Suling Emas Chapter 19

NIC

"Bah, kau ini orang muda luar biasa. Selama hidup baru sekali ini bertemu orang muda seperti kau. Baru dua kali selama hidupku benar-benar gembira melakukan pertandingan. Pertama melawan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, kedua dengan kau inilah! Heh-heh-heh! Orang muda, aku pernah mendengar kau ini diambil murid Bu Kek Siansu. Manusia dewa itu katanya paling sakti, akan tetapi mengapa muridnya hanya seperti kau ini, manusia biasa yang dapat kulawan?"

"Aku tidak mendapat kehormatan sebesar itu menjadi murid beliau, aku hanya pernah beruntung menerima petunjuknya. Tak usah kau membawa-bawa nama suci Bu Kek Siansu. Kalau memang hendak bertanding, mari kita lanjutkan."

Kwee Seng kini bangkit lebih dulu. Ia mulai penasaran menghadapi lawan yang begini tangguh dan ulet.

"Heh-heh-heh, sampai mati, bocah sombong!"

Ban-pi Lo-cia menerjang maju dan kini ia membekuk cambuknya lalu menghantam dengan gerakan ilmu silat toya. Pukulan yang hebat ini tak mungkin dielakkan lagi. Terpaksa Kwee Seng menangkis dengan sulingnya, berbareng menyodokkan kipasnya.

"Brakkkk!! Uh-uh"

Kwee Seng terhuyung mundur, sulingnya hancur! Akan tetapi Ban-pi Lo-cia juga terhuyung mundur, perutnya kena ditotok ujung kipas sehingga mendadak perut itu menjadi mulas! Kalau orang lain terkena totokan ujung kipas yang mengandung tenaga sin-kang, tentu akan tembus perutnya atau rusak isi perutnya, mati seketika. Akan tetapi Ban-pi Lo-cia yang sudah kebal itu hanya merasakan perutnya mulas seperti orang terlalu banyak lombok saja!

"Serrr.. serrrserrr!"

Belasan batang anak panah menyambar kearah Ban-pi Lo-cia. Cepat kakek itu mengibaskan lengan bajunya dan anak-anak panah itu runtuh berhamburan. Dari kanan kiri berlompatan keluar belasan orang yang bersenjata lengkap. Inilah hwesio jahat itu! Serbu Keroyok Kiranya belasan orang ini adalah lima orang jago silat bersama teman-temannya, sedangkan dibelakang mereka masih tampak puluhan orang yang merupakan regu penjaga keamanan. Agaknya peristiwa ditengah telaga itu telah dilaporkan oleh hartawan Lim yang minta bantuan yang berwajib, sedangkan lima orang jago silat sudah mengundang teman-temannya untuk membantu.

Kwee Seng yang maklum bahwa sekian banyaknya orang itu bukanlah lawan Ban-pi Lo-cia, cepat menerjang lagi si raksasa gundul dengan kipasnya. Ban-pi Lo-cia juga maklum bahwa Kwee Seng merupakan lawan seimbang, kalau sekarang dibantu oleh puluhan orang, ia bisa celaka. Sambil tertawa terkekeh-kekeh, ia melompat dan sekali lompat ia telah melampaui kepala mereka yang mau mengeroyok. Mendadak tujuh orang pengeroyok jatuh berturut-turut dan mati seketika karena kepala mereka telah kena disambar hawa pukulan Ban-pi Lo-cia yang sambil melompat pergi. Dari jauh terdengar suaranya.

"Eeh, Kwee Seng. Belum selesai pertandingan kita, lain kali kita lanjutkan!"

"Sekarang pun boleh!"

