"Ha-ha-ha, engkau berani melawan aku? Baiklah, engkau sudah bosan hidup, mampuslah!"
Kakek itu lalu mengirim pukulan jarak jauh dengan tangan kirinya. Melihat ini, Keng Han teringat kepada para perampok yang roboh karena pukulan jarak jauh itu, maka dia tahu betapa berbahayanya pukulan ini. Cepat dia menggulingkan tubuhnya sehingga hawa pukulan yang menyambarnya itu luput. Pada saat itu, nampak sinar kecil merah menyambar ke arah kakek raksasa itu.
"Ihhh....!"
Kakek itu mendengus dan sekali tangannya menyampok, ular merah itu terpukul hancur. Dua ular lain melayang dan menyerangnya, akan tetapi juga dua ekor ular ini ditangkis dan jatuh berkelojotan dengan kepala remuk.
Kakek itu merasa penasaran karena melihat pukulannya ke arah Keng Han tadi dapat dielakkan, dia memburu dengan langkah panjang ke arah Keng Han dan kembali melancarkan pukulan jarak jauh. Kini, biarpun Kong Han sudah me"lompat ke kiri untuk manghindar, tetap saja tubuhnya dilanda hawa pukulan yang membuat dia terlempar dan terbanting keras. Hawa yang amat dingin menyerang seluruh tubuhnya membuat dia menggigil. Akan tetapi dia masih dapat bangkit berdiri, mengambil keputusan untuk melawan sampai akhir. Pada saat itu, banyak sekali ular merah yang tadi mengikuti perahu Keng Han mendarat seperti barisan ular yang banyak sekali. Ketika melihat Keng Han bangkit terhuyung ke arah barisan ular, menyongsongnya di luar kesadarannya, langsung saja tiga ekor ular menyerangnya.
Dia tidak mampu mengelak atau menangkis setiingga seekor ular telah menggigit lehernya, seekor lagi menggigit tangannya dan seekor lagi menggigit kakinya! Digigit tiga ekor ular merah itu, Keng Han seperti terkena sengatan halilintar. Dia terbelalak, tidak menggigil lagi, dan seperti mendadak menjadi gila. Keng Han tertawa dan menangis, lalu merenggut ular yang rnenggigit lehernya lalu.... membuka mulutnya dan menggigit ular itu, dikunyahnya seperti orang makan kue yang lezat saja! Kemudian dia berteriak-teriak sambil lari ke tengah pulau, masih memegangi tubuh ular yang berlepotan darah sedangkan dua ular masih bergantung kepada tangan dan kakinya. Sementara itu, kakek raksasa rambut putih kini diserang oleh puluhan, bahkan ratusan ular merah! Dia sibuk berloncat"an ke sana sini sambil mengibaskan kedua tangannya.
"Huo-hiat-coa (ular darah api)....!
"Banyak sekali....! Wah, sungguh berbahaya. Benar-benar Pulau Hantu....!"
Dan kakek itu lalu melarikan diri, melompat ke atas sebuah perahu. Kebetulan dia melompat ke perahu yang ditumpangi Ji Koan yang ketakutan. Melihat ada orang di dalam perahu, raksasa itu menendang dan tubuh Ji Koan terlempar ke air dalam keadaan sudah tewas karena tendangan itu kuat bukan main! Segera kakek itu mendayung perahu ke tengah, mengembangkan layar dan pergi cepat-cepat dari pulau itu dengan wajah mem"bayangkan bahwa dia juga gemetar menghadapi barisan ular yang disebutnya Huo"hiat-coa itu. Keng Han seperti telah menjadi gila. Dia berlari terus sambil makan ular itu. Digigitnya sepotong tubuh ular dan dikunyahnya dengan nikmat. Bibirnya berlepotan darah. Dia berlari terus sambil kadang menangis kadang tertawa, atau berteriak-teriak.
"Panas....! Panas....!"
Teriaknya akan tetapi tak lama kemudian teriakannya berubah menjadi,
"Dingin....! Dingin....!"
