"Hi-hik, monyet hitam tolol seperti ini menjadi Pendekar Silat Nomor Satu? Kamu menari saja di pasar tentu mendapatkan uang!" ejek gadis itu dan begitu Boan Su Kok menubruk, tubuhnya menghindar ke kiri dan kaki kanannya mencuat dengan kecepatan kilat.
"Ngekkk!" Kaki yang kecil itu menendang ulu hati lawan dan Boan Su Kok terengah- engah. Napasnya menjadi sesak dan lambungnya terasa pedih dan nyeri. Akan tetapi dia tidak mempedulikan rasa nyeri itu dan menyerang lagi men babi buta..
Akan tetapi kini gadis Itulah yangj menyerangnya bertubi-tubi dan gerakannya sedemikian cepatnya sehingga beberapa kali tamparan dan tendangannya mengenai sasarann dengan tepat.
"Plak-plak-bukkk. !" Beberapa kali tubuh Boan Su Kok dihajar sehingga kini
pipi kirinya juga bengkak dan perutnya mulas terkena tendangan kaki mungil itu!
"Keparat, mampus kau!" Boan Su Kok masih dapat memaki dengan suara pelo (pelat) sehingga terdengar lucu. Banyak penonton yang sejak tadi tertawa melihat betapa Boan Su Kok dihajar beri kali-kali dan dipermainkan oleh gadis yang amat lincah dan lihai itu. Akan tetapi kini mereka memandang dengan mata terbelalak dan hati tegang karena Boan Su Kok menyerang lagi dengan lebih nekat dan buas. Ketika dia memukul dengan tangan kanan ke arah dada, gadis itu menarik tubuhnya ke belakang, akan tetapi tiba-tiba tampak benda berkilat mencuat dari bawah lengan kaitan yang memukul itu. Boan Su Kok telah menggunakan lagi senjata rahasia, pisau yang disembunyikan di dalam lengan baju di bawah lengan. Dengan menggunakan per (pegas) pisau itu dapat digerakkan mencuat keluar atau ditarik kembali.
Agaknya ini yang dinanti-nanti oleh gadis itu. la tadi sudah melihat sendiri betapa Boan Su Kok merobohkan penantangnya secara curang, dengan menggunakan senjata rahasia itu. Maka kalau tadi ia hanya memberi tamparan dan tendangan, yang dilakukan dengan tenaga terbatas, ia memang menanti agar lawannya menggunakan senjata rahasianya itu. Begitu pisau itu mencuat mengancam dadanya, ia cepat mengelak ke kanan. Boan Su Kok menyambutnya dengan pukulan tangan kiri yang juga mengeluarkan senjata rahasia itu.
Tiba-tiba gadis itu mengeluarkan seruan melengking, kedua tangannya bergerak secepat kilat menotok kedua pundak lawan. Seketika Boan Su Kok merasa kedua lengannya lumpuh dan sebelum dia dapat mencegahnya, dua tangan gadis itu telah menyambar ke arah pergelangan kedua tangannya.
"Krek-krekkk!" Dua buah pisau itu telah dicabut dan kini berada di tangan gadis itu.
"Manusia curangi" Gadis itu memaki, kini suaranya tidak main-main lagi dan begitu ia menggerakkan kedua tangannya, dua buah pisau itu meluncur dan menancap di kedua pundak Boan Su Kok! Jagoan bermuka hitam ini mengaduh, akan tetapi sebuah tendangan menyambar ke arah dadanya.
"Bukkk!" Tubuh tinggi besar itu terpental dan jatuh tepat di depan kaki gurunya, yaitu Tung Hai-tok!
Semua orang terkejut sekali, juga kagum. Mereka yang memang tidak suka kepada Boan Su Kok, bertepuk tangan riuh rendah. Akan tetapi pada saat itu, Tung Hai-tok mengeluarkan gerengan dan suara yang menggetarkan jantung para pendengarnya dan tubuhnya yang tinggi besar itu sudah melayang ke depan gadis itu. Sementara itu, para anggautaTung-hai-pang menolong Boan Su Kok yang pundaknya tertusuk sepasang pisaunya sendiri.