Kwee Seng juga melompat dan mengejar karena ia makin penasaran, apalagi melihat raksasa itu pergi sambil membunuh tujuh orang. Akan tetapi beberapa lama ia mengejar, tak tampak bayangan raksasa itu. Kwee Seng tidak mau kembali ke tempat tadi, tidak suka ia bertemu dengan mereka yang tentu hanya akan merepotkannya saja. Ia lalu mengambil jalan sunyi menjauhi telaga. Ia merasa menyesal bahwa sulingnya telah hancur, tak dapat dipakai menyuling, apalagi sebagai senjata. Dengan lesu ia melempar sulingnya yang hancur dan terasa betapa tubuhnya basah semua oleh peluh. Ia perlu beristirahat memulihkan kekuatannya. Ia hendak mencari tempat yang sunyi agar tidak terganggu orang lain.

"Kongcu"

Kalau suara ini parau dan kasar, agaknya Kwee Seng takkan mengacuhkannya. Akan tetapi justeru tidak demikian. Suara itu halus dan merdu, dan inilah yang membuat ia bagaikan terpagut ular dan cepat ia berpaling ke kiri.

Dia sendiri disitu! Siapa lagi kalau bukan Ang-siauw-hwa, pakaiannya masih serba merah muda, dari pita penghias rambut sampai sepatunya. Akan tetapi terang bukan pakaian yang semalam, karena pakaian ini selain kering juga bersih sekali. Rambutnya digelung indah terhias perhiasan burung Hong dari emas dan permata. Sepasang pipinya kemerahan, matanya bersinar-sinar, bibirnya tersenyum manis. Akan tetapi wajah yang cantik itu kelihatan berbayang menjadi dua tiga oleh pandangan mata Kwee Seng yang berkunang-kunang. Pertandingan setengah malam suntuk itu ternyata hebat pula akibatnya bagi pemuda ini.

"Kongcu, kau kenapa Kau terluka"

Kwee Seng memaksa diri tersenyum dan menggeleng kepala. Akan tetapi wanita itu sudah maju mendekat dan memegang tangannya.

"Ah, kau tentu terluka. Hwesio itu jahat sekali. Kau kelihatan lemah dan lelah, Kongcu. Aku sengaja menunggumu disini dan kebetulan kau lewat disini. Bukankah ini jodoh namanya?"

"Ooh"

Tanya Kwee Seng lemah, kata-kata ini mengejutkan dan mengherankan hatinya. Ang-siaw-hwa menarik lengannya.

"Tentu saja jodoh. Kongcu, marilah ikut Ang-siauw-hwa, kau perlu beristirahat, biarlah Ang-siauw-hwa merawatmu."

Dengan kata-kata yang mesra dan merdu ini wanita itu menggandeng tangan Kwee Seng dan dituntunnya pergi.

"Kenapa, kenapa kau begini baik kepadaku?"

Kwee Seng masih mencoba menolak. Akan tetapi Ang-siauw-hwa menarik tangannya dan diguncang-guncangnya.

"Kenapa? Karena kau telah menolong nyawaku, menyelamatkan kehormatanku. Kongcu, karena karena aku ingin belajar menyuling darimu."

"Menyuling?"

Akan tetapi keadaan Kwee Seng makin lemas. Pertemuan ini mengganggu hati dan pikirannya dan amat merugikannya kerena seharusnya ia dapat beristirahat memulihkan tenaga dalam yang banyak dikerahkan dalam pertempuran. Bagaikan seorang mimpi dan linglung ia membiarkan dirinya digandeng dan dituntun Ang-siauw-hwa dan ia hampir tidak sadar ke mana ia dibawa oleh wanita itu. Ketika Kwee Seng membuka matanya, ia telah rebah diatas pembaringan yang hangat, bersih dan berbau harum. Kamar itu indah sekali dan di pinggir pembaringan ia melihat Ang-siauw-hwa duduk memijiti pundak dan lengannya. Melihat betapa diatas meja ada lilin tertutup sutera biru, ia heran dan tahu bahwa saat itu hari telah malam. Akan tetapi melihat wanita cantik itu duduk begitu dekat dengannya dan hanya mengenakan pakaian yang tipis, ia meramkan matanya kembali.

"Ambilkan bubur dan sayur itu, kemudian kalian pergi tinggalkan kamar ini, aku hendak melayani Kongcu makan."

