Si Tangan Halilintar Chapter 27

NIC

Mendengar ini, Heng San seger a berlutut di depan Ang Jit Tojin. "Sikap totiang (bapak pendeta) ini saja sudah membuat aku orang she Lauw merasa berterima kasih sekali dan untuk kesalahanku yang sudah-sudah nanti totiang boleh membalas sesuka hatimu!".

Ang Jit Tojin mengangkat bangun Heng San. "Berdirilah dan dengarkan kata-kataku agar engkau mengerti duduknya persoalan."

Heng San lalu bangkit dan dengan mata masih mengalirkan air mata dia mengusap:; dengan punggung tangan dan mendengarkan dengan muka ditundukkan.

"Ketahuilah, Lauw Heng San. Ma Giok yang sekarang menjadi tawanan Thio-ciangkun itu sebenarnya adalah seorang bekas panglima dari pasukan Gouw Sam Kwie, jenderal yang dengan gigih sampai detik terakhir melawan dan menentang pasukan penjajah Mancu. Biarpun pasukan Jenderal Gouw Sam Kwie telah mengalami kekalahan, namun dalam hati Ma Giok masih menyala api patriot yang tidak rela melihat bangsa Mancu menguasai Cina dan memeras rakyatnya. Ma Giok sama sekali bukan pemirripin gerombolan seperti yang kau sangka. Sebaliknya dia adalah seorang pemimpin segolongan pendekar pembela bangsa dan tanah air yang gagah perkasa dan berani mengorbankan dirinya demi membela bangsanya. Ma Giok menjadi buruan pemerintah penjajah Mancu dan dia melarikan diri ke selatan dan dia berhasil menggerakkan orang-orang gagah, para pendekar, untuk bersatu melawan pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi usahanya itu mengalami banyak kegagalan karena di antara para pendekar terdapat banyak pengkhianat yang pro pemerintah Mancu. Mereka ini sebetulnya juga orang-orang Han yang tadinya adalah pendekar-pendekar yang berjiwa patriot. Akan tetapi karena pemerintah Mancu mempunyai banyak penasihat yang cerdik pandai, maka banyak orang gagah yang terpengaruh oleh harta benda dan wanita cantik, mau saja menjadi kaki tangan pemerintah penjajah Mancu, tidak sadar bahwa mereka tertipu."

Mendengar ini Heng San mengerutkah alisnya, teringat akan pengalamannya sendiri. Apakah dia termasuk orang yang tertipu karena pengaruh harta dan wanita? Apakah isterinya, Kui Siang, juga merupakan umpan baginya?

"Para pembesar Mancu itu amat cerdik. Mereka menggunakan harta" kedudukan tinggi, atau wanita cantik untuk memikat hati para pendekar sehingga mereka tunduk dan dapat diajak bekerja sama tanpa menyadari bahwa mereka dijadikan antek penjajah untuk menindas bangsa sendiri. Karena inilah maka usaha Ma Giok banyak mengalami kegagalan. Dengan hati pedih Ma Giok lalu melarikan diri lagi dari pengejaran antek-antek Mancu. Dia lari bersama puteri tunggalnya, yaitu Ma Hong Lian, merantau sambil tiada hentinya melanjutkan perjuangannya. Dia mengumpulkan orang-orang gagah di mana saja untuk membasmi para pembesar kaki tangan kaisar yang menindas rakyat."

Heng San teringat kepada Hong Lian yang sudah tewas. "Ahh, Hong Lian … " dia menengok ke arah mayat gadis itu yang dia tinggalkan tadi.

"Jenazahnya sudah kami urus," kata Ang Jit Tojin. Heng San melihat betapa jenazah gurunya juga sudah diangkat ke dalam kuil oleh beberapa orang gagah.

"Usaha Ma Giok dan puterinya mendatangkan banyak orang gagah yang tadinya tidak acuh, kini timbul dan bangkit kembali semangat mereka. Di antara mereka adalah pin-to (aku) sendiri, dan kawan-kawanku. Bahkan Pat-jiu Sinkai juga tergerak hatinya dan mendukung. Akan tetapi karena dia sendiri sudah sakit-sakitan, dia mencari suhengnya yang ternyata sudah menjadi pertapa di atas puncak bukit dan tidak mau mencampuri urusan dunia. Maka dia hanya dapat mengajak murid keponakannya, yaitu Ngo-jiauw-eng Tan Kok untuk ikut berjuang dan Tan Kok adalah pengemis aneh yang tewas di tanganmu."