Gadis remaja itu agaknya merupakan seorang tokoh baru yang bagaikan seekor burung muda baru belajar terbang menjelajahi dunia persilatan. Maka agaknya ia belum mengenal datuk Lautan Timur ini dan memandangnya dengan senyum ampuh. Sikapnya yang lincah, pemberani dengan mukanya yang cantik itu membuat mimik yang lucu sungguh menarik hati para penonton. Ia memandang Tung Hai-tok dengan sepasang mata bintangnya disipitkan, senyumnya manis sekali dan ia berkata lantang.
"Wah, ini ada Cukong (Boss) kaya raya datang! Kalau engkau akan memberi hadiah besar atas kemenanganku, ketahuilah bahwa aku tidak menginginkan uangmu.
Kalau hendak mengumumkan aku sebagai Thian-he Te-it Bu-hiap, aku pun tidak butuh gelar itu. Aku datang hanya ingin nonton dan tadi melihat sang juara begitu sombong dan curang, maka aku naik dan menantangnya!"
Tung Hai-tok adalah seorang datuk besar. Ribuan orang kangouv, terutama golongan sesat, di sepanjang pantai Laut Timur merasa segan dan takut kepadanya. Maka, tentu saja menghadapi seorang gadis muda belia seperti ini, dia merasa akan merendahkan nama besarnya kalau dia menggunakan kekerasan menghajarnya walaupun dia marah sekali melihat murid utamanya tadi dirobohkan dan dilukai.
Derjgan menahan sabar Tung Hai-tok yang berdiri tegak berkata kepada gadis itu. Suaranya lantang dan menggelegar, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar dan mukanya yang persegi merah dan tampak bengis menyeramkan. "Heh, bocah perempuan yang kurang ajar! Engkau berani melukai muridku dan bersikap sombong mengejek aku! Hayo katakan siapa namamu dan siapa pula nama gurumu!!"
Gadis itu tersenyum manis, agaknya sedikitpun tidak gentar menghadapi kakek yang gagah perkasa, menyeramkan dan penuh wibawa itu. Dengan lagak seperti orang berkenalan biasa, gadis itu berkata, suaranya nyaring merdu dan senyumnya ramah.
"Perkenalkan, namaku Song Kui Lin, adapun nama guruku tidak perlu kusebutkan karena beliau tidak mempunyai urusan dengan siapapun di sini. Dan engkau sendiri siapakah, Wan-gwe (Orang Kaya)?" Ucapannya begitu ramah dan wajar, sama sekali tidak bernada menggoda atau mengejek.
Tung Hai-tok mengerutkan alisnya. Bagaimana mungkin dia memperlihatkan kemarahannya kepada gadis yang masih kekanak-kanakan ini? Dia ingin menggertak gadis muda belia itu dengan memperkenalkan namanya yang amat terkenal, terutama di daerah timur.
"Dengar baik-baik, Nona Muda! Aku adalah Tung Hai-tok (Racun Laut Timur)!"
Diam-diam gadis itu terkejut karena gurunya pernah menceritakan dan memperkenalkan nama para datuk dan tokoh besar dunia kangouw. Akan tetapi dasar ia seperti burung muda baru pertama kali terbang menjelajahi keluar sarang, ia seakan tidak tahu tingginya gunung dan luasnya samudera.
"Ah, kiranya Paman ini adalah Si Racun Laut Timur yang terkenal itu? Wah, senang sekali aku dapat berkenalan denganmu, Paman Racun!" Lagaknya seperti bicara dengan seorang kawan lama saja dan hal ini memang bukan dibuat-buat karena gadis ini memiliki watak yang lincah, terbuka dan bebas. Akan tetapi tentu saja datuk itu merasa dilecehkan.
"Bocah lancang! Kalau engkau tidak bermaksud merebut gelar, jangan membikin kacau di sini. Hayo cepat kau turun dan pergi dari sini!"