Dia berlari terus ke tengah pulau yang merupakan bukit. Dia mendaki bukit gundul itu, tidak tahu dan tidak menyadari apa yang dilakukannya. Setelah seekor ular habis dimakannya, dia mengambil ular yang masih bergantung meng"gigit tangannya dan kembali dia makan ular itu, dimulai dari kepalanya! Sungguh mengerikan sekali keadaan pemuda remaja itu. Wajahnya kadang menjadi pucat, kadang merah sekali. Matanya terbelalak lebar napasnya kadang memburu dan terengah-engah. Akan tetapi dia terus makan ular dan setelah ular kedua habis, dia mengambil ular ketiga yang bergantung di kakinya. Akhirnya tiga ekor ular itu habis dimakannya dan dia kini tiba di sebuah gua dan terguling roboh ke dalam gua itu, pingsan!
Keadaan Keng Han mengerikan dan mencemaskan. Akan tetapi yang jelas, pukulan yang mengandung hawa sinkang amat dingin itu, yang telah membunuh tiga puluh orang dalam keadaan tubuh membeku, ternyata tidak sampai membunuh Keng Han. Dan lebih aneh lagi, gigitan tiga ekor ular merah itu pun tidak membunuhnya, padahal biasanya, sekali tergigit seekor ular darah api itu, orangnya akan tewas seketika dan tubuhnya menjadi hangus seperti terbakar! Keadaan Keng Han yang mengherankan itu bukan tanpa sebab. Memang kematian seseorang sepenuhnya tergantung kepada kekuasaan Tuhan. Kalau Tuhan sudah menghendaki seseorang itu harus mati, kalau sudah tiba saat kematiannya, apa pun di dunia ini tidak akan dapat mencegahnya. Biar andaikata orang itu bersembunyi ke dalam liang semut, akhirnya sang maut akan datang pula menjemput.
Sebaliknya kalau Tuhan belum menghendaki seseorang itu mati, biarpun sudah terancam bahaya maut, sudah berada di dalam mulut harimau umpamanya, dia akan dapat lolos dari maut dan sela"mat. Banyak orang yang sejak muda sekali menjadi seorang perajurit, sudah ratusan kali berperang dan bertempur, akan tetapi selalu saja dia lolos dari cengkeraman maut. Setelah tua dan pen"siun, berhenti dari pekerjaannya yang penuh bahaya itu, berada di rumah yang aman, datang penyakit dan dia pun meninggal dunia! Demikianlah, mati hidup seseorang sepenuhnya berada di tangan Tuhan. Apakah kalau sudah mengetahui akan kenyataan ini orang lalu bersikap masa bodoh terhadap keselamatan dirinya, menyerahkan saja kepada kekuasaan Tuhan untuk mengaturnya?
Tentu saja tidak! Manusia hidup sudah memiliki kewajiban sejak dilahirkan untuk men"jaga diri, untuk mempertahankan hidup ini, senang atau tidak senang. Ikhtiar itu suatu kewajiban mutlak, keputusan akhir adalah menjadi kekuasaan Tuhan. Keng Han tentu sudah tewas akibat pukulan kakek raksasa berambut putih yang menamakan dirinya Swat-hai Lo"kwi itu, pukulan yang mengandung hawa sinkang dingin sekali, membuat orang yang dipukulnya mati beku, karena tenaga sinkang anak itu belum mampu melawannya. Dia tentu sudah tewas kalau saja pada saat itu dia tidak tergigit oleh tiga ekor ular merah! Dan dia tentu sudah mati pula oleh gigitan ular darah api itu yang gigitannya mengandung racun panas yang membuat orang yang digigit mati dengan tubuh hangus,
Kalau saja dia tidak terpukul oleh Swat-hai Lo"kwi dan karena dia tergigit oleh tiga ekor ular sekaligus, maka racun tiga ekor ular itu sebetulnya terlalu kuat bagi hawa sinkang dingin yang menyerang tubuh Keng Han. Akan tetapi dalam ke"adaan seperti gila karena diombang"ambingkan antara dua hawa dingin dan hawa panas, yang membuat dia menangis dan tertawa, dia telah makan ular-ular itu dan hal ini merupakan obat penawar yang bukan main hebatnya. Keng Han tergelimpang dalam gua, pingsan sampai hari menjadi malam. Semalam suntuk dia seperti telah mati, dalam tubuhnya terjadi pertempuran yang hebat antara dua tenaga yang berlawanan itu. Darahnya keracunan dua macam hawa, seluruh tubuhnya dijalari hawa dingin dan panas itu.