Terdengar Ang-siauw-hwa berkata perlahan. Dari balik bulu matanya Kwee Seng melihat dua orang wanita pelayan yang tadinya duduk dibawah, bangkit berdiri. Tak lama kemudian mereka datang lagi membawa baki terisi hidangan untuknya.

"Kongcu, kau harus makan dulu. Sudah sehari penuh kau tidur."

Kata Ang-siauw-hwa sambil menyingkapkan selimut yang menutupi tubuh Kwee Seng. Pemuda ini bangkit duduk, memandang kesekeliling lalu berkata, penuh kegugupan dan malu-malu.

"Ah, agaknya aku tak sadar tertidur disini, menyusahkan Nona saja. Biarkan aku pergi"

Akan tetapi Ang-siauw-hwa merangkulnya.

"Mengapa begitu, Kongcu? Tidak sudikah Kongcu menerima pembalasan budi dariku? Apakah Kongcu seperti orang-orang lain memandang rendah kepadaku, seorang pelacur?"

Wanita itu masih memeluknya sambil menangis! Kwee Seng menarik napas panjang. Ia suka kepada nona ini, yang selain cantik jelita juga halus tutur sapanya, baik budinya. Akan tetapi tentu saja ia tidak suka melibatkan dirinya dalam perhubungan dengan seorang pelacur.

"Sudahlah, Nona. Aku sekali-kali tidak memandang rendah kepadamu. Kau baik sekali."

Nona itu mengangkat mukanya dan biarpun air mata masih membasahi pipinya,ia tersenyum gembira.

"Marilah makan, Kongcu."

Katanya merdu. Kwee Seng tidak menolak lagi, perutnya amat lapar. Tidur sehari itu amat bermanfaat baginya, memulihkan sebagian tenaganya.

Setelah makan yang dilayani amat mesra oleh Ang-siauw-hwa, ia merasa tubuhnya segar kembali. Ang-siauw-hwa menepuk tangannya dan dua orang pelayan datang dan segera diperintahnya untuk membersihkan mangkok piring, lalu menyuruh mereka pergi lagi. Kemudian, dengan gerakan lemah gemulai dan mesra, tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi Ang-siauw-hwa lalu menghampiri Kwee Seng dan duduk diatas pangkuannya!

"Ah, Nona ini ini.."

Bagaimana Kwee Seng tergagap.

"Kongcu, budimu terlalu besar. Tak tahu aku dengan apa aku harus membalas budimu, selain dengan penyerahan diriku menjadi hambamu, menjadi budakmu dan melakukan apa saja untuk membalas budimu. Kongcu, bolehkah aku mengetahui namamu?"

Tidak karuan rasa hati Kwee Seng. Kepalanya sampai terasa pening dan dengan halus ia mendorong tubuh nona itu dari atas pangkuannya.

"Nona, duduklah yang betul dan mari kita bicara. Kau mau tahu namaku? Aku adalah Kwee Seng, seorang pelajar gagal yang tiada tempat tinggal, miskin dan tak berharga."

"Ah, Kwee-kongcu mengapa bicara begitu? Kau seorang budiman, gagah perkasa dan amat berharga. Kalau mau bicara tentang orang tak berharga, akulah orangnya"

Kembali nona itu menangis dan ia kini duduk diatas kursi dan menutupi muka dengan kedua tangannya. Kwee Seng melihat air mata menetes dari celah-celah jari tangan yang putih, halus dan kecil meruncing itu.

"Nona, kulihat kau bukan orang sembarangan. Kau terpelajar dan tidak kelihatan seperti gadis bodoh. Mengapa kau sampai""

Tidak kuasa ia melanjutkan kata-katanya menyebut pelacur.

"Sampai menjadi pelacur?"

Ang-siauw-hwa menurunkan tangannya dan mukanya menjadi merah sekali, air mata menetes disepanjang kedua pipinya yang halus kemerahan.

"Ah, panjang ceritanya, Kwee-kongcu. Ketahuilah, diwaktu kecilku, aku adalah seorang berdarah bangsawan, Ayahku seorang pangeran dari Kerajaan Tang."

Posting Komentar