Mendengar cerita ini, Heng San menutupi mukanya dengan tangan dan dia menangis penuh penyesalan. Jadi Tan Kok si pengemis aneh itu adalah suhengnya (kakak seperguruannya) sendiri karena gurunya adalah paman guru Ngojiauw-eng Tan Kok. Dia teringat bahwa suhunya, Pat-jiu Sin-kai telah lama berusaha mendapatkan seorang murid untuk dijadikan wakilnya dalam perjuangan yang dimaksud ini karena pengemis sakti itu sering terserang penyakit dan merasa dirinya sudah terlalu tua dan tidak kuat lagi. Dan setelah mendapatkan dirinya sebagai murid, kini dia malah memusuhi kawan-kawan seperjuang gurunya, bahkan "Pin-to sendiri adalah seorang sahabat lama Pat-jiu Sin-kai, maka ketika dia datang kepada pin-to minta bantuan, segera pin-to meluluskan permintaannya dengan senang hati. Pin-to berangkat lebih dulu ke Keng-koan untuk menyusul Ngo-jiauw-eng yang sudah lebih dulu menggabungkan diri dengan Ma-enghiong dan puterinya. Adapun Pat-jiu Sin-kai sendiri hendak pergi ke Ciong-yang untuk mengumpulkan beberapa orang kawan lagi." Heng San mendengarkan cerita itu dengan mata basah dan kini mulailah dia mengerti bahwa dia telah salah sangka, dia telah tertipu oleh ayah mertuanya dan para pembantu Thio-ciangkun.

"Sebagai tempat pertemuan telah ditetapkan di sini dan ternyata hari ini Pat-jiu Sin-kai telah dapat mengumpulkan beberapa kawan yang cukup kuat." Ang Jit Tojin menunjuk kelima orang gagah yang berada di situ. "Mereka ini adalah Ciong-yang Ngo-taihiap (Lima pendekar besar dari Ciong-yang) yang terkenal dengan kepandaian mereka yang tinggi."

Heng San pernah mendengar nama itu sering dipuji-puji gurunya sebagai pendekar- pendekar besar di jaman ini. Kemudian dia berkata kepada Ang Jit Tojin dengan hati penuh penyesalan.

"Teecu memang sudah pantas menerima binasa! Akan tetapi sebelum cuwi turun tangan membebaskan teecu dari tubuh yang kotor berlumur darah kawan-kawan ini, teecu mohon sedikit keterangan tentang Thio-ciangkun dan para pembantunya. Thio-ciangkun bukan saja telah menjadi atasan teecu, bahkan menjadi ayah mertua teecu …..!"

"Bersiaplah untuk mendengar kenyataan yang amat pahit ini; Lauw Heng San. Kami sudah mengetahui bahwa engkau telah menjadi mantu Thio-dangkun dan bahwa isterimu telah mengandung. Engkau mau tahu siapa itu Thio-Ciangkun? Ketahuilah, engkau orang muda yang terlaIu bodoh sehingga dapat tertipu olehnya. Dia adalah srigala yang berujud manusia, terkenal karena kecerdikan dan kekejamannya. Dia berkuasa besar sekali dan mempunyai pengaruh yang amat besar di istana Kaisar Mancu. Dialah tukang membasmi para patriot yang gagah perkasa. Dia pula yang membunuh banyak ahli-ahli sastra yang pandai karena mereka menggerakkan semangat rakyat dan membangun jiwa patriot para orang gagah. Entah sudah berapa banyak orang "gagah”, pendekar.. pendekar sejati, pahlawan-pahlawan bangsa, tewas di tangannya yang berlumur darah. Thio-ciangkun yang kau junjung tinggi, yang menjadi ayah mertuamu itu bukan -lain adalah tangan kanan Kaisar Mancu dan dia itulah yang sebenarnya menindas rakyat. Thio-ciangkun itu bukan lain adalah seorang pangeran Mancu yang menyamar sebagai bangsa Han sehingga dia dapat mengelabui banyak orang gagah menjadi pengkhianat bangsa. Dan tahukah engkau, Lauw Heng San, bahwa isterimu itu, Kui Siang, bukan bermarga Thio melainkan bermarga Bu?"

Heng San mengangguk. "Isteri teecu sudah mengatakan bahwa ia adalah anak tiri Thio- ciangkun."

"Hemm, dan tahukah engkau bagaimana ia menjadi anak tiri pangeran jahanam itu dan siapakah ayah kandungnya?"

Heng San menggeleng kepala. "Ayah kandung Bu Kui Siang bernama Bu Kiat, seorang panglima gagah perkasa dalam pasukan Jenderal Gouw Sam Kwi. Panglima Bu Kiat tewas dalam pertempuran. Isteri dan anaknya yang baru berusia dua tahun menjadi tawanan. Karena kecantikannya, maka Thio Ci Gan alias Pangeran Mancu itu mengambilnya sebagai selir. Nyonya Bu terpaksa tunduk demi menyelamatkan anak perempuannya, yaitu Bu Kui Siang."