Gadis yang bernama Song Kui Lin itu mengerutkan sepasang alisnya. "Aih-aih, kenapa engkau mengusir aku? Apakah puncak ini rumahmu? Apakah Gunung Thaisan ini milikmu? Sang Dewa Penjaga Gunung saja tidak pernah mengusirku, bagaimana engkau dapat mengusirku, Paman Racun?"
Betapapun sabarnya hati Tung H i tok, karena kesabarannya itu hanya paksaan, akhirnya dia marah juga.
"Bocah setan, kalau engkau tidak segera turun, aku akan mendorongmu pergi dari sini!"
Gadis itu membelalakkan matanya yang indah dan bertolak pinggang. Satu di antara watak Song Kui Lin adalah bahwa ia akan berbalik bersikap keras kalau orang main paksa padanya.
"Aih-aih, lihat itu Si Cukong! Mau main paksa, ya? Bagaimana kalau aku tidak mau turun?" "Kalau begitu, pergilah!" Tung Hai-tok mendorongkan tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka menghadap ke arah Kui Lin. Gadis itu memang telah siap, maka begitu kakek itu mendorongkan tangan kirinya, ia. menyambut dengan kedua tangannya yang ia dorongkan ke depan.
"Wuuussshhhhh desss!!" Tubuh Kui Lin terdorong mundur sampai ia
terhuyung beberapa langkah. "Pergilah!" kata Tung Hai-tok.
Akan tetapi Kui Lin dengan keras kepala menjawab. "Aku tidak mau pergi!"
"Hemmm, agaknya engkau sudah bosan hidup!" Setelah berkata demikian, Tung Hai-tok mengangkat kedua tangan ke atas untuk menghimpun tenaga karena dia hendak melakukan pukulan jarak jauh yang lebih dahsyat lagi.
Tiba-tiba terdengar suara lembut namun berwibawa. "Tahan !" Dan terdengar
kelepak sayap burung Seekor burung rajawali raksasa meluncur turun dan hinggap di atas tanah tinggi itu, tepat di antara Tung Hai-tok dan Song Kui Lin.
Si Han Lin yang berada di punggung burung itu cepat melompat turun. Dialah yang tadi berseru melihat dari atas betapa kakek itu hendak melakukan serangan.
Beberapa orang yang hadir, begitu melihat burung itu, berseru. "Rajawali Sakti !"
"Benar, Sin-tiauw muncul, berarti Thai Kek Siansu datang!"
Ketika Song Kui Lin melihat burung rajawali, ia cepat menghampiri dan mengamati burung itu dari depan, belakang, kiri dan kanan. Ia tampak terheran-heran dan kagum bukan main. Ia sama sekali tidak memperhatikan Si Han Lin yang berdiri menentang pandang mata Tung Hai-tok yang marah.
"Aih, hebat sekali rajawali ini!" serunya, lalu gadis itu menghampiri Han Lin dan bertanya. "Hei, sobat, apakah engkau hendak menjual rajawali ini? Berapa harganya? Kalau boleh aku ingin membelinya!"
Han Lm yang tadinya memperhatikan Tung Hai-tok, kini perhatiannya beralih dan melihat gadis itu dan mendengar pertanyaannya, dia tersenyum geli. Bukan main gadis ini, pikirnya. Baru saja terbebas dari ancaman maut di tangan kakek muka merah itu, kini sudah lupa lagi dan ingin membeli rajawalinya, seolah tidak pernah terjadi sesuatu yang mengancam nyawanya!
"Adik yang baik "
"Ihhh! Siapa adikmu? Aku bukan adik mu dan engkau bukan kakakku! Kalau engkau kakakku, rajawali ini tidak perlu kubeli, cukup kuminta saja!" gadis itu memotong, galak.
Han Lin tertawa. Ha-ha, baiklah Nona. Rajawali ini tidak kujual, mana ada orang menjual sahabat baiknya? Dia itu sahabat baikku yang setia dan kami saling menyayang. Biar dibeli segunung emas pun tidak akan kujual." "Hemmm, menarik sekali! Dia bisa membawaku terbang, ya? Bolehkah aku mencoba menungganginya agar aku dibawa terbang?"