelah sejak kemarin mereka melalui daratan tinggi berpasir yang membuat langkah-langkah terasa berat karena kedua kaki selalu terpeleset di pasir yang lunak, apalagi karena jalannya terus mendaki. Selama sehari semalam sejak kemarin, mereka hanya melihat pasir saja, dengan beberapa tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohon yang kurus dan setengah kering. Maka, tentu saja sebuah hutan akan merupakan pemandangan baru yang amat menyegarkan.

"Hati-hatilah, Goat!"

Posting Komentar