Heng San mendengarkan dengan heran dan penasaran, menyesali kebodohannya sendiri. Teringatlah dia akan peristiwa malam itu ketika dia seperti mabok dan terjadilah hubungan intim antara dia dan Kui Siang. Tidak mungkin, pikirnya. Dia bukan laki-laki yang demikian lemah sehingga lupa diri oleh nafsu berahi. Ini pasti ada sebabnya! Kalau Kui Siang dijadikan umpan, berarti tentu ada sesuatu dalam minumannya, yang membuat dia iupa diri. Ah, kasihan Kui Siang!

"Tentu engkau juga belum mengetahui siapa sebenarnya orang-orang yang menjadi pembantunya, yang kau anggap sebagai pendekar-pendekar gagah perkasa itu" tanya pula Ang Jit Tojin.

"Sepanjang penglihatan mata teecu yang hampir buta ini, para pembantu itu adalah orang- orang yang gagah perkasa, kecuali seorang hwesio yang baru datang dari kota raja mengiringkan beberapa puluh perajurit bala bantuan."

"Hemm, jadi si iblis itu juga sudah datang?" Ang Jit Tojin berseru.

"Harap to-heng jangan khawatir. Kalau baru Lui Im Hosiang saja, kami masih sanggup melawannya." kata seorang di antara Ciong-yang Ngo-taihiap.

"Sekarang bersedialah untuk mendengarkan ceritaku yang terakhir" kata Ang Jit Tojin kepada Heng San dengan wajah keren "Teecu sudah cukup mendengar dan teecu sudah cukup mengetahui akan kebodohan teecu sendiri. Sekarang teecu hanya menyerahkan jiwa raga ke tangan cu-wi. Terserah, mau disiksa, mau dibunuh, teecu tidak akan melawan. Agaknya tidak ada hal lain yang lebih buruk daripada apa yang telah teecu lakukan. Membunuh suheng sendiri, membunuhi orang-orang gagah pembela bangsa, membunuh ….. Hong Lian yang berjiwa patriot, menawan ayahnya yang ternyata seorang pendekar besar, kemudian ….. membunuh suhu sendiri. Ya! Suhu terbunuh oleh teecu! Ada apalagi yang jahat daripada itu? Teecu sudah selayaknya menerima binasa. Hanya satu …… kalau boleh teecu minta …… mohon diselamatkan isteri teecu Bu Kui Siang dan anak dalam kandungannya, kalau bukan demi teecu, ya demi mendiang ayahnya yang patriot sejati ….." Sekali lagi air mata bercucuran dari kedua mata pemuda malang itu.

"Karena dosamu memang besar sekali, Lauw Heng San, maka biarlah kuceritakan hal ini padamu agar tampak jelas olehmu betapa tolol dan tersesat sikapmu selama ini. Tahukah engkau bahwa selama ini engkau telah membela dan membantu musuh-musuh besarmu sendiri? Musuh besar yang seharusnya kau basmi untuk membalaskan dendam sakit hati ayah-ibumu?" Heng San terkejut dan memandang wajah pendeta itu dengan muka pucat sekali. Apa maksud to-tiang? Ada apa dengan ayah ibuku? Bukankah mereka masih berada di Lin- han-koan?

Ang Jit Tojin menggeleng-geleng kepala dan bayangan pada wajah pendeta itu membuat Heng San menggigil.

"Apa yang terjadi dengan mereka?"

Dia berteriak. "Katakan ….. demi Tuhan katakanlah ….."

"Tenanglah engkau, orang mudaI" seorang di antara lima. orang gagah itu menegur. Ang Jit Tojin berkata lirih. "Orang tuamu ….. ayah ibumu ….. telah mati terbunuh ….. "

Heng San merasa seakan-akan nyawanya melayang. Tiba-tiba tubuhnya menerima pukulan yang luar biasa hebatnya sehingga dadanya yang menderita luka dalam terasa nyeri bukan main. Dia meloneat ke depan dan menggunakan tangannya untuk mencengkeram ujung baju pendeta itu. Kedua matanya melotot besar dan wajahnya menyeramkan, kedua lututnya menggigil. Demikian kuat ia mencengkeram sehingga ujung kedua lengan baju itu hancur lebur bagaikan kertas tipis saja.

"Tolong ….. tolong katakan siapa pembunuh ayah ibuku?"

Datanglah pukulan terakir yang merupakan hukuman hebat bagi Heng San, keluar dari mulut Ang Jit Tojin. "Siapa lagi? Siapa lagi pembunuh mereka kalau bukan orang yang kaupuji-puji, kau junjung tinggi, kau bela dan kausembah itu? Pembunuhnya bukan lain adalah Thio-ciangkun dan kaki tanganya”

Posting Komentar